Tanpa Perang Pertumpahan Darah, Mochtar Kusumaatmadja Membuat Luas Indonesia Dua Kali Lipat

Tanpa Perang Pertumpahan Darah, Mochtar Kusumaatmadja Membuat Luas Indonesia Dua Kali Lipat Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja menjadi menteri tiga kali, di antaranya Menteri Luar Negeri. Adiknya, Sarwono Kusumaatmadja juga pernah menjadi menteri. Juga tiga kali. Termasuk pada era Presiden Gus Dur.

Banyak sekali jasa Mochtar Kusumaatmadja yang wafat Ahad kemarin. Namun yang membuat Dahlan Iskan heran, bagaimana bisa seorang pribumi seperti Pak Mochtar, di tahun 1955, sudah bisa lulus S-2 dari Yale University, Amerika Serikat.

Lebih unik lagi, ayah Pak Mochtar justru lebih suka membiayai anak orang lain ketimbang membiayai pendidikan Pak Mochtar yang merupakan anaknya sendiri. Alasannya karena Pak Mochtar anak yang jenius.

Loh? Tak perlu dibiayai? Sialakan simak tulisan Dahlan Iskan di DISWAY, HARIAN BANGSA, dan BANGSAONLINE.com pagi ini. Selasa 8 Juni 2021. Selamat membaca:

SAYA pun sudah hampir lupa: begitu besar jasa beliau kepada Indonesia. Boleh dikata, beliaulah yang berhasil membuat luas wilayah Indonesia menjadi dua kali lipat. Tanpa perang. Tanpa pertumpahan darah.

Itulah beliau: Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja. Yang meninggal dunia Ahad kemarin. Dalam usia 92 tahun.

Pak Mochtar adalah ahli hukum laut. Yang pertama dimiliki Indonesia. Yang amat langka pun di dunia –saat itu.

Berkat teori Pak Mochtar maka laut di antara dua pulau di suatu negara adalah termasuk wilayah negara itu.

Singkat kata, beliau berhasil mengegolkan satu bentuk baru sebuah negara: negara kepulauan. Yang itu berbeda dengan negara daratan. Main land. Da Lu.

Dunia pun lantas menerima adanya bentuk negara kepulauan itu. PBB juga mengesahkannya. Jadilah United Nation Convention of the Law of the Sea (UNCLOS).

Dari situ pula perundingan perbatasan laut antara Indonesia dan Australia disepakati. Padahal, sebelum itu, perundingan perbatasan tersebut sangat seret. Rumit. Diwarnai kepentingan ekonomi: ada sumber minyak di laut antara Indonesia dan Australia itu.

Indonesia akhirnya memenangkan perundingan itu. Indonesia pun mendapat separo ladang minyak itu –yang setelah TimTim merdeka menjadi bagian Timor Leste.

Saya tidak habis pikir: bagaimana bisa seorang pribumi seperti Pak Mochtar, di tahun 1955, sudah bisa lulus S-2 dari Yale University, Amerika Serikat. Untuk ilmu hukum. Berarti di tahun 1953 beliau sudah lulus sarjana hukum Universitas Indonesia (UI).

Keluarga jenis apakah beliau? Kok begitu mementingkan pendidikan?

"Generasi kakak saya itu memang istimewa," ujar Sarwono Kusumaatmadja, adik kandung pak Mochtar. "Kakak saya itu bergabung ke tentara pelajar. Tapi sekolahnya kok bisa selesai tepat waktu," ujar Sarwono yang juga pernah menjadi menteri di zaman Pak Harto dan di zaman Gus Dur.

Sarwono adalah politikus besar: Sekjen Golkar yang sangat legendaris. Golkar tapi kritis. Kritis tapi Golkar.

Menurut Sarwono, ibundanya adalah keluarga pesantren Balerante di Cirebon. "Beliau orang pesantren pertama yang disekolahkan di sekolah Belanda," ujar Sarwono. Sang ibu lantas menjadi guru SD di Sekolah Kartini.

Sedang ayahnya adalah pegawai di pemerintahan Belanda. "Ayah saya dari kalangan klein ambtenaar, tapi profesi beliau asisten apoteker," ujar Sarwono.

Sejak kecil Mochtar sudah terlihat pintar dan cerdas. "Kakak saya itu tergolong jenius," ujar Sarwono mengutip pendapat banyak orang di sekitarnya. Kejeniusan itulah yang membuat ayah dan ibunya berbeda pendapat.

"Ibu saya minta agar Mochtar dibiayai untuk sekolah di luar negeri. Ayah saya tidak setuju. Menurut ayah, yang perlu dibantu adalah keluarga lain yang tidak mampu," ujar Sarwono.

"Mochtar itu dibiarkan saja bisa jadi dengan sendirinya," ujar sang ayah seperti ditirukan Sarwono.

Akhirnya Mochtar tidak diberi uang. Ia pilih sendiri untuk sekolah di UI. Lalu ke Amerika Serikat.

Memilih sekolah ke Amerika itu pun sudah menunjukkan ''keanehan'' tersendiri. Pada zaman itu semua anak muda ingin sekolah ke Belanda. Apalagi untuk ilmu hukum. Mereka pasti memilih ke Leiden.

"Kakak saya juga punya bakat bisnis," ujar Sarwono.

Ketika kuliah di UI, pamannya yang di Cirebon sering membawa makanan khas daerah. Mochtar-lah yang mengedarkan makanan itu ke warung-warung. "Saya kebagian pekerjaan bungkus-bungkus," ujar Sarwono lantas tertawa.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO