SURABAYA, BANGSAONLINE.COM - Dulu porang memang dianggap tanaman liar. Tak disukai petani. Maklum, saat itu porang tak bisa dimakan.
Tapi, tulis Dahlan Iskan, di Jepang sudah ada profesor ahli porang. Profesor inilah yang menginformasikan bahwa porang itu banyak tumbuh di Mojokerto Jawa Timur.
Baca Juga: Penemuan Bayi di Atap Rumah, Polisi akan Periksa Pemilik Rumah
Loh? Simak saja tulisan wartawan kawakan
itu di Disway dan HARIAN BANGSA hari ini, Sabtu, 3 April 2021. Atau bisa dibaca
di BANGSAONLINE.com di bawah ini. Selamat membaca:
.
PORANG lah yang membawa Mr Masaharu Ishii pindah ke Surabaya. Sebagai bekas tentara Jepang yang jadi WNI di Medan, Ishii dianggap punya network di Indonesia.
Karena itu, ketika Jepang memerlukan bahan baku dari Indonesia, Ishii dihubungi. Ishii diminta mencarikan umbi porang dari Indonesia.
Baca Juga: Gagal Curi Sepeda Angin, Pria Tanpa Identitas Tewas Dihakimi Warga di Surabaya
Di Jepang literatur tentang porang sudah banyak. Porang juga tumbuh di Jepang. Dengan susah payah. Di musim salju umbi porang itu diungsikan dulu ke gudang. Kalau musim salju selesai umbi tersebut ditanam lagi.
Bukan hanya tanaman, bahkan di Jepang sudah ada profesor ahli porang. Profesor itulah yang mengatakan, berdasar literatur, tanaman porang banyak didapat di Jawa Timur. Maka Ishii diminta pindah dari Medan ke Surabaya.
Itu masih tahun 1950-an. Saya baru saja lahir. Yanto masih bayi ketika diajak pindah ke Surabaya. Waktu itu kota Surabaya masih lebih terkenal dibanding Jakarta –sebagai kota dagang. Maka Ishii diangkat menjadi perwakilan dagang Jepang di Indonesia –dengan kantor di Surabaya.
Baca Juga: Inilah 7 Panelis Debat Kedua Pilgub Jatim 2024 yang Diselenggarakan KPU
Beberapa waktu kemudian delegasi dagang Jepang ke Surabaya. Salah satunya adalah profesor ahli porang tersebut. Mereka keliling daerah-daerah Jawa Timur untuk mencari di mana ada tanaman porang.
Zaman itu porang dianggap sebagai tanaman liar. Tanaman pengganggu. Petani membuang-buang ubi porang agar jangan mengganggu tanaman lain. Tapi porang itu sakti. Ubi yang dibuang-buang itu tumbuh lagi dan tumbuh lagi.
Delegasi Jepang itu akhirnya menemukan tanaman porang di Mojokerto. Lalu di Blitar. Madiun. Dan di mana saja di Jawa.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Ishii diminta membeli ubi itu. Yang kalau dimakan membuat seluruh mulut gatal-gatal. Petani terheran-heran ada orang membeli ubi porang. Setelah tahu pembelinya orang Jepang rumor pun beredar di kalangan petani: ubi porang itu akan dipakai Jepang untuk membuat senjata perang.
Dengan rumor itu petani tetap tidak tertarik untuk menanam porang: tidak bisa dimakan.
Ishii pun mendirikan pabrik porang. Awalnya sederhana. Hanya untuk membuat chip porang –keripik mentah. Keripik itu dikeringkan dengan oven. Lalu diekspor ke Jepang. Di sana chip itu dijadikan tepung. Itu bukan sembarang tepung. Tepung yang sudah dimurnikan –sudah dibuang unsur yang membuat rasa gatal. Itulah yang disebut tepung glukomanan –juga disebut shirataki. Atau konyaku.
Baca Juga: Korban Begal Perempuan di Surabaya Tewas
Setelah porang jadi tepung apa pun bisa dibuat: butiran beras, mie atau makanan apa saja.
Sambil membuat chip, PT Ambico juga terus belajar teknologi pemurnian tepung porang.
Lama-lama PT Ambico mampu membuat glukomanan. Ishii terus belajar teknologinya. Tidak mudah. Terutama teknologi pemurnian tepungnya.
Baca Juga: Yakini Kebenaran Islam, Dua Pemuda Resmi Mualaf dengan Bersyahadat di Masjid Al-Akbar Surabaya
Kalau awalnya hanya bisa ekspor keripik akhirnya PT Ambico bisa ekspor dalam bentuk tepung.
Tapi ekspornya itu tidak selalu mulus. Terutama ketika Jepang harus melindungi petani porang mereka sendiri. Jepang pun menaikkan tarif impor porang. Ishii terpukul. Ia tidak bisa lagi ekspor tepung porang. Ishii tidak menyerah. Ia lihat masih ada peluang kecil: ekspor barang jadi. Maka Ishii membuat pabrik shirataki: tepung glukomanan itu ia jadikan beras dan mie shirataki. Berhasil. Ia pun kembali ekspor porang ke Jepang –dalam bentuk barang siap masak.
Ia merintis juga ekspor ke Tiongkok. Lalu ke Italia. Khusus yang ke Italia itu, Ishii tidak mau menyebutnya mie. Mie tidak laku di negeri pasta itu. Maka di bungkus shirataki itu ditulis: shirataki pasta. Begitu ditulis pasta orang mau membelinya –padahal bentuknya mie juga.
Baca Juga: 13 Orang Kecolongan HP saat Nonton Kirab Maskot KPU Jatim
Penguasaan teknologi bikin glukomanan itu dipakai juga untuk mengembangkan tepung karagenan. Yang bahan bakunya rumput laut. Ishii pun membangun pabrik rumput laut di sebelah pabrik porang di Porong, dekat Sidoarjo itu.
Di situ PT Ambico menjadi tonggak sejarah porang Indonesia. Masaharu Ishii sendiri, pendiri pabrik porang itu, tidak sempat tahu terjadinya booming porang lima tahun terakhir.
Tapi nama Ishii akan abadi di dunia porang Indonesia. "Tahun ini porang Indonesia mungkin sudah terbesar di dunia. Sudah mengalahkan Myanmar. Apalagi keadaan Myanmar lagi sulit," ujar Johan.
Baca Juga: Viral Tawuran Antarpelajar di Surabaya, Polisi Tidak Tahu
Setelah itu, porang harus memasuki masa konsolidasi. Yakni menjaga mutu. Menurut Johan, chips porang Indonesia sudah ditolak di luar negeri. Itu gara-gara ulah satu dua orang yang curang. Yakni ekspor chip kering yang tidak benar-benar kering. Sampai keluar belatungnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News