
JOMBANG, BANGSAONLINE.com – Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA mengungkapkan bahwa Chairul Tanjung, owner Trans Media, yang membawahi Trans7, kemungkinan kecolongan karena stasiun TV miliknya diuduga dimanfaatkan oleh karyawan yang menganut Wahhabi untuk merendahkan pondok pesantren.
“Saya nilai Chairul Tanjung itu orang sholeh. Orang baik. Saya yakin Chairul Tanjung menganut Ahlussunnah Waljamaah. Chairul Tanjung pernah datang ke pondok saya didampingi Pak Nuh. Shalat jemaah, saya yang mengimami,” tegas Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojkerto Jawa Timur dalam seminar nasional bertajuk Menguatkan Moderasi Beragama di Tengah Dinamika Sosial Tantangan Era Digital di Pendopo Kabupaten Jombang, Senin (20/10/2025).
“Tapi kemungkinan Chairul Tanjung kecolongan. Trans7 diduga dimanfaatkan Wahhabi untuk merendahkan pondok pesantren, “ tambah kiai miliarder tapi dermawan itu.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PP Pergunu) itu mendesak agar Chairul Tanjung segera memecat karyawan yang berafiliasi ke Wahhabi karena sangat tidak menguntungkan, baik bagi Trans7 maupun bangsa Indonesia.
Dalam seminar nasional yang digelar LP Maarif dan PCNU Kabupaten Jombang itu hadir Rais Syuriah PCNU Jombang KH Achmad Hasan, Ketua Tanfidziah PCNU Jombang KH Fahmi Amrullah Hadzik (Gus Fahmi) dan para kiai lainnya.
Selain Kiai Asep, seminar itu juga menghadirkan nara sumber Prof Masdari Hilmy, Ph.D, mantan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya. Seminar yang dimulai pukul 9.00 pagi itu dihadiri ratusan pengurus NU dan perwakilan organisasi lain seperti Muhammadiyah dan lainnya.
Kiai Asep yang membahas tentang transformasi pesantren menegaskan bahwa oup put pondok pesantren bisa jauh lebih bagus dan berkualitas ketimbang produk SMA Negeri atau sekolah lainnya.
“Karena kita punya waktu lebih panjang. Asal para santri punya cita-cita kuat. Al-jiddu wal muwazhabah atau berkesungguhan dan ajeg dalam berkesungguhan,” tegas kiai miliarder tapi dermawan itu.
Selain itu juga didukung oleh guru-guru yang kompeten dan bertanggungjawab serta menjadi teladan moral. “Guru juga harus mendoakan murid-muridnya. Kalau di SMA Negeri gak ada guru yang mendoakan muridnya,” tegas putra pahlawan nasional KH Abdul Chalim itu.
Kiai Asep menunjukkan contoh para santrinya sendiri yang banyak diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) favorit dan luar negeri.
“Di Mojokerto ada 20 SMA Negeri. Tapi dari 20 SMA Negeri itu jauh lebih bagus satu SMA Amantul Ummah. Tahun ini saja 1.237 santri Amanatul Ummah diterima di PTN dan perguruan tinggi luar negeri. Sebanyak 62 santri diterima di Kedokteran. Ada yang di Kedokteran Jerman, China dam Unhan,” kata Kiai Asep sembari mempersilakan para peserta seminar membaca koran HARIAN BANGSA yang memuat berita teersebut. Casimin, ajudan Kiai Asep, memang memabagikan koran HARIAN BANGSA dalam acara seminar tersebut.
“Ini agar didengar oleh Trans7 dan Chairul Tanjung,” tambah Kiai Asep sembari tersenyum. Peserta seminar langsung bertepuk tangan.
Menurut Kiai Asep, transformasi pesantren sebenarnya dideklarasikan para kiai sejak 1984. Yaitu dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Dalam muktamar NU yang menetapkan KH Ahmad Shiddiq sebagai Rais ‘Aam Syuriah dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU itu dibahas tentang transformasi pesantren.
“Saat itu para kiai berpegang pada kaidah al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah. Artinya, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik,” ujarnya.
Dalam Muktamar NU 1984 itu, ungkap Kiai Asep, para kiai sepakat bahwa metode sorogan dan bandongan harus tetap ada dan dilestarikan karena sistem tersebut merupakan ciri khas pendidikan pesantren.
“Sorogan itu untuk pentashihan, kalua bandongan untuk efisiensi waktu,” kata Kiai Asep.
Bandongan adalah metode pengajaran kitab kuning yang dilakukan seorang kiai atau ustadz dengan membacakan kitab, menerjemahkannya, dan menjelaskan isinya kepada santri secara kolektif. Sementara santri duduk menyimak, mencatat, dan memberikan perhatian penuh pada penjelasan guru.
Sedangkan bandongan adalah metode pembelajaran sebaliknya. Justru seorang santri yang membaca kitab kuning di hadapan seorang kiai atau guru untuk mendapatkan koreksi dan penjelasan. Dengan demikian metode bandongan hanya bisa diikuti oleh para santri yang sudah mulai bisa baca kitab kuning.
Namun, tegas Kiai Asep, para kiai dalam Muktamar NU itu juga mempersilakan para pengasuh pesantren melakukan inovasi. Termasuk mengadakan sistem klasikal atau sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu umum.
Kiai Asep mengaku mewujudkan kaidah yang disepakati para kiai dalam Muktamar NU tersebut. “Ketika anak saya mau masuk Tsanawiyah saya berpikir untuk mendirikan sekolah sendiri. Saya memulai dengan 28 santri,” ujar Kiai Asep yang kini memiliki puluhan ribu santri yang terbagi di dua pesantren yaitu di Surabaya dan Pacet Mojokerto.
Kiai Asep, yang selalu menjaga kehalalan makanan demi istijabahnya doa-doanya itu, juga menyinggung soal moderasi beragama.
“Arti moderasi itu berkomunikasi baik dengan semua orang,” kata Kiai Asep. Artinya, berkomunikasi dengan siapa saja, termasuk dengan orang yang berbeda keyakinan.
“Jadi moderasi bukan mencampuradukkan ajaran agama,” tambah Kiai Asep mengingatkan.
Menurut Kiai Asep, abahnya, KH Abdul Chalim, saat menulis pengantar buku Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto sudah membahas tentang moderasi ini. Sebagai sebagai sesama pejuang kemerdekaan RI saat itu kiai NU sangat akrab dengan Tjokroaminoto. Tapi kemudian berbeda orientasi pemahaman dalam memerjuangkan sistem negara dan pemerintahan.
“Tjokroaminoto cenderung ke khilafah,” tutur Kiai Asep.
Sedangkan kiai-kiai NU yang dikenal moderat memilih sistem musyawarah yang kemudian berbentuk demokrasi.
Menurut Kiai Asep, banyak sekali kiai NU yang menjadi pejuang kemerdekaan. Kiai Asep menyebut diantaranya KH Muhammad Yusuf Hasyim, disamping Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahid Hasyim.
“Kiai Muhammad Yusuf Hasyim berjuang sejak usia 12 tahun. Kiai Muhammad Yusuf Hasyim inilah yang membebas Surabaya dan Jombang dari garis Van Mook,” kata Kiai Asep.
Garis Van Mook, yang juga dikenal dengan Garis Status Quo, adalah perbatasan buatan yang memisahkan wilayah milik Belanda dan Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia.
Disebut garis Van Mook karena didasarkan Hubertus van Mook, seorang administrator Belanda di Hindia Belanda. Selama Revolusi Nasional Indonesia, ia menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari tahun 1942 hingga 1948.
Karena itu Kiai Asep bekerja keras untuk memperjuangkan Kiai Muhammad Yusuf Hasyim sebagai pahlawan nasional.
Sementara Gus Fahmi dalam sambutannya menyatakan bahwa Indonesia adalah negara majemuk. Bukan hanya dalam adat istiadat dan budaya tapi juga dalam keyakinan atau agama.
Karena itu, tegas Kepala Pondok Putri Tebuireng itu, dulu para kiai dulu menamakan Darussalam, bukan Darul Islam.
“Negara yang penuh kedamaian,” tegas Gus Fahmi.
Gus Fahmi juga menyinggung Soekarno saat meminta fatwa kepada Hadratussyakh KH M Hasyim Asy'ari pada September 1945 mengenai hukum membela tanah air saat situasi genting pasca-kemerdekaan.
Utusan Soekarno menemui Hadratussyaikh di Pesantren Tebuireng Jombang dengan pertanyaan spesifik: "Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau Al-Qur'an? Sekali lagi membela tanah air?".
Soekarno ingin memastikan dasar hukum syariat untuk perlawanan terhadap Sekutu yang mengancam kemerdekaan Indonesia.
Hadratussyaikh kemudian menjawab dengan mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang menyatakan bahwa perjuangan membela tanah air adalah jihad fi sabilillah bagi umat Islam.
Fatwa Hadratussyaikh itu mewajibkan jihad fardlu 'ain (wajib bagi setiap individu) bagi Muslim yang berada dalam jarak 94 km dari lokasi penjajah, dan fardhu kifayah (wajib kolektif) bagi yang di luar jarak tersebut.