Kekuatan (Energi) Al-Quran dan Politisasi

Kekuatan (Energi) Al-Quran dan Politisasi

Oleh: KH. A. Hasyim Muzadi

1. Di kalangan umat Islam seluruh dunia ada tiga hal yang tidak boleh disinggung atau direndahkan yakni: Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Kitab suci Al-Quran. Apabila salah satu, apalagi ketiganya disinggung dan direndahkan pasti mendapat reaksi spontan dari umat islam tanpa disuruh siapapun. Reaksi tersebut akan segera meluas tanpa bisa dibatasi oleh sekat-sekat organisasi, partai, dan birokrasi. Kekuatan energi tersebut akan bergerak dengan sendirinya tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Baca Juga: Politikus PKS Suswono Dianggap Hina Nabi, Yenny Wahid: Rasulullah Bukan Pengangguran

2. Fenomena demo 4 Nopember 2016 tentu secara lahiriah dipimpin oleh beberapa tokoh yang merasa terpanggil untuk membela kesucian kitabnya. Namun jumlah yang hadir membuktikan adanya kekuatan (energi spritiual) yang dahsyat dari pengaruh Al-Quran tersebut. Hal ini dapat dibuktikan para pemimpin yang melakukan demo atau mengumpulkan masa tanpa dorongan spiritualisme tersebut tidak mungkin dapat menggerakan umat yang berjumlah jutaan. Mereka berjalan dengan damai, tertib dan siap untuk berkorban. Sehinga sesungguhnya tidak perlu dicari dalangnya, provokator atau siapa yang membayar. Karena provokator dan bayaran setingkat apapun tidak akan mampu menggalang kekuatan tersebut. Yang ada mereka adalah menempel gelombang besar untuk kepentingannya bukan kemampuan menciptakan gelombang itu sendiri.

3. Kedahsyatan energi Al-Quran tersebut hanya bisa dimengerti, dirasakan dan diperjuangkan oleh orang yang memang mengimani Al-Quran. Tentu sangat sulit untuk diterangkan kepada mereka yang tidak percaya kepada Al-Quran, berpikiran atheis, sekuler dan liberal. Karena mereka jangan lagi memahami energi Al-Quran , menerima Al-Quran pun belum tentu bisa. Sehingga perdebatan antara keimanan kepada Al-Quran dan ketidakpercayaan kepada Al-Quran hanya akan melahirkan advokasi bertele-tele dan berbagai macam rekayasa.

4. Al-Quran sebagai kitab suci sekaligus kitab pembeda (Al-Furqon) yang membedakan antara yg hak dan yang batil. Maka tidak heran kalau kemudian kelihatan di kalangan umat Islam sendiri mana yang bertindak sebagai pejuang, sebagai pengikut perjuangan yang ikhlas tanpa pamrih, yang mengambil posisi memanfaatkan keadaan (kepentingan duniawi sesaat) dan mana yang memang menyelewengkan Al-Quran. Sedangkan di kalangan non muslim sendiri hanya sangat sedikit yang membuat konflik lintas agama dengan kaum muslimin. Mereka adalah fihak yang sudah basah politisasi dan kapitalisasi ekonomi serta hegemoni kekuasaan. Sedangkan mayoritas mutlak non muslim tetap bersatu bersama kaum muslimin dalam penegakan NKRI.

Baca Juga: Cawe-Cawe Jokowi Jilid II, Disebut Jegal Anies dalam Pilgub DKI 2024

5. Di era demokratisasi politik Indonesia gerakan pembelaan Al-Quran tidak akan lolos dari upaya pihak-pihak tertentu dalam melakukan politisasi yang tujuannya membelokkan dan mengaburkan tujuan suci tersebut. Politisasi sebenarnya tidak hanya terjadi pada tanggal 4 Oktober malam hari, tetapi sesungguhnya telah dimulai semenjak rakyat merasakan penggunaan kekuasaan untuk mendukung atau tidak mendukung salah satu pihak yang memiliki kepentingan. Seorang gubernur petahana yang akan mencalonkan kembali sebagai gubernur diharuskan oleh undang-undang untuk menjalani cuti. Artinya tidak boleh ada penggunaan kekuasaan didalam proses demokratisasi pemilihan. Apabila terjadi termasuk abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

6. Perdebatan tentang siapa dalang, provokator, penunggangan politik, sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi sebagai isu, demi kesatuan dan persatuan NKRI. Lebih bermanfaat kalau kita fokus kepada kewajiban negara dalam melindungi hak yang adil dari kaum muslimin Indonesia. Sehubungan dengan adanya penistaan Al-Quran tersebut yang diproses menurut hukum negara (UU No 1. Tahun 1965). Hal semacam ini sebenarnya pernah terjadi di Indonesia pada kasus Arswendo, Lia Eden dan Musadek. Namun bedanya mereka tidak sebesar .

7. Khusus untuk kaum muslimin Indonesia agar terus memperbaiki kualitas perjuangannya. Hendaknya janganlah masalah kemurnian perjuangan pembelaan Al-Quran ini dicampur aduk dengan isu khilafah, pendirian negara Islam, memberi peluang terhadap ISIS, peluang terhadap teroris, dan perlawanan terhadap pesatuan dan kesatuan bangsa. Karena apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh kaum muslimin akan menjadi alat pukul balik terhadap kaum muslimin itu sendiri, dan dapat mengakibatkan umat Islam bercerai-berai.

Baca Juga: Kehilangan 9 Kursi DPRD DKI Gegara Musuhi Anies, PDIP Bakal Dukung Anies dalam Pilgub DKI?

8. Seluruh kaum muslimin apapun ormasnya jangan beranggapan bahwa sekat-sekat ormas itu dapat menghadang energi Al-Quran. Karena kalau dipaksakan, justru berakibat tidak ditaatinya pemimpin oleh umatnya sendiri yang memang ghirah Al-Qurannya tinggi.

9. Saat ini upaya untuk menciptakan opini bahwa tidak menistakan agama tampak akan berlanjut. Kita masih menunggu hasil finalnya. Hasil finalnya tersebut bergantung siapa yang dimintai pendapat dan fatwanya oleh pihak kepolisian. Semoga akan selaras dengan keputusan MUI (Majelis ulama Indonesia).

Depok, Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an, 9 Nopember 2016

Baca Juga: Politikus PDI Perjuangan Ungkap Alasan Ahok Layak Maju di Pilgub Sumut 2024

KH. A. Hasyim Muzadi adalah mantan ketua umum PBNU dan pengasuh dua Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Jawa Timur dan Depok Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Pastor Sindir Kiai Poligami, Ini Respon Cerdas dan Jenaka KH A Hasyim Muzadi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO