
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Sejumlah anak muda menuju ke sebuah masjid yang dikenal menerapkan paham Muhammadiyah di Surabaya, Jumat (6/6/2025). Tiba di mulut gang mereka bertemu dengan “panitia” penyembelihan hewan kurban. Para “panitia” itu sedang duduk santai dan bergerombol di warung. Sebagian sibuk mengurus daging hewan kurban yang baru disembelih.
Melihat ada anak-anak muda yang mau jumatan ke masjid tersebut, salah seorang yang juga ikut menangani hewan kurban, memberi tahu kalau jumatan di masjid tersebut “libur”. Alasannya, bertepatan dengan shalat Idul Adlha yang jatuh pada hari Jumat. Cukup shalat dzuhur saja.
“Gak ada jumatan, Mas,” kata orang tersebut kepada anak-anak muda itu.
Anak-anak muda yang mengenakan sarung tanpa kopyah itu akhirnya berbalik arah. Mereka menuju masjid NU yang terletak di gang sebelah di kawasan kampung tersebut. Mereka akhirnya shalat jumat di masjid tersebut.
Peristiwa ini menarik. Karena masjid ini dikelola orang-orang berpaham Muhammadiyah, tapi secara politik berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Lalu bagaimana sebenarnya pandangan Muhammadiyah tentang Idul Adlha yang jatuh pada hari Jumat? Apakah shalat Jumat-nya "libur" cukup shalat dzuhur?
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Yayuli, menyatakan bahwa dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW memang pernah memberikan keringanan untuk tidak melaksanakan salat Jumat setelah salat Id, terutama bagi jamaah yang tinggal jauh dari masjid. Namun, kata Yayuli, konteks kekinian berbeda.
“Pada masa Nabi memang pernah diberi rukhsah atau keringanan untuk tidak melaksanakan salat Jumat bagi yang sudah salat Id, tapi itu karena kondisi geografis. Sekarang, akses ke masjid mudah, maka sebaiknya tetap melaksanakan keduanya,” terang Yayuli saat menjadi narasumber dalam Kajian Tarjih Online Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang digelar secara daring oleh Biro Pengembangan dan Sumber Daya Manusia (BPSDM), Selasa (3/6).
Menurut Yayuli, seperti dilansir pwmjateng.com, pelaksanaan dua ibadah ini (Shalat Idul Adlha dan shalat jumat) pada hari yang sama tidak seharusnya menjadi alasan untuk meninggalkan salah satunya. Yayuli mendorong umat Islam agar menunaikan keduanya demi kesempurnaan ibadah.
Dr H Thoat Stiawan MHI, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Surabaya, Dekan FAI UM Surabaya, lewat klikmu.co, melansir pendekatan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Menurut dia, Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 01/MLM/I.0/E/2020 menegaskan bahwa: “Apabila Hari Raya Idul adha atau Idul fitri jatuh pada hari Jumat, maka umat Islam tetap dianjurkan untuk melaksanakan salat Jumat meskipun sudah melaksanakan salat Id di pagi harinya.”
Menurut Thoat, pada era modern dengan akses yang lebih mudah ke masjid dan kondisi sosial yang berbeda dari zaman Rasulullah, rukhsah tetap berlaku tetapi dengan catatan: Dalam situasi normal, umat dianjurkan untuk tetap melaksanakan salat Jumat setelah salat Id demi menjaga kontinuitas ibadah berjamaah dan keutamaan salat Jumat. Dalam kondisi khusus seperti pandemi, sakit, atau jarak yang sangat jauh, rukhsah mengganti salat Jumat dengan salat Zuhur di rumah sangat dianjurkan.
Hal ini sejalan dengan prinsip maqāṣid syariah yang memprioritaskan kemaslahatan dan menghindari mudharat. Dalam konteks fikih kontemporer Indonesia, tegas Thoat, diperlukan telaah moderat antara rukhsah (keringanan) dan ‘azimah (ketentuan asal).
Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa rukhsah bukanlah pengguguran total, melainkan bersifat kondisional, tergantung keadaan, jarak, atau keperluan syar’i lainnya. Maka, pendekatan edukatif dan bijak oleh para tokoh agama dan ormas Islam sangat penting, agar masyarakat tidak sembarangan menggunakan dalil rukhsah tanpa memperhatikan maqashid syariah dan realitas kekinian.