Oleh: Mukhlas Syarkun --- Jika merujuk kitab Kutubus Sittah, Salat Tarawih sesungguhnya masuk katagori qiyamul lail (salat malam) yang mendapat perhatian khusus Nabi Muhammad saat Ramadan. Beliau melaksanakan qiyamul lail di masjid. Dengan surat panjang. Tapi sendirian, tidak berjamaah.
Namun Nabi kadang juga melaksanakan qiyamul lail di rumah. Juga dengan surat panjang. Juga sendirian.
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
Nabi kadang juga melaksanakan qiyamul lail di masjid tapi dilanjutkan lagi di rumah. Juga dengan surat yang panjang. Tapi lagi-lagi sendirian, tidak berjamaah.
Berapa rakaat? Ini yang menarik. Nabi melaksanakan qiyamul lail atau salat malam dengan rakaat yang bervariasi. Jadi Nabi tak pernah menentukan berapa rakaatnya.
Pasca Nabi wafat, para sahabat meneruskan secara sendiri-sendiri, sebagaimana dicontohkan Nabi.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Namun ketika Umar bin Khattab diangkat sebagai Khalifah, ia mulai berpikir untuk melembagakan Salat Tarawih. Khalifah yang terkenal sangat adil dan pemberani itu membuat formasi Salat Tarawih 20 rakaat. Tapi dengan surat-surat pendek.
Tampaknya Umar ambil jalan tengah. Jika pada era Nabi dan khalifah sebelumnya pakai surat panjang-panjang, maka pada era Umar pakai pakai surat pendek. Tapi 20 rakaat.
“Hadza bid’atun hasanah,” kata Umar bin Khattab. Artinya, inilah bid’ah yang baik.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Tapi formasi Salat Tarawih era Khalifah Umar bin Khattab itu berubah ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sukses menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya – sampai tak ada satu pun manusia dan binatang kelaparan - mengubah formasi Salat Tarawih menjadi 36 rakaat. Sayang, Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya berkuasa sekitar 2,5 tahun.
Namun dalam sejarah Islam kita melihat bahwa mayoritas imam madzhab mengikuti formasi Salat Tarawih Khalifah Umar bin Khattab. Yaitu Salat Tarawih 20 rakaat.
Meski demikian, kemudian juga muncul formasi Salat Tarawih baru yang dikembangkan Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al Albani yang populer dengan Albani. Ulama ahli Hadits ini membuat Salat Tarawih 11 rakaat (sekalian witirnya).
Baca Juga: Menangkan Pasangan SAE, Ratusan Kader dan Pengurus DPD PAN Sidoarjo Rapatkan Barisan
Formasi Salat Tarawih versi Albani ini ada dua model. Yaitu 2 2 2 2, 3 dan 4 4 3. Maksudnya, 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat, lalu 3 rakaat. Jumlahnya 11 rakaat. Model berikutnya, 4 rakaat, 4 rakaat, lalu 3 rakaat.
Albani adalah ulama Hadits yang banyak menjadi rujukan penganut Wahhabi. Tokoh Salafy ini sangat berpengaruh di Suriah.
Walhasil, dalam sejarah Islam terjadi dinamika formasi Salat Tarawih yang kemudian memiliki pengikut masing-masing. Di Indonesia, umat Islam juga bervariasi. NU Salat Tarawih 20 rakaat plus witir 3 rakaat (dua kali salam). Berarti sama dengan ijtihad Khalifah Umar bin Khattab.
Baca Juga: Panas! Saling Sindir soal Stunting hingga 'Kerpek' Catatan Warnai Debat Terakhir Pilbup Jombang 2024
Sedang Muhammadiyah Salat Tarawih 11 rakaat (sekalian witir). Berarti Muhammadiyah menganut atau mengikuti Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al Albani. Atau paling tidak, sepaham dengan Albani. Meski demikian, Muhammadiyah mengklaim bahwa 11 rakaat itu adalah contoh dari Nabi Muhammad.
Sejatinya, Ahmad Dahlan, pendiri Muhammdiyah Salat Tarawih 20 rakaat. Itu tertulis dalam Kitab Tauhid, Fiqh dan Tasawuf karangan Ahmad Dahlan. Bahkan banyak saksi sejarah yang mengatakan bahwa Ahmad Dahlan melakukan Salat Tarawih 20 rakaat di Masjid Syuhada Yogyakarta. Tapi tokoh-tokoh Muhammadiyah menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan Dahlaniyah.
(Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan Muhammadiyah. foto: net)
Baca Juga: Lazisnu Surabaya Jadi Perantara Kebaikan
Jadi ada perbedaan antara Muhammadiyah lama dan Muhammadiyah baru. Di NU juga begitu. Ada NU lama. Ada NU baru.
Tak percaya? Saya kutip anekdot Gus Dur ketika diundang buka bersama Presiden Soeharto. Saat itu Soeharto minta Gus Dur menjadi imam Salat Tarawih. Tapi karena masih punya acara lain, Gus Dur mewakilkan pada Kiai Asrori untuk menggantikan.
Nah, sebelum pamit, Gus Dur nawari Pak Harto jumlah rakaat salat tarawih, apakah mau mengikuti NU lama atau NU baru. Pak Harto kaget.
Baca Juga: Vinanda-Qowim Tegas Diingatkan Muhammadiyah Kota Kediri untuk Sampingkan Kepentingan Kelompok
“Memang, kalau NU lama jumlah rakaatnya berapa,” tanya Soeharto.
“Kalau NU lama jumlah rakaat tarawih dan witirnya 23 rakaat,” jelas Gus Dur.
“Kalau NU baru?,” tanya Soeharto.
Baca Juga: Barisan Jawara Deklarasi Dukung Khofifah-Emil
“Kalau NU yang baru diskon 60 persen. Tarawih dan witirnya hanya 11 rakaat,” kata Gus Dur. Pak Harto tertawa. Ia pilih yang 11 rakaat karena pinggangnya sakit.
(KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). foto: Setneg)
Demikianlah, bedanya orang Muhammdiyah baru dengan NU baru. Muhammadiyah baru meyakini 11 rakaat itu contoh dari Nabi Muhammad, padahal itu formasi Albani. Sementara NU anyaran menjalani 11 rakaat karena ambil paket diskon 60 persen, daripada tidak salat tarawih.
Lumayan masih dapat 40 persen, bukankah demikian???
Mukhlas Syarkun adalah alumnus Malaya University Malaysia jurusan Syariah. Kini banyak menulis buku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News