Oleh: H. Suparto Wijoyo*
PAPUA menghadirkan duka pada saat yang nyaris setarikan nafas panjang atas tragedi yang menimpa Jamaah shalat Jumat di Masjid An Noor, Christchurch, Selandia Baru, Jumat 15 Maret 2019. 49 orang tewas akibat pemberondongan yang sangat brutal dari seorang teroris. Teroris yang tidak akan pernah mendapatkan tempat di mana pun di dunia, apalagi di New Zealand.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Begitulah inti ungkapan duka yang juga disampaikan oleh Perdana Menteri Selandia Baru. Jumat saat itu tanggal 15 Maret 2019 juga menimbukkan duka bagi PPP yang Ketua Umumnya terjaring dalam OTT KPK di tlatah Surabaya. Sebuah kejadian yang sungguh menyita perhatian dan menimbulkan ketersentakan bagi warganya.
Dukanya nyaris seperiringan dengan nestapa yang juga mengelamkan langit Papua akibat banjir bandang yang menerjang Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua pada Minggu dini hari, 16-17 Maret 2019. Bencana yang hadir akibat penggundulan hutan di kawasan Pegunungan Cycloop.
Untuk itulah bencana yang menimpa perkampungan sekitar areal cagar alam terbesar di Indonesia ini sejatinya adalah hasil dari abainya perhatian otoritas negara atas fakta deforestasi Pegunungan Cycloop. Dan memang seluruh wilayah nusantara tidak luput dari banjir di kala musim penghujan.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Berbagai media tahun lalu memberitakan tentang banjir yang melanda 23 Provinsi dari 34 Provinsi di Indonesia. Dalam skala yang lebih kolosal, banjir telah menyebar di areal 103 wilayah, dan 274 Kabupaten/Kota sedang antri untuk menyelenggarakan “panen banjir”.
Inilah kenyataan yang acapkali terjadi setiap musim penghujan. Banjir menjadi tradisi tahunan yang dimaklumi dengan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan melebihi dari yang dapat kita bayangkan. Moda transportasi yang mengusung laju barang, orang dan jasa tersumbat dengan konsekuensi logis terganggunya sirkulasi kehidupan publik dalam memenuhi kebutuhannya.
Terhadap rendaman air yang disebut banjir itu, banyak pihak menyuarakan dengan nada dasar yang sama: bahwa “tingginya intensitas hujan” dianggap sebagai penyebab utama. Air hujan menjadi sang tertuduh yang menyebabkan banjir dengan segala penderitaan yang ditimbulkannya.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Oh ... oh. Mengapa air hujan yang sejak penciptaannya dengan gerak hukum-hukum alamiahnya dan dimaknai secara teologis sebagai nikmat, berubah menjadi laknat? Mangapa hujan yang diharap sebagai berkah tumpah menjadi prahara? Mengapa sungai, kali atau bengawan bisa meluap dan muntah yang membanjiri sawah ladang serta rumah? Adakah penisbatan hujan sebagai penyebab tunggal terjadinya banjir itu suatu kebenaran?
Hujan bukan penyebab banjir, sehingga banjir bukanlah soal takdir. Banjir itu soal pengelolaan sumber daya alam, tata kota,
tata pemerintahan, manajemen lingkungan, yang pada akhirnya adalah tata laku publiknya. Banjir pada ujungnya bermula dan berakhir pada konsepsi pembangunan yang dianut serta diimplementasikan oleh penyelenggara negara. Hal ini berarti masalah banjir adalah urusan bernegara yang berkaitan dengan public policy yang diformulasi oleh negara. Dengan demikian orientasi memilih jalan pembangunan sangat menentukan ke mana pergerakan banjir diarahkan.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Air hujan tidak akan melaju menerjang desa ke kota, kalau di setiap wilayah tersedia bank air yang menampung. Bank air itu dapat berupa kawasan konservasi, hutan kota, hutan desa, dan telaga-telaga yang sejak era abad ke-3 dikembangkan nenek moyang dan mencapai tingkat kemajuan di abad keemasan Majapahit. Satu thani, kabuyutan - padukuhan memiliki telaga dengan pepohonan yang memadai disertai lumbung pangan. Konstruksi ini berorientasi tentang suasana bernegara yang rakyatnya menikmati irigasi pertaniannya, sanitasi perkotaannya, dan sandang-pangan-papan yang berkecukupan.
Abad ke-21 ini tidak untuk menghindari tradisi itu tetapi dapat mensinergiskan serta mengaktualisirnya dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pembangunan mall, supermarket, property, dan gedung-gedung tinggi dapat diimbangi dengan membangun embung-embung yang representatif secara planologis dengan balutan ruang terbuka hijau sebagai areal konservasinya.
Dengan pola ini air hujan dapat bercengkerama secara ekologis dengan pepohonan, bercerita dengan hutan rakyat, hutan kota, hutan konservasi serta taman-taman rumah. Air hujan menjadi kerasan bersamanya tanpa perlu lari kencang guna bersimpuh di perut sungai, kali ataupun bengawan, apalagi dengan membawa potongan kayu yang ditinggal pencurinya. Tatkala air hujan tidak tertambat di lahan konservasi, apa akibatnya? Bagaimana sungai tidak meluap, dikala perutnya tidak lagi menampung luberan, bukan karena dia tidak sayang air hujan, tetapi pendangkalan yang dialami akibat erosi, itulah yang ditangisi sungai dengan konsekuensi kesejahteraan rakyat terabaikan lagi.
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
Meningkatnya kemerosotan lingkungan telah pula sampai pada tataran merenungkan kembali keberadaan negara kesejahteraan. Peran negara dan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat harus ditata kembali kalau banjir tetap menjadi tradisi. Peran negara dengan pemerintah pada akhirnya sampai pada perbincangan yang bersentuhan dengan economic performance global, regional maupun nasional dan lokal yang diramu sebagai muatan sustainable development.
Pembangunan berkelanjutan menyorongkan pelaksanaan pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa menggerus kepentingan generasi mendatang dengan memadukan pilar ekonomi, sosial dan ekologi secara integral. Dengan konsepsi fundamental demikian, ternyata tetap saja dipersepsi bahwa yang berkelanjutan adalah pembangunannya dengan dampak ikutan kehancuran lingkungan maupun kerapuhan sosial yang berupa kemiskinan, termasuk akibat banjir.
Ini menandakan di ranah pembangunan berkelanjutan terdapat fakta yang senantiasa muncul dalam bentuk disparitas, ketimpangan sosial sekaligus penggadaian kekayaan alam yang dalam bahasa tertentu dinyatakan terjadinya transaksi kapitalisasi ekologi yang telah melampaui batas-batas yang bisa ditoleransi. Hentikan itu maka banjir tidak akan ada lagi.
Baca Juga: Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar”
*H. Suparto Wijoyo, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News