Aguk Irawan MN. Foto: ist
Oleh: Aguk Irawan MN
DI SEBUAH pojok pesantren yang debu bukunya barangkali lebih tua dari usia kemerdekaan kita, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari menulis At-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Sebuah judul yang panjang, yang jika diringkas, adalah sebuah jeritan lembut: jangan putuskan tali persaudaraan.
Hari-hari ini, di tengah dinamika Nahdlatul Ulama yang kadang lebih menyerupai pasar politik ketimbang sebuah jam’iyyah (perkumpulan), kitab itu terasa seperti surat cinta yang salah alamat. Kita bicara tentang NU, namun seringkali kita hanya bicara tentang siapa yang memegang tongkat, bukan ke mana arah jalan setapak itu menuju.
Di sana, di dalam teks itu, ada sebuah obsesi yang mendalam tentang persatuan. Hadratussyaikh tidak sedang berteori. Ia sedang menghadapi zaman yang koyak. Dan ia tahu, tanpa persatuan, sebuah kaum hanyalah tumpukan pasir yang tercerai-berai oleh angin sepele.
Di sinilah kata shaluha (صلح) harus direnungkan lebih dalam—bukan sebagai slogan kosong, apalagi menjelang abad ke dua NU, melainkan sebagai sebuah ontologi. Shaluha adalah perbaikan. Ia adalah antonim dari fasad, dari kerusakan. Jika kita melihat sejarah, fasad seringkali bermula bukan dari musuh di luar, melainkan dari karat di dalam.
Kita sering mengutip kata ishlāh seolah-olah itu hanyalah sebuah diplomasi meja makan. Padahal, bagi Al-Ghazali dalam Ihya, ishlāh adalah upaya menyembuhkan luka yang menganga dalam hubungan manusiawi. Ia bukan sekadar basa-basi "mohon maaf lahir batin". Ia adalah sebuah "aktivitas memperbaiki"—sebuah kerja keras, sebuah afiksasi dari niat menjadi tindakan.
Al-Alusi bahkan melangkah lebih jauh. Baginya, ishlāh adalah tindakan preventif (imsak anil ifshad). Ia adalah benteng sebelum konflik meledak. Ia adalah kecerdasan untuk melihat bahwa "keterpecahan" adalah sebuah bentuk ketidakpatutan. Dalam konteks NU hari ini, apakah ishlāh masih menjadi tindakan preventif, ataukah ia hanya menjadi alat pemadam kebakaran saat api ambisi sudah membumihanguskan ukhuwah?
Syekh az-Zarqani dalam Manahil al-Irfan membedah ishlāh ke dalam sepuluh dimensi—mulai dari akidah hingga politik (siyasah). Ini menarik. Persatuan ternyata tidak berdiri di ruang hampa. Ia butuh perbaikan akal (tahrir al-uquul). Tanpa akal yang merdeka dan jernih, persatuan hanya akan menjadi mobilisasi massa yang buta.
Nurcholish Madjid pernah mengingatkan bahwa islam, iman, dan ihsan adalah satu bangunan yang utuh. Tak ada iman tanpa cinta, dan tak ada cinta tanpa upaya menebarkan perdamaian (salam). Maka, ishlāh sebenarnya adalah konsekuensi logis dari orang yang mengaku beriman. Jika kau beriman, kau memperbaiki. Jika kau merusak, barangkali ada yang retak dalam imanmu.
Membaca At-Tibyan di tengah hiruk-pikuk NU hari ini adalah sebuah ajakan untuk pulang. Pulang ke sebuah kesadaran bahwa "kemaslahatan" (mashlahah) bukanlah tentang siapa yang mendapatkan apa, melainkan tentang bagaimana bangunan ini tidak runtuh karena rayap-rayap perpecahan.
Mungkin kita perlu berhenti sejenak dari perdebatan struktur dan kembali ke etimologi dasar itu: bahwa menjadi saleh berarti menjadi "baik" dan "memperbaiki". Karena pada akhirnya, seperti yang disiratkan Hadratussyaikh, agama ini bukan hanya tentang bagaimana kita bersujud kepada Tuhan, tapi bagaimana kita tidak saling menginjak saat berdiri bersama di hadapan-Nya.
Persatuan itu sunyi, tapi perpecahan selalu berisik. Dan di dalam kitab At-Tibyan, kesunyian yang mempersatukan itu masih menunggu untuk dibaca kembali.
Wallahu'alam bishwab.







