Perda Syariah dan Posisi Agama dalam Panggung Politik

Perda Syariah dan Posisi Agama dalam Panggung Politik HM. Misbahus Salam

Oleh : HM. Misbahus Salam                                                                                                                                                                                                                                                                                 Pencabutan Perda Syariah oleh Menteri Dalam Negeri menjadi perbincangan hangat di kalangan tokoh-tokoh Islam dan pakar-pakar hukum. Kritik pedas kepada Presiden Jokowi pun muncul, dianggap anti Islam, tidak berpihak pada umat Islam. Padahal Mendagri dalam pernyataannya tidak pernah mencabut perda yang bernuansa syariah.

Akibat polemik itu muncul gerakan wacana pemikiran antara formalisme agama dan substansisme agama. Para penganut formalisme agama selalu berpikir agama untuk dijadikan sumber hukum resmi, sementara para penganut substansisme agama berpikir memadukan nilai-nilai ajaran agama dengan nilai-nilai local wisdom (kearifan local) dalam membuat peraturan atau undang-undang di pemerintahan tanpa membawa simbolisasi agama tertentu.

Untuk memperjelas polemik kontrovesi perda syariah itu, saya akan menuturkan posisi agama dalam pandangan politik menurut Islam. Bahwa hingga kini, masih diperdebatkan di kalangan fuqaha bidang kajian siyasah.

Apakah Islam itu agama saja ataukah Islam itu agama sekaligus negara (din wa daulah)? Apakah peran Nabi Muhammad SAW dalam memimpin umat ini sebagai Rasul semata ataukah sebagai Rasul dan juga kepala negara (Rasulan wa Hakiman)?

Di kalangan pakar politik Islam, terdapat tiga arus besar pendapat.

Pertama, bahwa Islam secara empirik telah mendirikan negara-negara Islam, tetapi Islam tidak membakukan bentuk dan sistem negara Islam. Islam telah memberikan etos politik yang bersifat universal dan prinsip-prinsip nilai yang dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan dan bentuk negara yang mungkin berbeda-beda, sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat (al-Syuro wa atsaruha fi al-demokratiyah : Dr. Abd. Hamid al-Anshari, 1980).

Kedua, Islam merupakan agama dan negara (al-Islam din wa daulah). Alasannya kekuasaan pemerintahan negara merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan antara agama dan negara.

Karena masalah negara dan sistem pemerintahan itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Maka tidak ada reka-reka politik yang dapat membuat sistem-sistem baru yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para khalifahnya. (Abu A'la Maudud: Nadlariyat al-Islam al-Siyasah).

Dan ketiga, Islam itu hanya mengurus agama (din fahasbu). Argumentasinya bahwa dakwah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW hanya dakwah diniyah semata, tidak dicampuri oleh urusan politik dan tidak pula bertujuan membentuk negara. Apabila risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad menuntut kepemimpinan di tengah-tengah kaumnya, dan kekuatan juang (sulthan) di tengah-tengah pengikutnya, maka hal itu sama sekali bukan berarti kepemimpinan politik atau kekuasaan pemerintahan, tetapi kepemimpinan agama yang jauh dari kepentingan kekuasaan. Tokoh pendapat ini yang populer adalah Dr. Ali Abdurraziq, salah seorang qadli mahkamah syari'ah dan menteri wakaf Mesir dalam karya tulisnya "al-Islam wa Ushul al-Hukm".

Munawir Sadzali, dalam bukunya Islam and Govermental System, menyimpulkan bahwa di dalam Islam tidak terdapat pembakuan sistem pemerintahan, tetapi Islam telah memberikan prinsip-prinsip atau etika dasar dalam melaksanakan pemerintahan. Dus prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam berbagai macam sistem pemerintahan yang ada.

Pendapat senada dikemukakakn oleh pemikir Islam lain seperti Afif A Thobarah yang mengatakan bahwa al-Qur'an tidak menetapkan bentuk atau sistem baku yang harus dipakai sebagai sistem pemerintahan Islam.

Islam juga tidak menentukan cara penataan kekuasaan, namun Islam menetapkan beberapa prinsip yang menjadi acuan bagi umat Islam dalam melaksanakan pemerintahan kapan saja dan untuk sistem pemerintahan yang bagaimanapun. Apakah itu republik, kerajaan, negara federasi atau kesatuan. Hal demikian hikmahnya adalah untuk kemaslahatan umat, sebab parameter al-mashalih itu berbeda-beda dan mengalami dinamika (thathawwurat) sejalan dengan perubahan waktu dan perbedaan tempat.

Apabila sistem pemerintahan itu dibakukan dengan satu macam sistem, maka akan memberikan kesulitan (al-haraj) bagi umat Islam sepanjang perjalanan peradabannya.

Adapun prinsip-prinsip atau etika dasar yang digariskan Islam untuk dijadikan pedoman bagi para pemegang kekuasaan, termasuk raja, sulthan, presiden, gubernur, bupati dan juga dijadikan standard penilaian rakyatnya untuk mengukur kredibilitas para pemimpinnya adalah: kejujuran dan tanggung jawab (as-shidqu wa al-amanah), keadilan (al-'adalah), permusyawaratan (as-syura), kesetaraan (al-musawah), kemalashatan rakyat (al-masalhalih li ar-raiyyah), kebebasan (al-hurriyah), persaudaraan atau kesatuan (al-ukhuwah).

Tujuh prinsip ini agar diaplikasikan oleh para pemimpin untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO