Politik Dramatis Fahri Hamzah, Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi

Politik Dramatis Fahri Hamzah, Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi

DRAMATIS. Itulah pemecatan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI, oleh Partai Keadilan Sejahtera (). Ia ternyata bukan hanya dipecat dari keanggotaan . Lebih dari itu melarang kadernya berinteraksi dengan Fahri Hamzah. Bahkan Fahri Hamzah dikeluarkan dari group WA kader sehingga ia merasa didzalimi. Padahal, kata Fahri Hamzah, dulu ia berjuang untuk sampai berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Ia mengaku melawan KPK karena dapat "mandat" (perintah) partai tatkala Presiden LHI ditangkap KPK karena kasus korupsi sapi. Kini LHI dipenjara.

Baca Juga: PKS Jatim Sulap 1.040 RKI Jadi Posko Pemenangan Khofifah-Emil

Peristiwa Fahri Hamzah ini jadi pelajaran penting bagi kita. Pertama, ternyata karakter kekuasaan di mana-mana sama. Tak pandang partai bahkan ormas keagamaan sekalipun. Partai dakwah, partai Islam, partai sekular, ormas keagamaan, ormas sekuler: karakternya sama. Saling bantai akibat kepentingan subyektif. Bahkan tak jarang kader-kader yang berjuang dan berjasa terhadap partai atau ormas malah jadi tumbal kekuasaan. ”Revolusi selalu memakan anak kandung sendiri,” demikian ungkapan populer menggambarkan betapa kejam “teman seperjuangan” ketika berkuasa.

Saya bukan simpatisan Fahri Hamzah. Bahkan dari sekian anggota DPR RI, bagi saya Fahri Hamzah, termasuk figur yang – maaf – paling tak saya sukai.

Kenapa? Subyektivitas politiknya sangat tinggi. Ia selalu penuh alibi dan sering tak masuk akal ketika membela kepentingannya, baik kepentingan pribadi maupun partainya.

Baca Juga: Gelar Flashmob, Cara Unik PKS Kabupaten Kediri Kampanyekan Jagonya

Selain itu – ini yang penting – secara ideologi Fahri Hamzah berbeda secara diametral dengan saya.

Tapi dalam kasus pemecatan Fahri Hamzah yang sangat dramatis ini ternyata menginspirasi saya.

Sebagai mahasiswa komunikasi (S-1) dan ilmu politik (S-2) ditambah naluri sebagai wartawan, pikiran saya menerawang ke mana-mana. Terutama ingat saat KH Abdurrahman Wahid () bersama para kiai NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Baca Juga: Hadir di Kampanye Akbar, Irwan Setiawan Ajak Menangkan Khofifah-Emil

Saat itu mengangkat Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum dan A sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PKB. Kebijakan ini sebenarnya tak disepakati bulat para kiai. Kiai-kiai NU Jawa Tengah, misalnya, menolak Matori. Bahkan para kiai itu kemudian mengedarkan surat berstempel NU yang intinya menolak Matori sebagai ketua umum PKB karena tak sesuai aspirasi mereka.

Begitu juga Cak Imin. Banyak kiai dan pengurus NU tak sreg. Maklum, Cak Imin saat itu masih bau kencur. Ia baru selesai menjabat ketua umum PB PMII tapi sudah diberi jabatan sangat strategis: Sekjen.

Di kalangan NU muncul ledekan-ledekan terhadap Cak Imin. ”Kalau PAN punya sekjen Faisal Basri yang ekonom popular, PKB hanya punya Muhaimin,” kata para kader NU saat itu. Hampir semua partai yang berdiri pada 1998 - sebagai buah reformasi - memang dipimpin tokoh nasional dengan sekjen orang hebat dan popular.

Baca Juga: Hadiri Kampanye Akbar Luluk-Lukman di Gresik, Cak Imin akan Sanksi Anggota DPRD yang tak Bergerak

Tapi pasang badan. Mantan ketua umum PBNU tiga periode itu membela habis Matori dan tetap “nyangking” Cak Imin. Saya sebut “nyangking” karena saat itu memang belum pas jadi sekjen. Jadi Cak Imin itu besar murni karena di-”cangking” , diakui atau tidak. Bahkan, Cak Imin sendiri mengakui ia hijrah ke Jakarta awalnya karena dipanggil . Jadi jasa terhadap Cak Imin luar biasa besar.

Namun – seperti kita ketahui bersama - perjalanan politik PKB akhirnya sangat dramatis. Lagi-lagi revolusi memakan anak kandungnya sendiri. Matori membelot dari .

Begitu juga Cak Imin. Ia bahkan menjatuhkan dari posisinya sebagai ketua umum Dewan Syuro PKB.

Baca Juga: Politikus PKS Suswono Dianggap Hina Nabi, Yenny Wahid: Rasulullah Bukan Pengangguran

yang dengan susah payah mendidik dan membesarkan Cak Imin akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Cucu pendiri NU Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari itu disingkirkan dari partai yang didirikannya sendiri. Ironisnya, yang menyingkirkan justru anak didik atau anak asuhnya sendiri.

Lebih ironis lagi, penyingkiran dari PKB itu justru lewat pengadilan!. Artinya, penyingkiran itu merupakan ikhtiar politik yang disengaja, bukan keterpaksaan politik.

Saya sendiri, alhamdulillah, termasuk orang yang diselamatkan Allah dalam kasus ini. Saat itu saya menolak tandatangan untuk menggugat ke pengadilan. Alasan saya sangat mendasar karena saya tak mungkin menggugat kiai saya sendiri. Apalagi cucu pendiri NU Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari (tentang ini saya tulis lengkap dalam opini di Jawa Pos (3/1/2014) berjudul Benarkah PKB Memusuhi ).

Baca Juga: Saat Turba di Banyuwangi, Kang Irwan Solidkan Pemenangan Khofifah-Emil dan Ipuk-Muji

Ternyata yang menolak tandatangan untuk menggugat ke pengadilan bukan hanya saya. Banyak sekali teman pengurus PKB juga menolak karena merasa tak etis.

Saya tak tahu siapa akhirnya yang tandatangan menggugat ke pengadilan sehinga terjadi penyingkiran dari partai yang didirikannya sendiri.

Yang pasti, belum lama ini seorang teman pengurus harian PBNU memberi informasi bahwa penyingkiran dari PKB itu merupakan grand design yang sudah dirancang matang oleh kekuasaan bersama Cak Imin saat itu. Bahkan ia menyebut bagian dari operasi intelijen.

Baca Juga: Sowan ke Tokoh Agama GKJW di Balewiyata Malang, Khofifah Napak Tilas Perjuangan Gus Dur

Yang mengenaskan, ternyata kasus “revolusi memakan anak kandung sendiri” bukan hanya terjadi di ranah partai politik tapi juga menimpa organisasi keagamaan seperti NU.

KHA Hasyim Muzadi, mantan ketua PWNU Jatim dua periode mengaku tak bisa datang ke kantor yang pernah dibangunnya sendiri karena ada pengurus NU yang menyindir-nyindir.

Perisitiwa sama menimpa KH Makmur Mazhar, ketua PWNU Banten. Ia yang sukses membangun kantor PWNU Banten senilai Rp 7,5 miliar kini disingkirkan dari PWNU Banten karena menolak KH Said Aqil Siroj sebagai ketua umum PBNU lantaran cacat dan melanggar AD/ART.

Baca Juga: Ketua DPW PKS Instruksikan Kadernya All Out Menangkan Paslon Khofifah-Emil dan Ikfina Dullah

Bahkan Abdul Wahid Asa kabarnya juga disingkirkan dari majalah Aula, majalah resmi PWNU Jawa Timur, yang ia dirikan sendiri bersama KH Anas Thohir (sebelumnya buletin NU dikelola Sholeh Hayat).

Revolusi memang selalu memakan anak kandungnya sendiri. Tapi tak perlu kecewa. Karena – kata Kiai Hasyim Muzadi - berbuat baik tak akan pernah sia-sia. Yang penting – tegas mantan ketua umum PBNU itu – kita ikhlas. Wallahua’lam bisshawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO