JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Hasil penelitian beberapa lembaga tentang kecenderungan laki-perempuan hidup serumah tanpa ikatan pernikahan alias kumpul kebo makin marak di Indonesia. Seperti dilansir berbagai media, fenomena kumpul kebo itu banyak dilakukan anak-anak muda di Indonesia bagian timur, terutama anak-anak muda non Muslim.
Hasil studi pada 2021, berjudul The Untold Story of Cohabitation, mengungkapkan bahwa kumpul kebo lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Baca Juga: BRIN Sebut Teknologi Ruang Angkasa Bisa Tingkatkan Perekonomian dan Pertahanan Indonesia
Peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, mengungkap, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk kumpul kebo bersama pasangan, yakni beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.
"Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi," ungkap Yulinda, dikutip Minggu (3/11/2024).
"Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal," lanjutnya.
Baca Juga: BRIN Paparkan Penyebab Tingginya Curah Hujan
Yulinda menyebut, pihak yang paling terdampak secara negatif akibat "kumpul kebo" adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.
"Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya," terang Yulinda.
Begitu juga dari segi kesehatan, kumpul kebo dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.
Baca Juga: Tiduri Istri Orang, Pria di Petemon Surabaya Digerebek Polisi
Menurut data PK21, sebanyak 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62 persen mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.
"Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status "anak haram", bahkan dari anggota keluarga sendiri," kata Yulinda.
Baca Juga: Bangkitkan Industri Penerbangan, Komunitas Nahdliyin Bahas Industri Kedirgantaraan di Lombok NTB
"Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan," lanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News