Kekuatan Pesantren Pembinaan Akhlak dan Karakter, Mengenang 100 Hari Wafat Gus Sholah (3)

Kekuatan Pesantren Pembinaan Akhlak dan Karakter, Mengenang 100 Hari Wafat Gus Sholah (3) Penulis (tengah) bersama Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, M.Ag. saat silaturahim ke Ir. KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng Jombang. foto: BANGSAONLINE.com

Biaya untuk diklat kader pesantren ini cukup besar. ”Satu angkatan biayanya sekitar Rp 175 juta,” tutur mantan ketua PBNU dua periode itu. Tentu ini ditanggung pesanren .

Siapa pesertanya? ”Mahasiswa semester 8 sampai 9 dari Ma’had Aly dan Unhasy atau yang baru tamat,” tutur Gus Solah. Unhasy adalah Universitas Hasyim Asy’ari di bawah naungan Pesantren .

Sedang Ma’had Aly adalah lembaga pendidikan tinggi di pesantren yang materi pelajarannya khusus ilmu agama tingkat tinggi. Ma’had Aly ini khusus mencetak kiai atau intelektual muslim dengan penguasaan kitab-kitab kuning secara mumpuni.

Ya, itulah salah satu watak . Selalu berpikir tentang kualitas, akhlak dan karakter santri sebagai generani masa depan bangsa.

11. Waspada Santri Bertubuh Pendek Berotak Kecil

memang sangat fokus dan detail dalam memimpin pesantren. Bahkan mengamati para santri secara cermat. Pada tahun 2013, mengaku melihat ada beberapa santri baru di Pesantren bertubuh pendek. Menurut , tubuh pendek akan berpengaruh terhadap perkembangan otaknya “Anak bertubuh pendek berotak kecil,” kata .

Karena itu, minta agar santri baru di diukur tinggi badannya untuk memastikan sesuai standar normal atau tidak. “Mungkin baru satu-satunya pesantren yang melakukan ini,” kata Gus Sholah.

Santri yang berbadan pendek, kata , lalu diberi obat, nutrisi, dan zat besi agar normal. Mereka terus dipantau perkembangannya.

tak hanya peduli pada kesehatan dan kecerdasan generasi santri di pesantren yang diasuhnya. Ia juga minta para pengurus pondok mencari ibu-ibu hamil yang kurang nutrisi dan gizi di sekitar Pesantren untuk dibantu agar bayinya lahir sehat.

“Alhamdulillah jumlahnya kecil,” tutur saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional bertema “Menuju Indonesia yang Adil dan Makmur” di Guest House Institut KH. Abdul Chalim di Pondok Pesantren Amantul Ummah Pacet Mojokerto, Jumat (26/7/2019).

Saat itu saya (penulis) hadir dalam seminar yang juga menampilkan KH Asad Said Ali, mantan Wakil Kepala BIN dan mantan Wakil Ketua Umum PBNU itu. Hadir juga Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim sebagai tuan rumah.

12. Tak Punya Rasa Gengsi

tak punya rasa gengsi. Buktinya, saat ditunjuk sebagai pengasuh Pesantren , beliau langsung melakukan studi banding ke berbagai pesantren. Padahal umumnya seorang kiai enggan “blusukan” ke pesantren lain, terutama karena merasa sudah jadi “raja” di pesantrennya sendiri. Apalagi pesantren besar dan populer sekaliber .

justru sebaliknya. Beliau tanpa kenal lelah silaturahim ke pesantren-pesantren lain. Untuk mempelajari keunggulan-keunggulannya. Bahkan tak segan-segan mengambil santri-santri senior dari pesantren lain. Untuk dijadikan pembina di Pesantren .

Hasilnya sangat positif. Terjadi akulturasi pesantren. Selain itu kebiasaan positif di pesantren lain bisa dipraktikkan di .

Nah,kecermatan dalam melakukan proses akulturasi itu yang kemudian menjadi “nilai tambah” sistem pendidikan, disamping sistem pendidikan yang sudah mapan di . (m mas’ud adnan/bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO