Revisi UU TNI Akan Disahkan DPR Besok, Alissa Wahid: Tunda, Batalkan!

Revisi UU TNI Akan Disahkan DPR Besok, Alissa Wahid: Tunda, Batalkan! Alissa Wahid.

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid meminta DPR RI dan pemerintah untuk membatalkan atau menunda rapat paripurna pengambilan keputusan terhadap RUU TNI, yang rencana akan digelar pada Kamis (20/3/2025) pagi. Kepastian rencana pengesahan revisi UU yang menuai kontroversi publik itu diketahui publik, menyusul beredarnya Surat Undangan Nomor B/4292/LG.01.01/3/2025 tertanggal Rabu (19/3/2025) hari ini.

Alissa Wahid menyebut pembahasan revisi terhadap UU TNI telah nyata cacat proses. Menurutnya, pembahasan sebuah undang-undang harus melibatkan publik dan dilakukan secara terbuka dan transparan. DPR RI semestinya menjadi representasi masyarakat, bukan mewakili golongan elite dalam membahas undang-undang.

"Rapat sebaiknya ditunda dulu, tidak boleh ada pengambilan keputusan sebelum masyarakat dilibatkan dalam pembahasannya," cetus putri sulung Gus Dur ini.

Dalam rilisnya, Jaringan Gusdurian menyebutkan, dalam beberapa hari terakhir DPR RI dan pemerintah membahas Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menuai protes dan kecaman dari masyarakat pro-demokrasi. Ada banyak persoalan dalam agenda tersebut, mulai tidak adanya urgensi, diadakan di hotel mewah, hingga penjagaan oleh Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia (Koopssus TNI), yang merupakan salah satu unit pasukan elite yang dibentuk untuk menangani aksi terorisme. Meski menimbulkan gejolak, pembahasan RUU TNI disebut sudah rampung dan akan dibawa ke tingkat II atau paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Salah satu kekhawatiran terbesarnya adalah RUU TNI berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI yang sudah dihapus di masa presiden KH. Abdurrahman Wahid. Penghapusan Dwifungsi ABRI kemudian dirumuskan menjadi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai bagian integral reformasi TNI.

Di masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI diterjemahkan dalam tindakan masuknya tentara dalam segala sendi kehidupan. Dwifungsi ABRI menjadi alat untuk mencampuri urusan semua pihak tanpa terbendung lagi. Orang sipil seolah-olah tidak mempunyai hak sama sekali untuk menentukan segala sesuatu tanpa izin ABRI, seperti pemilihan lurah dan sebagainya. Masuknya ABRI untuk mengurusi semua bidang mematahkan inisiatif di bawah. Masyarakat merasa tidak ada gunanya lagi mencari alternatif karena akan dikalahkan alternatif dari militer. Hal ini merupakan praktik yang buruk dalam kehidupan berdemokrasi.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kontrol sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam pemerintahan atau politik. Hal ini dikarenakan demokrasi mengutamakan supremasi sipil, yakni pemerintahan dijalankan oleh warga sipil yang dipilih secara demokratis. Dwifungsi militer akan mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, sehingga melemahkan kontrol sipil atas angkatan bersenjata.

Berikut Pernyataan Sikap Jaringan Gusdurian menanggapi akan disahkannya Revisi atas UU TNI.

Pertama, menolak revisi UU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI/Polri. Prajurit aktif harus fokus pada tugas pertahanan negara, bukan politik atau administrasi pemerintahan. Keterlibatan prajurit aktif dalam politik dapat mengurangi profesionalisme dan membuat tentara abai terhadap tugas utamanya sebagai penjaga kedaulatan negara. Selain itu, dengan kekuatan bersenjata dan posisi strategis dalam pemerintahan, tentara berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, melanggar HAM, dan bersikap represif terhadap masyarakat.

Kedua, meminta DPR RI dan pemerintah untuk membatalkan atau menunda paripurna pengesahan RUU TNI karena cacat proses. Pembahasan sebuah undang-undang harus melibatkan publik dan dilakukan secara terbuka dan transparan. DPR RI semestinya menjadi representasi masyarakat, bukan mewakili golongan elite dalam membahas undang-undang.

Ketiga, mengecam pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan cenderung menghindari pengawasan publik. Apalagi rapat tersebut menggunakan fasilitas mewah di tengah banyaknya jargon efisiensi yang berimbas pada memburuknya pelayanan publik di berbagai sektor.

Keempat, mengajak Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan partai politik untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara dengan mendukung agenda reformasi demi kuatnya demokrasi. Menyetujui RUU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI/Polri adalah bentuk pengkhianatan pada reformasi.

Kelima, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal demokrasi dan semangat reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil.

Keenam, mengajak seluruh penggerak Gusdurian untuk melakukan konsolidasi nasional bersama jejaring masyarakat sipil di berbagai titik guna mengamati dinamika sosial dan politik serta menyiapkan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan demokrasi.

(*)