Jangan Pilih Mafia Lingkungan

Jangan Pilih Mafia Lingkungan Suparto Wijoyo. foto: ist

Oleh: Suparto Wijoyo

---Ketika HARIAN BANGSA mengontak untuk membahas pilkada 9 Desember 2020, saya sedang bersungguh-sungguh untuk menyuguhkan argumentasi mengenai krisis pangan yang akan mengancam, apabila negeri ini tidak mampu membangun dengan basis iklimnya. Teorinya adalah pembangunan yang klimatopolis.

Baca Juga: Terima Kunker Reses Komisi II DPR RI, Pj Adhy Ungkap Capaian Pemprov Jatim di Penghujung Tahun

Pemanasan global dan ketahanan pangan menuju kedaulatan yang memperkuat negara memang tengah menjadi salah satu bincangan dan program kerja Pemerintah. Lahan pangan di Kalimantan pun dibuka. Kebutuhan pangan dan ketersediaan pangan sangat bersinggungan dengan problem kekeringan dan kebanjiran yang acapkali melanda negara kepulauan beriklim tropis ini.

NKRI pernah mencatatkan diri sebagai negara swasembada beras dalam kancah internasional, maka merupakan labirin apabila harus impor besar, jagung, kedelai, garam, termasuk dari Vietnam. Untunglah Jawa Timur dalam kepemimpinan Bunda Khofifah Indar Parawansa telah memperhatikan kepentingan petani dengan beragam instrumen, mulai penyediaan pertanian mekanis (modernisasi pertanian), fasilitasi pembiayaan yang dirintis sejak era Pakde Karwo dan subsidi alat angkut. Harga gabah dapat dikontrol melalui kebijakan dan kondisi kekeringan yang menjadi tradisi tahunan diantisipasinya melalui pembangunan embung-embung maupun penanggulan dan pengembangan waduk untuk mengerem laju air waktu hujan. Lumbung pangan juga dikawal untuk mengatasi dampak pandemic Covid-19.

Pada tataran itulah sejatinya masalah lingkungan itu berkaitan dengan masalah kemampuan pemimpin. Kekeringan ataupun kebanjiran menjadi bencana atau “berkah” untuk dimanfaatkan sebagai sarana bertani di lahan kering dan lahan basah, adalah soal kapasitas manajemen sang pemimpin dalam menata wilayahnya.

Baca Juga: Kapolres Apresiasi Pelaksanaan Pilkada 2024 di Kabupaten Kediri

Terhadap hal ini, saya teringat ungkapan Leonardo DiCaprio sewaktu memenangi Piala Oscar atas perannya sebagai Hugh Glass pada film The Revenant dengan Pidato Kemenangan yang mengesankan. Dia angkat isu lingkungan dengan aksentuasi perubahan iklim yang tengah menjadi ancaman paling mendesak saat itu sebagaimana dilansir banyak media dunia di tanggal 1 Maret 2016.

Pidato di perhelatan Academy Awards 2016 di Dolby Theatre, Los Angles, itu sangat relevan dan aktual bagi dunia.Pun di Indonesia di 2020 ini, khususnya Jawa Timur. Kekeringan ataupun banjir biasa menyebar dan merayap di banyak wilayah di Indonesia. Beberapa wilayah Sulawesi dan Kalimantan baru saja kebanjiran, sementara daerah-daerah di Jawa Timur sedang “di pangku” kekeringan. Kota dan desa, pegunungan dan daratan, sawah dan ladang, hutan dan lahan seolah berbaris mengintip lakon yang menimpanya.

Kekeringan dan bencana alam terus bergulir menerpa dengan kerugian ekonomi, sosial budaya dan lingkungan pada tingkatan yang memilukan. Peristiwa ini semakin melengkapi deret luka kemanusiaan yang tertorehkan di negeri ini. Musim penghujan laksana penanda bahwa lonceng kebanjiran sedang dibunyikan untuk diterima sebagai lagu semesta.

Baca Juga: Pj Gubernur Jatim Tinjau Kesiapan Logistik Jelang Pilkada Serentak di Lumajang

Sementara dikala kemarau, kita semua diwanti untuk mafhum bahwa kekeringan adalah cobaan yang harus diterima dengan penuh tawakal. Maka kekeringan dan banjir yang terjadi rutin setiap tahun tampaklah dianggap sebagai ritual ekologis yang sudah senyatanya ditakdirkan. Belum lagi soal bahaya narkoba, terorisme, konflik antarkampung, tawuran supporter bola, radikalisme maupun LGBT yang semakin marak. Seluruh sendi negara ini sepertinya sedang bercerita begitu gamblang mengenai bencana (kekeringan, banjir maupun letusan gung termutama Gunung Sinabung dan Gunung Agung).

Negara bukanlah keledai yang dapat terantuk untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Negara juga bukan tupai yang sepandai-pandainya melompat akan terjatuh jua. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki sumber daya untuk menjaga rakyat dan wilayahnya. Dalam bahasa Pembukaan UUD 1945, negara diadakan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah.

Adalah suatu ironi apabila ada kekeringan, ada banjir, ada penggusuran, ada konflik antarwilayah, ada penyerobotan hak-hak rakyat di sebuah negara yang memiliki pemimpin yang dipilih secara demokratis.

Baca Juga: Jelang Coblosan, Warga Surabaya ini Dapat Kiriman Minyak Goreng Beserta Foto Paslon Pilgub Jatim

Apa artinya pemilu, pilkada, pilwali itu kalau soal kekeringan terus dilakonkan? Di banyak tempat di Indonesia mengalami kekeringan selagi musim kemarau? Orang lantas bermenung: bukankah setiap wilayah itu ada pemimpin yang dipilih untuk mampu mengatasi persoalan rakyatnya, bukan untuk berdalih karena lamanya musim kemarau atau derasnya curah hujan.

Atau jangan-jangan memang ada mafia lingkungan yang merayap di setiap jengkal tanah dengan penguasa hasil pilkada yang diam-diam menyetujuinya. Lihat saja penyalahgunaan tata ruang yang dilipat tata uang di wilayahmu. Maka hati-hati memilih kepala daerah, termasuk yang bergaya ramah lingkungan tetapi menjual asset rakyat kepada pengembang atas nama itu asset pemerintahnya.

Pemimpin itu musti selalu sadar bahwa orang-orang kebanyakan akan berpaling kepadanya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan seperti ditulis Ram Charan (2008). Pemimpin hadir dengan gerak lompatnya dalam melayani masyarakat. Lompatan yang terekam dalam gerakan rakyat lebih mendeskripsikan ruang juang yang tidak selalu linier, bahkan dalam bahasa Friedrich Nietzsche (1844-1900) di karyanya, Also Sprach Zarathustra, kata lompatan terbidik seitensprange – lompatan ke samping. Thomas L. Friedman dalam buku The World Is Flat mengisahkan tulisan temannya, Jack Perkowski, pimpinan dari CEO ASIMCO Technologies, seorang China yang mendapat pelatihan di Amerika – menuliskan pepatah Afrika yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin pada lantai pabriknya:

Baca Juga: Pj Gubernur Jatim Didampingi Ketua KPU RI Tinjau Kesiapan Pilkada 2024 di Pamekasan

Setiap pagi di Afrika seekor gazelle (kijang) terjaga,

Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa tercepat atau ia akan mati

Setiap pagi seekor singa terjaga

Baca Juga: Hiburan Malam Surabaya Diminta Tutup Lebih Awal, Polrestabes Tak Terima Info dalam Penindakan

Ia tahu bahwa ia harus bisa mengejar gazelle terlambat atau ia akan mati kelaparan

Tidak peduli apakah kamu seekor singa atau seekor gazelle

Ketika matahari terbit, kamu harus mulai berlari

Baca Juga: Kapolres dan Ketua KPU Kota Batu Berangkatkan Truk Distribusi Logistik Pilkada 2024

Dengan sawah yang kekeringan dan esok akan kebanjiran, pastilah sang pemimpin harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar ataupun mengejar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat agar sawah ladangnya tidak mengalami kekeringan, sekaligus berlari sebagai tanda penjagaan diri. Dalam batas ini, keterjagaan pemimpin adalah opsi tunggalnya. Kita semua memahami bahwa rakyat memilih seorang pemimpin untuk menjadi panjer pergerakan hidupnya agar mereka tidak gagal sebagai rakyat, apalagi gagal menentukan pemimpinnya. Dari Presiden sampai kepala desa yang telah dipilih rakyat, diniscayakan mampu memahami dan memaknai amanat demokrasi dengan penuh tanggung jawab. Berbagai program pembangunan sang pemimpin harus memberikan solusi tentang kiprahnya yang memanggul daulat rakyat secara terhormat.

Pemimpin harus merekonstruksi kembali kebijakannya kalau wilayahnya banyak mengalami kekeringan ataupun kebanjiran. Siapapun yang merasa menjadi pemimpin, pastilah terpanggil untuk membangun wilayahnya sesuai dengan kebutuhan publiknya. Pemimpin niscaya berkomitmen untuk berbuat kreatif-inovatif dan bermanfaat, sesulit apa pun kondisinya.

Hal ini mengingatkan saya pada surat-surat yang dibuat tentara Jerman ketika menyerbu Rusia di masa Perang Dunia II, yaitu Franz Schneiderdan Charles Gullansyang dihimpun dalam buku Last Letters from Stalingrad. Dalam situasi terkepung dan terjebak perangkap yang sangat mengerikan, tentara ini menulis surat: “… of course, I have tried everything to escape from this trap, but there only two ways left: to heaven or to Siberia …” Kemudian dia lanjutkan: “Waiting is the best thing, because, as I said, the other is useless.

Baca Juga: Besok Coblosan, Walhi Serukan Rakyat Menolong Diri Sendiri

Benarkah jalan terbaik bagi bangsa Indonesia yang sebagian dilanda bencana kekeringan di kala musim kemarau dan banjir di waktu penghujan, adalah menunggu seperti sang pasukan itu tanpa kreasi-inovasi? Seluruh pemimpin nasional kita pastilah menjawab tidak. Jawaban yang sudah cukup untuk mengenali kembali makna substansial yang harus dilakukan seorang pemimpin. Para calon kepala daerah berbaktilah untuk rakyatmu dengan menyelamatkan lingkungan wilayahmu. Selamat bertanding untuk bersanding.

Suparto Wijoyo adalah Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO