Digugat Bertubi-tubi, 500.000 Orang Meninggal Akibat Obat OxyContin

Digugat Bertubi-tubi, 500.000 Orang Meninggal Akibat Obat OxyContin Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Banyak sekali yang menggugat perusahaan obat . Alasannya karena setengah juta orang meninggal akibat mengonsumi obat ini. Tapi Richard Stephen Sackler, sang konglomerat, malah berusaha mengubah dengan nama lain.

Bagaimana sikap pengadilan? Simak tulisan wartawasn kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com hari ini, Sabtu 12 Maret 2022. Selamat membaca:

SAYA mengerti, hari ini ulang tahun Anda yang ke-77,” ujar ibu itu sambil menahan marah. Anaknyi, yang sangat dia cintai, meninggal dunia akibat konglomerat obat yang rakus itu: Richard Sackler.

Kemarahan Kristy Nelson dilampiaskan di sidang pengadilan Kamis kemarin. Tiap tahun Kristy masih harus ke kuburan anaknyi itu. Termasuk akhir Maret nanti.

”Saya ingin bertanya: bagaimana Anda bisa merayakan ulang tahun, sementara saya harus ke kuburan?” ujar Kristy. ”Anda itu sampah dunia,” katanyi.

Bukan hanya Kristy yang marah. Lebih dari 500.000 orang di Amerika Serikat (AS) meninggal akibat minum obat produksi Purdue Pharma ini: . Itulah obat painkiller untuk mengurangi rasa sakit.

Di Kanada, yang meninggal melebihi 4.000 orang. Banyak lagi di negara lain. Gugatan datang dari ribuan orang ke pabrik obat itu. Hampir di seluruh negara bagian.

Sidang pengadilan itu, seperti disiarkan banyak media AS, berlangsung secara online. Bos Purdue Pharma hadir di layar komputer.

Saking banyaknya tuntutan dari masyarakat, pabrik obat itu sendiri mengajukan surat ke pengadilan: agar dinyatakan bangkrut. Pengadilan akan memutuskan apakah Purdue Pharma boleh bangkrut. Lalu, melepaskan tanggung jawabnya.

Begitu banyak yang meninggal akibat itu sampai istilah yang dipakai di AS ”wabah opioid”. Opioid adalah sejenis opium sintetis. Yang meminum merasa nyaman. Rasa sakit hilang. Pikiran pun bisa senang.

Lalu, merasa ketagihan.

Yang banyak meninggal itu akibat overdosis. Lebih dari setengah juta orang meninggal dalam kurun waktu 5 tahun. Pantas disebut wabah.

Orang yang minum obat juga bisa berubah kebiasaan. Perubahan yang umum: suka menyendiri, kurang minat untuk beraktivitas, perubahan mood yang cepat, suka tidur di jam yang tidak seharusnya, suka melanggar aturan, dan ujungnya Anda sudah tahu: terlibat kesulitan uang.

Negara bagian pertama yang menggugat Purdue Pharma adalah Massachusetts. Di tahun 2018. Yang digugat bukan hanya perusahaan. Melainkan juga pemilik dan 15 direktur/manajer puncaknya.

Mereka dianggap telah menyesatkan dokter dan pasien. Tujuannya semata-mata untuk meningkatkan penjualan. Juga, menjauhkan pasien dari obat penghilang sakit lain yang lebih aman.

opium sintetis seperti itu bisa 100 kali lebih berbahaya daripada opium asli. Celakanya, kandungan obat seperti itu sering dimasukkan ke jenis obat bebas.

Purdue Pharma sudah tahu semua itu. Tapi, terus saja berpromosi untuk meningkatkan penjualan. Karena itu, berhasil menjadi obat yang sangat laris di AS. Pendapatan satu tahunnya mencapai 3 miliar dolar AS. Sekitar Rp 43 triliun. Hanya di tahun 2017.

Dalam perjalanan suksesnya, Purdue Pharma akhirnya menetapkan diri sebagai spesialis di bidang obat painkiller. ”Orang itu menderita karena sakit. Purdue Pharma membuat orang tidak lagi menderita”. Kira-kira begitu moto corporate image-nya.

Ketika gugatan datang bertubi-tubi, Purdue Pharma akhirnya setuju: membayar 6 miliar dolar AS (sekitar Rp 86 triliun) untuk rehabilitasi pasien yang kecanduan. Tapi, itu belum dianggap cukup. Mereka yang meninggal tidak bisa direhabilitasi. Dan jumlahnya begitu besar.

Perkembangan perkara obat painkiller itu tambah serius. Apalagi, pemilik perusahaan masih berusaha mengubah nama untuk penyelamatan masa depannya. Nama Purdue Pharma akan diganti dengan Knoa Pharma. Tujuannya: obat lain produk Purdue tetap hidup.

Richard Stephen Sackler, sang konglomerat, mewarisi perusahaan dari ayahnya. Mendiang sang ayah membeli perusahaan itu dari orang lain. Nama Purdue Pharma sama sekali tidak ada kaitan dengan Purdue University yang terkenal sekali itu. Yang Anda sudah tahu di mana kampusnya: di dekat Lafayette, Indiana. Hanya kebetulan nama pendiri Purdue Pharma ini John Purdue, meski sebenarnya punya nama belakang Gray. Sedangkan John Purdue yang terkait dengan Purdue University adalah seorang konglomerat dari Lafayette, Indiana, yang menyumbang uang dan tanah untuk mendirikan Purdue University. Itu pertengahan 1980 –puluhan tahun sebelum Purdue Pharma lahir di New York.

Sackler junior sendiri seorang dokter. Ketika bergabung ke perusahaan keluarga, Sackler junior itulah yang mengurus bagian riset, pengembangan, sekaligus yang memimpin marketing.

Sackler inilah, seperti ditulis The New York Times, yang mendorong agar obat sejenis yang lama, MS Contin, diganti dengan . Ketika 1995 mengurus persetujuan dari FDA –BPOM-nya Amerika– Sackler beralasan kurang membuat kecanduan jika dibandingkan dengan obat painkiller lainnya.

Yang membuat Sackler tidak berkutik adalah: ia pernah kirim e-mail ke semua stafnya. Isinya: meyakinkan staf bahwa kecanduan yang terjadi pada pasien bukan akibat kandungan , melainkan kelakuan ”kriminal” dari penggunanya. Sackler juga ketahuan mendorong bagian penjualan untuk mengampanyekan penggunaan dengan dosis yang lebih tinggi.

Sackler, duda tiga anak yang kaya raya itu, sekarang menghadapi perkara serius. Yang menggugatnya: ribuan orang/pihak. Bukan sepuluh atau dua puluh.

DPR Amerika Serikat sampai turun tangan: mengeluarkan UU agar jangan sampai hakim di perkara kebangkrutan itu memberikan perlindungan kekebalan kepada keluarga Sackler.

memang bisnis besar. Semua orang takut sakit. Ketakutan seperti itulah yang dimanfaatkan produsen obat di mana-mana. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hariDahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Takut sakit itu menyenangkan.... (*)

Komentar Pilihan Disway*

Edisi 11/3: Pancingan DMO

yusuf ridho

Ngapunten Abah... Kalau tidak salah (berarti benar), kemampuan MiG-29 Fulcrum itu sama dengan pesawat tempur Amerika Serikat F/A-18 Hornet. Bukan F-15 Eagle yang rencananya diakuisisi TNI-AU. Karena itu, negeri jiran Malaysia menggabungkan dua jenis pesawat tempur tersebut dalam inventaris alutsista angkatan udaranya.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO