BangsaOnline.com - Dalam
beberapa tahun terakhir, konflik TNI-Polri makin sering terjadi, bahkan
sudah amat meresahkan masyarakat. Presiden Joko Widodo telah
menginstruksikan para pejabat terkait segera mencari solusi bersifat
menyeluruh dan permanen.
Pimpinan TNI-Polri pun telah
meresponsnya dengan tindakan tegas berupa pencopotan para pejabat yang
memang seharusnya bertanggung jawab, penghukuman, dan pemecatan anggota
yang terlibat, dan terakhir ada wacana untuk menyatukan kembali
pendidikan basis selama 3-4 bulan seperti masa lalu.
Pertanyaannya, apakah semua
tindakan ini akan jadi solusi permanen? Jawabnya tentu ”tidak” karena
belum menyentuh akar masalahnya. Bak akar serabut yang berkelindan
saling memengaruhi, akar masalahnya sangat rumit karena menyentuh
masalah kultural. Di antaranya yang sangat penting, pertama, faktor
psikologis-kultural. Pada umumnya anggota TNI (khususnya TNI AD) belum
terlepas dari perasaan superioritas masa lalu sebagai saudara tua ketika
Polri masih tergabung dalam ABRI.
Sebaliknya, di kalangan Polri
tumbuh sikap overacting, euforia kewenangan, arogansi, sebagai ekses
pemisahannya dari ABRI serta diberlakukannya Undang- Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian yang memberikan kewenangan amat luas dalam
fungsi keamanan dalam negeri.
Lainnya, sikap kebanggaan korps
yang berlebihan sehingga satu-sama lain merasa lebih hebat. Sikap ini
lebih meningkat lagi ketika diberlakukan pemakaian atribut yang
seharusnya jadi simbol keistimewaan korps militer, seperti pemakaian
baret dan pakaian loreng. Kini di lingkungan TNI, satuan administrasi
sampai Babinsa pun memakai baret. Polri tak mau kalah, berbagai warna
baret diberlakukan di beberapa unsurnya, bahkan terakhir telah
diberlakukan pula pemakaian loreng Brimob yang dulunya hanya dikenakan
oleh satuan khusus Resimen Pelopor.
Berikutnya, masalah
kecemburuan akibat jomplangnya kesejahteraan. Perlu digarisbawahi bahwa
perbedaan mencolok kesejahteraan ini bukan disebabkan masalah gaji,
melainkan karena kalangan Polri memiliki kesempatan lebih luas mencari
penghasilan tambahan seiring dimilikinya kewenangan yang amat lebar
tadi. Pada sisi lain, disiplin, penegakan hukum, serta keteladanan
pimpinan pada kedua institusi amat lemah.
Berbagai faktor
psikologis tadi sering menjadi pemicu bentrokan di lapangan, masalah
kecil seperti saling pandang atau senggolan saja bisa menimbulkan
perkelahian antarkorps.
Kedua, masalah regulasi. TAP MPR No VI
dan VII Tahun 2000 yang lahir di tengah euforia reformasi telah
memisahkan secara ”mutlak-diametral” fungsi pertahanan-keamanan (hankam)
mengakibatkan tidak terpadunya penanganan masalah itu. Fungsi keamanan
mutlak diemban Polri, fungsi pertahanan jadi ranah TNI dengan penekanan
hanya untuk menghadapi ancaman militer dari luar. Padahal, kenyataannya
kedua fungsi bersifat overlapping, masalah keamanan dapat berkembang
eskalatif, terkadang tak bisa diprediksi, sehingga secara cepat memasuki
ranah pertahanan karena telah mengancam kedaulatan, keselamatan bangsa,
dan keamanan negara.
Contohnya, peristiwa rasial di Amerika
Serikat tahun 1981 dan yang terjadi belakangan ini potensial berkembang
cepat ke banyak negara bagian sehingga sejak dini Garda Nasional dan
militer sudah dilibatkan untuk mengatasinya. Kondisi seperti ini sering
terjadi di Indonesia, khususnya setelah reformasi yang membuka kebebasan
luas nyaris tanpa batas. Memang ada sistem perbantuan TNI kepada Polri
sesuai Pasal 7 UU No 34/2004 tentang TNI, tetapi sulit direalisasikan
karena tebalnya kendala psikologis-egosentrisme.
Ketiga, faktor
sosial. Institusi TNI-Polri tidak hidup di ruangan hampa, tetapi sangat
dipengaruhi perkembangan masyarakat, seperti meningkatnya konsumtivisme,
transaksionalisme, anarkisme, serta tawuran yang sering terjadi di
kalangan pelajar, mahasiswa, dan kelompok masyarakat. Ketika proses
perekrutan, pendidikan, dan pembinaan satuan di kedua institusi tersebut
kurang antisipatif dan tidak cukup kuat memfilternya, niscaya akan
terinfiltrasi oleh budaya negatif masyarakat tadi.
Keempat,
faktor teknis, terutama menyangkut kepemimpinan. Tuntutan kepemimpinan
di tubuh TNI-Polri harus mampu berperan sebagai komandan sekaligus
guru/pelatih, bapak/orangtua dan rekan sejawat. Efektivitas
kepemimpinannya sangat dipengaruhi kemampuan memainkan peran-peran
tersebut. Untuk itu, diperlukan kebersamaan, komunikasi, kepedulian, dan
kepekaan tinggi terhadap kondisi bawahan serta keluarganya.
Pelajaran
berharga dari kasus Batam, karena kurangnya kepekaan pimpinan kedua
belah pihak di lapangan, perkelahian terjadi berulang kali. Seharusnya
ada pemonitoran dan antisipasi intensif. Sebab, dengan ditembaknya empat
anggota Yonif 134 oleh anggota Brimob, rasa dendamnya tidak mungkin
terselesaikan hanya dengan mempertemukan mereka.
Batam juga
sering jadi ajang berekreasi dan berbelanja barang mewah para pejabat
dari Jakarta yang tak peka, pada saat bersamaan para prajurit di sana
harus hidup dengan gaji kecil di tengah mahalnya barang keperluan
sehari-hari. Masalah teknis lain, penindakan hukum yang tak konsisten
dan tuntas, seperti dikatakan Menko Polhukham bahwa anggota Brimob yang
terlibat belum juga ditindak dan ini diketahui oleh anggota Yonif 134.
Rekomendasi
Perlu
segera dibuat kelompok kerja gabungan TNI-Polri yang serius dan
melibatkan para sosiolog, psikolog, serta ahli terkait lain, dalam
rangka membulatkan pencarian akar masalah serta merumuskan solusi yang
bersifat komprehensif-permanen. Pada tahun 1997, pokja semacam itu
pernah diadakan, tetapi dibubarkan di tengah jalan karena anggota Polri
yang dikirim berganti setiap hari sehingga menyulitkan pembahasan.
Semoga
harapan Presiden Joko Widodo serta masyarakat umumnya untuk melihat
hubungan TNI-Polri yang harmonis, komplementer, dan sinergi akan segera
terwujud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News