
Oleh : Khariri Makmun*
Di tengah euforia global terhadap crypto, AI, dan revolusi teknologi lainnya, satu hal yang jauh lebih esensial justru terabaikan: air. Sumber kehidupan paling dasar ini pelan-pelan berubah menjadi barang langka, mahal, dan diperebutkan, persis seperti komoditas digital yang nilainya melambung karena kelangkaannya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, air akan menjadi komoditas yang lebih berharga dari minyak, lebih strategis dari emas, dan lebih eksklusif dari Bitcoin. Pertanyaannya: apakah kita sadar? Dan yang lebih penting lagi—siapa yang akan memilikinya.
Fenomena ini bukan sekadar spekulasi futuristik. Kita sudah melihat gejalanya hari ini. Di berbagai negara, air telah menjelma dari hak publik menjadi properti korporasi. Di Afrika Selatan, India, dan Amerika Latin, warga harus membeli air dengan harga selangit sementara perusahaan-perusahaan raksasa seperti Nestlé, Coca-Cola, dan Danone menyedot jutaan liter air dari mata air yang dulunya milik masyarakat.
Ironis, rakyat kehausan di tengah kelimpahan karena sumbernya sudah berpindah tangan secara legal.
Yang mengkhawatirkan, proses peralihan ini dibungkus rapi dengan narasi investasi, efisiensi, dan pembangunan. Pemerintah-pemerintah di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, kerap menyambut dengan tangan terbuka kedatangan modal asing ke sektor sumber daya air. Mereka menyebutnya sebagai kerja sama publik-swasta. Padahal dalam praktiknya, negara justru kehilangan kontrol atas hulu dan distribusi air, menyerahkannya pada pasar yang tak kenal empati.
Lihat saja kasus di Indonesia. Di banyak wilayah, mata air dikuasai oleh perusahaan air minum kemasan. Sementara warga yang tinggal di sekitarnya harus menggali lebih dalam, atau bahkan membeli air bersih untuk kebutuhan harian. Krisis air bukan lagi persoalan kekeringan semata, tapi soal ketimpangan akses dan dominasi modal. Dan ini adalah bentuk baru dari kolonialisme: penguasaan sumber daya vital oleh segelintir elite global dengan restu negara.
Situasi ini bisa bertambah gawat jika kita membiarkan logika pasar merembes ke pengelolaan air. Beberapa perusahaan teknologi saat ini tengah mengembangkan sistem distribusi air berbasis blockchain. Kuota air, hak atas sumber air, bahkan alokasi air domestik, bisa ditokenisasi dan diperjualbelikan layaknya saham atau crypto.
Kedengarannya futuristik, tapi di balik inovasi itu tersimpan ancaman serius: spekulasi terhadap air. Akses terhadap air bersih bisa berubah jadi permainan bursa digital yang hanya bisa diikuti oleh mereka yang punya modal dan koneksi.
Jauh sebelum kita sadar pentingnya air, para taipan global sudah bergerak lebih dulu. Keluarga Rockefeller—simbol kekuasaan kapitalisme Amerika—telah membeli hak atas sumber air di berbagai belahan dunia sejak satu abad lalu. Ted Turner, pendiri CNN dan pemilik tanah terbesar di Amerika Serikat, membeli jutaan hektar lahan bukan untuk bertani, melainkan untuk menguasai hak air di dalamnya. Mereka tahu, di masa depan, konflik bukan hanya soal minyak atau uranium, tapi soal siapa yang punya akses ke sumber air bersih.
Konflik Air Dalam Skala Geopolitik
Bahkan, konflik air sudah terjadi secara nyata dalam skala geopolitik antarnegara. Di Asia Selatan, sungai Indus yang vital bagi Pakistan dikendalikan hulu alirannya oleh India. Ketegangan antar kedua negara yang bertetangga ini tidak hanya disebabkan oleh isu politik dan terorisme, tapi juga oleh perebutan sumber daya air.
India membangun bendungan dan kanal untuk mengalihkan aliran air, dan Pakistan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap perjanjian internasional. Di tengah krisis iklim, ketegangan ini berpotensi menjadi pemicu perang berskala besar.
Hal yang sama terjadi antara China dan India di wilayah Himalaya. China mengontrol sebagian besar hulu sungai besar yang mengalir ke India dan negara-negara Asia Tenggara. Dengan pembangunan bendungan raksasa di Tibet, China punya kekuatan untuk “menutup keran” bagi negara-negara di hilir. Air kini menjadi senjata politik dan diplomasi. Ini menandai babak baru: hydro-hegemony—di mana negara yang menguasai sumber air di hulu memegang kendali atas nasib negara di hilir.
Ini bukan sekadar cerita geopolitik di luar negeri. Indonesia juga sangat rentan. Sebagian besar sungai utama kita mengalami degradasi kualitas. Air tanah di kota-kota besar telah tercemar. Jika kita tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin konflik horizontal atau vertikal akan terjadi akibat perebutan air—baik antarwarga, antarwilayah, atau antara rakyat dan perusahaan.
Kita harus sadar bahwa yang sedang dipertaruhkan bukan hanya lingkungan, tapi juga kedaulatan bangsa. Bila air jatuh ke tangan asing, maka negara kehilangan pijakan dasarnya. Bagaimana mungkin kita bicara kedaulatan pangan jika air dikuasai pihak luar? Bagaimana kita bisa mandiri secara energi jika air untuk PLTA pun harus dibeli dari pemilik modal? Bagaimana rakyat bisa hidup bermartabat jika kebutuhan paling dasar mereka—air—harus ditebus dengan harga pasar global?
Privatisasi air adalah pengingkaran terhadap amanat konstitusi yang menjamin bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sayangnya, banyak pejabat yang lebih takut pada lembaga donor internasional daripada penderitaan rakyatnya sendiri. Mereka bersedia menggadaikan sumber daya vital demi menutup defisit anggaran atau mengundang investor, seolah-olah tak ada jalan lain untuk membangun bangsa.
Sudah saatnya kita menata ulang orientasi pembangunan. Negara harus mengambil alih kembali kontrol atas sumber air, bukan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Pengelolaan air harus berbasis pada prinsip keadilan ekologis dan sosial.
Air adalah hak dasar manusia, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan seenaknya. Kita perlu menolak segala bentuk liberalisasi sektor air, baik yang dilakukan terang-terangan maupun lewat pintu belakang.
Gerakan dari bawah juga penting. Komunitas, pesantren, dan organisasi masyarakat sipil harus ambil bagian dalam melindungi sumber air. Kita perlu menghidupkan kembali semangat “commons”—gagasan bahwa air adalah milik bersama, dikelola bersama, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Ini bukan nostalgia romantik, tapi satu-satunya cara agar air tidak direbut oleh pasar dan korporasi.
Isu air harus masuk dalam agenda politik nasional. Calon legislatif, bupati, gubernur, bahkan capres harus ditanya: apa sikap mereka terhadap privatisasi air?
Apakah mereka berani menolak investasi yang mengorbankan hak rakyat atas air? Apakah mereka punya strategi untuk melindungi sumber daya air dari eksploitasi jangka panjang? Ini adalah ujian moral sekaligus komitmen kebangsaan.
Jika kita tidak segera bertindak, kita akan menyesal di kemudian hari. Kelak, anak cucu kita mungkin harus membeli air dengan harga yang hanya bisa dibayar oleh orang kaya. Dan saat itu, kita tak bisa menyalahkan siapa pun—karena kitalah yang membiarkan air, sumber kehidupan paling dasar, dijual atas nama kemajuan.
Air bukan sekadar kebutuhan. Ia adalah hak. Ia adalah kedaulatan. Dan jika kita tidak menjaganya, kita sedang menggali lubang kehancuran kita sendiri.
Penulis adalah Pengasuh Pesantren Algebra, Ciawi, Bogor.