Oleh: Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng.
1. Selama sekitar dua bulan terakhir kita disibukkan dan diganggu oleh suasana yang tidak menyenangkan akibat pro kontra terhadap ucapan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) tentang surah al Ma'idah ayat 51. Muncul adanya dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh BTP dengan mengatakan bahwa warga dibohongi dengan memakai ayat tersebut.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
2. Pendapat dan sikap keagamaan MUI terhadap ucapan itu kemudian menjadi dasar dari banyak pihak untuk menuntut BTP diajukan ke pengadilan. Karena reaksi Polri dianggap lambat, mulai timbul aksi menuntut Polri menetapkan BTP sebagai tersangka. Puncaknya ialah aksi damai pada 4/11/ 2016 yang oleh banyak pihak diakui sebagai aksi unjuk rasa terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Kita menunggu hasil dari proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri terhadap BTP yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
3. Menurut saya masih ada satu masalah yang terlupakan oleh banyak pihak. Masalah itu akan masih akan tetap menjadi masalah sampai kapan pun, kalau kita tidak mendudukkannya pada proporsi yang benar. Yang saya maksud ialah pendapat bahwa dengan bersikap untuk tidak memilih pemimpin non-muslim dalam pilkada atas dasar larangan di dalam ayat al Qur'an, maka umat Islam tidak menghormati kebhinekaan atau keberagaman. Bahkan Nusron Wahid menyatakan bahwa dengan mendukung BTP dia berjuang menjaga keindonesiaan. Apakah pendapat itu benar?
Pancasila versus Islam
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
5. Untuk menjawab pertanyaan di atas, mau tak mau kita harus melihat kembali ke belakang sampai ke tahun 1945, karena keadaan yang kita hadapi saat ini tidak dapat dilepaskan dari perjalanan kesejarahan bangsa dan negara Indonesia. Semua tokoh Islam pada sidang BPUPKI berjuang supaya Islam dijadikan dasar negara. Komprominya ialah Piagam Jakarta (22/6/1945) di mana kelompok Islam bersedia menerima dasar negara Pancasila dengan sila pertama berbunyi : "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Karena ada penolakan dari sekelompok kecil umat Kristiani, maka demi berdirinya negara Republik Islam, para tokoh Islam setuju untuk menghapus tujuh kata Piagam Jakarta. Sila pertama diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
6. Perjuangan mendirikan negara berdasar Islam dilanjutkan dalam Konstituante pada 1956-1959, tetapi kembali gagal karena dalam pemungutan suara kelompok Islam hanya mencapai suara sekitar 53%. Karena ada kebuntuan politik, maka Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam Dekrit itu, "Piagam Jakarta" dijadikan dasar pertimbangan.
7. Selama kampanye pemilu 1971 partai-partai Islam termasuk Partai NU masih memperjuangkan negara berdasar Islam, karena itu juru kampanye Partai NU dan partai Islam lain di berbagai daerah sering mendapat perlakuan tidak baik dan tidak adil dari militer. Melalui proses panjang, pada akhir 1984 Muktamar NU menerima Pancasila sebagai dasar negara. Langkah ini lalu diikuti oleh hampir semua ormas Islam dan Partai Persatuan Pembangunan.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
8. Menarik bagi saya, mengapa partai Islam dan ormas Islam selama hampir 40 tahun "keukeuh" menolak Pancasila menjadi dasar negara RI? Padahal sejak 1955 saat di kelas 6 SD, saya sudah berpendapat bahwa Pancasila itu layak menjadi dasar negara. Kalau kita cermati Pembukaan UUD 1945, kalimat-kalimatnya mengandung banyak sekali kata bahasa Arab yang sudah menjadi khazanah Islam.
9. Setelah lama merenungkan pertanyaan di atas, saya menemukan jawaban. Kita semua tahu bahwa Bung Karno (BK) adalah penggali Pancasila. Angkatan saya atau yang lebih tua tahu bahwa BK sering menyebut nama dan mengutip pendapat Kemal Ataturk yang mendirikan Republik Turki yang UUD-nya menyatakan bahwa Turki adalah negara sekuler. Kita tahu bahwa Kemal Ataturk menghambat dakwah dan perkembangan Islam di Turki bahkan mewajibkan azan dengan menggunakan bahasa Turki. Karena BK sering mengutip pendapat Kemal Ataturk yang mendirikan negara Turki yang sekuler, maka wajar kalau banyak tokoh Islam dan pengikut mereka beranggapan bahwa negara berdasar Pancasila adalah negara sekuler, yang anti agama (Islam). Karena itu kelompok Islam menolak Pancasila sebagai dasar negara.
UU Perkawinan
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
10. Menurut saya salah satu hal yang ikut mendorong ormas Islam dan partai Islam bersedia menerima Pancasila sebagai dasar negara ialah diundangkannya UU Perkawinan pada 1974. UU itu memberi kesempatan bagi diterimanya ketentuan syariat Islam ke dalam sistem hukum nasional. Dengan masuknya ketentuan syariat Islam ke dalam UU, para tokoh Islam menyadari bahwa tanpa Islam menjadi dasar negara, ternyata ketentuan syariat Islam bisa masuk ke dalam UU. Jadi ketika ada tuntutan keadaan untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara, pihak yang menolak bisa diyakinkan untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.
11. Setelah UU Perkawinan, ada UU lain yang memuat ketentuan syariat Islam yaitu UU Peradilan Agama pada 1989. Peradilan Agama yang semula berada di dalam Kementerian Agama beralih ke Mahkamah Agung. Kini pengadilan agama menjadi lembaga peradilan kedua terbesar setelah pengadilan negeri. UU ini dilengkapi dengan Inpres tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Setelah itu lahirlah UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf, UU Jaminan Produk Halal dan UU Sisdiknas yang memberi tempat bagi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Kini sedang diajukan RUU tentang pesantren dan RUU tentang lembaga pendidikan Islam. Sejumlah UU di atas adalah merupakan bagian dari perpaduan keindonesiaan dan keislaman.
12. Kementerian Agama adalah langkah awal dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman. Pembentukan madrasah (MI, MTs, MA) dilakukan pada 1950 oleh Menteri Agama Wahid Hasyim bersamaan dengan kebijakan memberikan mata pelajaran agama di sekolah. Jumlah madrasah kini mencapai sekitar 74.000, lebih dari 90% adalah milik swasta. Bandingkan dengan sekolah yang berjumlah sekitar 180.000 yang 80% nya adalah sekolah negeri. Kini terdapat sekitar 28.000 pesantren yang semuanya milik swasta. Pendidikan tinggi Islam yang juga dimulai pada 1950 oleh Menteri Agama Wahid Hasyim saat mendirikan PTAIN, kini telah tumbuh menjadi STAIN, IAIN dan UIN. Ormas Islam dan pesantren telah banyak mendirikan universitas dan sekolah tinggi di berbagai provinsi. Pendidikan Islam berperan besar dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
Menafikan Kebhinekaan?
13. Kembali pada pertanyaan di atas, apakah menyampaikan larangan bagi kaum muslimin untuk memilih pemimpin non-muslim adalah bertentangan dengan kebhinekaan? Perlu diingat adanya perdebatan dalam sidang BPUPKI tentang usul supaya ada syarat bahwa presiden dan wakil presiden harus orang Islam. Akhirnya usul itu ditolak. Dalam kenyataan sejarah, memang presiden dan wakil presiden adalah muslim. Perlu dicatat bahwa seorang beragama Kristen pernah menjadi pejabat presiden yaitu Dr Leimena. Tidak adanya syarat di dalam UUD dan UU tentang calon presiden harus beragama Islam, adalah bukti bahwa kita menghargai kebhinekaan dan memberi hak yang sama di depan hukum kepada semua warga negara tanpa memandang agama.
14. Apakah seorang muslim tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa menurut agama Islam dirinya dilarang memilih pemimpin non-muslim? Tentu boleh dan itu dijamin oleh UUD dan UU. Kalau kita larang, justru berarti kita mengurangi haknya untuk mengikuti ajaran agamanya. Apakah seorang muslim tidak toleran kalau dia berpendapat bahwa dirinya tidak boleh memilih non-muslim sebagai pemimpin? Menurut saya dia tetap toleran sejauh dia menghormati agama lain dan umat agama lain. Muslim harus toleran dalam masalah sosial, tidak dalam masalah ajaran dan keyakinan.
Baca Juga: Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News