KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Puluhan relawan dari lintas komunitas pencinta sejarah di Kediri menggelar doa bersama di Makam Pahlawan Nasional Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Rabu (2/6/2021).
Ari Hakim, Koordinator Relawan mengatakan, selain menggelar doa bersama di Pusara Tan Malaka, para relawan juga membuat papan nama dan bakti sosial dengan menanam pohon.
Baca Juga: Banjir Banyakan Seret 3 Kendaraan, BPBD Kabupaten Kediri Siapkan Dapur Umum
"Karena saat ini masih dalam masa pandemi, maka kegiatan dilaksanakan dengan protokol kesehatan, utamanya wajib memakai masker," kata Ari di lokasi Makam Tan Malaka, Rabu (2/6/2021).
Menurutnya acara terakhir adalah sarasehan terkait perjuangan Tan Malaka dari lahir sampai meninggal di Kediri. Sarasehan diikuti oleh para pegiat sejarah dan pencinta sejarah di Kediri. "Kami ingin mengenang perjuangan Tan Malaka yang seolah sudah terlupakan," ujar Ari.
Diberitakan sebelumnya, bahwa berdasarkan catatan sejarah yang dikutip dari beberapa sumber, Sutan Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat pada tahun 1896.
Baca Juga: Jaring Atlet untuk Porprov, Pordasi Kediri Gelar Kejurprov Berkuda di Lapangan Desa Wates
Dia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi, sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919, dia bekerja di perkebunan di Tanjung Morawa, Deli.
Penindasan terhadap buruh menyebabkannya berhenti bekerja dan pindah ke Jawa tahun 1921. Dia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan dia diasingkan ke negeri Belanda.
Namun, dia malah pergi ke Moskow dan bergerak sebagai agen komunis internasional (komintern) untuk wilayah Asia Timur. Akan tetapi, dia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap komintern yang menentang Pan-Islamisme.
Baca Juga: Buka Rakerda Kejati Jatim 2024 di Kediri, Kajati: Pentingnya Penegakan Hukum Humanis dan Profesional
Dia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Dia sesungguhnya adalah pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh (Vietnam).
Tan Malaka tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di tanah air lahir dan mati. Perjuangan Tan Malaka bersifat lintas bangsa dan lintas benua. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Dia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.
Baca Juga: Gandeng Peradi, Fakultas Hukum Uniska Adakan Ujian Profesi Advokat
Namun, pada tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Dia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut.
Rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Namun, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Dia sama sekali tidak terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.
Baca Juga: Uniska dan ID Consulting Jepang Teken MoU Strategis untuk Penyerapan Tenaga Kerja
Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Karena dia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan di samping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu.
Padahal, dia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika itu, sedang dalam pengejaran intelijen Belanda, Inggris, dan Amerika. (uji/zar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News