ALASKA, BANGSAONLINE.com - 15 Juni 2017, tepatnya pukul 14.05 WIB, menjadi sejarah bagi Bangsa Indonesia, terutama 3 ksatria Airlangga karena berhasil menginjakkan kaki pada ketinggian 20.320 kaki yang setara dengan 6.194 meter di atas permukaan laut (mdpl), yaitu puncak Gunung Denali atau yang dikenal the high one.
Tiga ksatria tersebut tak lain adalah Mochamad Roby Yahya mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan, Muhammad Faishal Tamimi Fakultas Vokasi dan Yasak alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ketiganya berasal dari Universitas Airlangga.
Baca Juga: Pertama di Indonesia, Pentas Wayang Perjuangan Hadratussyaikh, Dalang Ki Cahyo Kuntadi Riset Dulu
Namun di balik keberhasilan tersebut, ada perjuangan yang tiada tara, terdapat pengorbanan yang tak ternilai, terdapat ketetapan dalam jiwa mereka untuk mengibarkan bendera almamater dan bangsa.
Sebelumnya, selama tujuh hari tim berada di kamp 4 yang berada pada ketinggian 14.200 kaki atau 4.328 mdpl. Aktivitas tim terhenti dihadapkan pada kondisi whiteout (sebuah situasi di mana cuaca yang tertutup salju mengubah berkas cahaya yang menyebabkan hanya obyek gelap yang terlihat) dan snow showers (hujan salju). Hal ini mengakibatkan tenda yang mereka gunakan tertutup salju bahkan tidak terlihat sedikitpun warna lain, hanya putih.
Selang beberapa hari berlangsung, tepatnya pada tanggal 13 Juni 2017, cuaca mulai membaik, matahari mulai terlihat, rasa hangat yang dirindukan tersentuh permukaan wajah. Salju yang berada pada janggut dan hidung mulai terasa menghangat. Akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat menuju kamp 5 atau yang dikenal dengan High Camp pada ketinggian 17.200 kaki 5.243 mdpl. Perjalanan cukup melelahkan dengan tanjakan 45 hingga 60 derajat.
Baca Juga: Didukung Penyintas Semeru, Rakka dan TPD Lumajang yakin Khofifah-Emil Menang
Dengan tanjakan yang cukup curam, ditambah sisa-sisa hujan salju, yang membuat ketebalan salju semakin dalam hingga selutut. Hal ini membuat berjalan serasa di atas ledok (tanah gambut yang biasa digunakan untuk menanam padi).
Situasi semakin menegangkan, karena setelah 4 jam perjalanan menuju kamp 5, salah satu atlet melambat. Kecepatannya mulai menurun, nafas mulai terengah dengan merasakan dingin yang sungguh luar biasa hebat. Namun dengan kegigihan dan lantang teriak "Tabah Sampai Akhir", tim mencapai kamp 5 setelah menempuh perjalanan selama 9,5 jam.
Kondisi tim yang teramat lelah mengharuskan mereka untuk beristirahat serta menyiapkan tenaga untuk summit attack mencapai titik tertinggi di belahan bumi utara ini. Tepat pada tanggal 15 Juni pukul 03.00 pagi, tim melakukan perjalanan membawa perlengkapan seringan mungkin, di antaranya ice axe (kapak es), tracking pole, daypack (tas ransel) beberapa logistik (makanan, minuman dan snack) untuk menambah energi, alat mountaineering lainnya, alat P3K serta beberapa pakaian yang membuat tubuh mereka tetap hangat mekipun hanya mengurangi beberapa derajat saja. Tidak lupa alat dokumentasi sebagai bukti sejarah bahwa kaki ini pernah menginjakkan di sana.
Baca Juga: Bersama Unair, FH UTM Jalin Kerja Sama dengan Faculty of Law Maastricht University
Pada waktu untuk summit, cuaca cerah hanya tersisa beberapa jam sehingga untuk lebih mengefektifkan kondisi waktu, diputuskan dua plan attack summit dengan dua tim summit. Tim pertama Roby dan Yasak, namun apabila gagal menuju summit, plan kedua Faish dengan Guide (pemandu) untuk menuntaskan.
Suhu semakin dingin dengan mencapai minus 48 derajat celsius dan kecepatan angin yang mencapai 50 mph yang membuat suhu bertambah dingin mencapai minus 55 derajat celsius. Belum lagi ketebalan salju mencapai selutut yang membuat beban seberat 5-7 kg seolah-olah menjadi 20 kg. Akhirnya dengan terpaksa tim meninggalkan barang dengan membuat cache (barang ditimbun dalam salju) dengan ditandai tiang. Beberapa barang di antaranya logistik, bahkan ice axe.
Selang beberapa waktu, angin bertiup semakin kencang disertai kabut yang cukup menutup pandangan mata. Cuaca ekstrem ini mengakibatkan Roby dan Yasak sudah tidak dapat merasakan beberapa bagian tubuhnya dengan nafas tersengal keringat yang tak bisa menetes karena dinginnya cuaca. Bahkan nafas menjadi putih karena dinginnya dan membeku. Rasa lelah, putus asa, dan pasrah sudah menghantui mereka. Namun harapan meraka tidak mati masih menyala terang meski kaki sudah tak bisa melangkah dengan benar. Bahkan mereka beberapa kali terpelosok dan jatuh dalam tumpukan salju yang dingin. Rasa menggigil dan tanpa bicara apapun.
Baca Juga: Gala Dinner Pimnas ke-37 Unair, Pj Gubernur Jatim Komitmen Dukung Perkembangan Perguruan Tinggi
Menuju Puncak Denali
Saat mencapai ketinggian 950 kaki atau 290 meter menuju puncak Denali, tim bersama bertemu rombongan lain yang sedang terhenti. Sedikit informasi rombongan tiga orang tersebut berasal dari USA. Selangkah demi selangkan tim mendekati mereka. Yasak meminta untuk bergabung dengan grup mereka, namun mereka tidak mengizinkan Yasak dan Roby gabung dalam grupnya. Setelah percakapan singkat, rombongan tersebut memutuskan untuk kembali ke kamp 5 dan mencoba untuk summit di keesokan harinya.
“Suasana hening, hanya gemuruh angin, gigi yang bergesekan bahkan serta mulut dan hidung yang memutih terkena salju, dan mata yang sudah tidak fokus. Rasanya hanya ingin tidur, ingin memejamkan mata dengan lelap, namun kami tahu jika hal ini terjadi kami tidak akan bangun kembali,” terang Roby.
Baca Juga: AHY Raih Gelar Doktor dari Unair, Khofifah Yakin Bakal Bawa Kebaikan Bagi Bangsa
Saat itu Roby sebagai atlet dengan tubuh terkecil dan hampir selalu terbenam salju mengalami mati rasa, bahkan tidak bisa jalan karena tebalnya salju yang ketinggiannya mencapai sepaha. Dengan kondisi seperti ini, dibutuhkan tenaga cukup banyak hanya untuk mengangkat kaki keluar dari tumpukan salju. Apalagi kaki yang sudah mati rasa, hidung tersumbat nafas yang membeku.
Namun beruntung, Roby masih mendengar kata-kata Yasak yang terbata-bata. “Bismillah Roby, selama masih bernafas, ini demi almamater, kita terhormat seumur hidup apa malu seumur hidup, kamu pasti bisa Roby. Sebut nama ibu dan ayahmu”.
Akhirnya, walau harus tertatih-tatih, tim AIDeX maju terus menerjang badai salju yang turun bagai ditumpahkan dari langit.
Baca Juga: Resmi Bergelar Doktor, Ada SBY hingga Khofifah di Sidang Terbuka AHY
Pada waktu yang bersamaan, posisi tim terpantau dengan GPS. Ibu dari Roby terus menghubungi manajer ekspedisi tiap satu jam menanyakan bagaimana kondisi mereka, apakah sudah sampai apa belum.
Ibu Roby juga bercerita kalau ia sangat merindukan anaknya dan beberapa kali bermimpi tentang dia. Ibu Roby mengatakan jika ia tidak pernah putus berdoa untuk buah hatinya.
Akhirnya dengan kesabaran, kegigihan, ketabahan dan harapan, pada pukul 14.05 (23.05 waktu Alaska), tim menginjakkan puncak berteriak melepas rasa lelah dan penuh syukur terhadap kebesaran Tuhan “VIVA WANALA, AIRLANGGA, INDONESIA, BERJUANG TABAH SAMPAI AKHIR” sahut Roby dan Yasak saling berhadapan.
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Ikut Ujian Diktoral di Surabaya
Selama 39 menit, mereka habiskan waktu di puncak dengan mengibarkan bendera Merah Putih, Universitas Airlangga dan WANALA, serta bendera PT. PP Properti (Tbk) dan PT. Pegadaian Persero sebagai pendukung ekspedisi kali ini.
Sesaat setelah summit dan mengambil dokumentasi untuk mengabadikan momen secukupnya, ternyata keadaan semakin memburuk. Roby mengalami sesak nafas, sedangkan wajah dan hidungnya tampak menghitam. Demikian juga dengan Yasak jari-jemarinya sudah mati rasa, dan bagian hidung wajah serta pipinya juga menghitam.
Baca Juga: Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama
Mereka segera melakukan perjalanan turun ke kamp 5 dengan memaksakan diri agar segera sampai pada titik untuk mendapatkan pertolongan, tepatnya pada pukul 14.44 (23.44 Waktu Alaska). Perjalanan menuju kamp 5 menghabiskan waktu 4 jam dengan kondisi rasa lunglai, lapar, tenaga yang sudah terkuras habis.
“Dalam catatan perjalanan summit, dari kamp 5 menuju puncak dan kembali ke kamp 5 standartnya 8 hingga 13 jam, namun tim menghabiskan waktu 16 jam, hal ini cukup lama,” terang Roby yang telah mengibarkan merah putih.
Pada waktu sampai di kamp 5, Faish sudah menunggu kedatangan mereka dengan minuman cokelat panas. Namun ketika Roby dan Yasak membuka sarung tangan yang tebalnya hampir 1 cm, betapa kaget dan shocknya jari mereka berwarna hitam kelam.
Ternyata keduanya terkena “Frostbite”, yang merupakan penyakit yang menyerang para pendaki gunung es di mana terdapat radang pada bagian anggota tubuh seperti hidung, telinga, pipi, jari kaki dan tangan. Roby terkena Frost Bite pada pada bagian pipi, namun yang paling parah adalah bagian tangan yang sudah berwarna hitam di jari kiri 1 dan kanan 2. Sedangkan yasak menerima Frost Bite pada pada pipi dan yang parah pada jari kiri 2 dan kanan 3. Tangan Yasak yang dapat difungsikan hanya jari telunjuk keduanya.
Mata Faish mulai berkaca-kaca melihat kondisi kedua rekannya. Tidak hanya rekan, namun sudah dianggap sebagai keluarganya. Dengan sigap Faish menyalakan api dengan nyala yang cukup besar, mengambil gergaji es, dan segera memotong es balok di bawah tenda kerucut untuk digunakan untuk dimasak. Dalam waktu 15-20 menit, es itu mencair. Faish kemudian mengambil handuk dan memasukkan handuk itu pada air mendidih. Air itu mendidih, namun karena suhu yang sudah minus, sampai tak terasa panasnya air itu. Handuk yang panas itu segera ia kompreskan pada jari Roby dan Yasak.
Malamnya Roby dan Yasak sempat berkomunikasi dengan Wahyu Nur Wahid selaku manajer Airlangga Indonesia Denali Expedition (AIDeX) yang ada di Surabaya. Selama 5 menit komunikasi, tim di Base Camp Surabaya langsung sujud syukur begitu mendengar kabar mereka. Bahkan air mata sudah tidak bisa terbendung. Di ruang sekretariat WANALA Kampus C Universitas Airlangga di Surabaya, para anggota berkumpul pada ruangan kecil 3,5 meter x 5 meter sambil memanjatkan istighosah, surat yasin dan doa supaya tim dapat kembali dengan selamat.
16 Juni 2017 Waktu Indonesia, tim bergerak menuju kamp 4. Berdasarkan komunikasi, tim langsung turun menuju kamp 3 pada ketinggian 11.200 kaki atau 3.413 kaki. Namun berdasarkan pengamatan GPS (Global Positioning System), tim AIDeX berada di kamp 4. Yasak dan Roby menuju pos kesehatan yang disediakan oleh National Park Services (NPS). Hasil pemeriksaan, bahwa mereka berdua harus segera dievakuasi, karena frostbitenya sudah cukup parah. Sekadar informasi, pada penderita frostbite akan mengalami gejala kulit dingin, terasa seperti menusuk-nusuk, sensasi kesemutan, mati rasa dan kulit kemerahan atau kehitaman serta memiliki potensi yang serius dan butuh beberapa minggu untuk pulih, di mana penderita dapat kehilangan kulit, jari, kaki, serta cacat.
Pada 17 Juni 2017 pada pukul 11.01 WIB, Yasak dan Roby dievakuasi menggunakan heli menuju basecamp terlebih dahulu dan dilanjutkan menuju Talkeetna (kota terdekat dari Denali National Park). Di Talkeetna mereka langsung disambut dengan ambulans dan dilarikan ke Rumah Sakit. Namun hari sudah berganti, dokter tidak ada di tempat, hanya bidan yang tersedia dan menyarankan untuk selalu menghangatkan jari jangan sampai rasa kedinginan hilang dan tidak lupa untuk terus membersihkan. Akhirnnya tim kembali ke penginapan dan disuruh untuk ke Rumah Sakit pada hari Senin esok.
Pada waktu yang sama, terdengar kabar bahwa terdapat tim yang mengirimkan sinyal SOS kepada Dinas Taman Nasional pada pukul 1 pagi waktu Alaska. Dari tiga orang yang berada di kamp 5 (17.200 kaki), satu orang dari rombongan yang akan turun tersebut roboh karena penyakit yang tidak diketahui. Dua relawan pendaki gunung NPS yang berada di kamp 5 tersebut langsung menuju ke tempat kejadian, namun pendaki tersebut diketahui sudah tidak sadarkan diri dan telah meninggal.
Pada waktu berbuka, tepatnya pukul 17.56 WIB, Roby mengabari tim yang berada di Surabaya dan menceritakan kronologi di atas dengan detail. Selang beberapa waktu, Yasak mengirimkan foto pengibaran bendera Merah Putih dan Almamater pada grup AIDeX. Sontak para anggota yang membaca membalas chat tersebut dengan bangga, haru, penuh kebanggaan dengan mereka.
Namun beberapa menit kemudian ada foto masuk yang tergambar dengan jelas jari jemari yang hitam kelam, membuat hati ini teririrs syahdu meneteskan air mata. Maulida Rahma Fitria satu-satunya perempuan di tim AIDeX ini sudah tidak dapat berkata apapun.
"Jika Diamputasi, Saya Sumbang Jari Saya"
Tiba-tiba masuk chat yang berbunyi “Yassakkk, Robby, saya bangga, bahagia, terharu. Demi melihat fotomu, saya bisa merasakan betapa berat perjuanganmu. Demi melihat fotomu, engkau telah menjelma menjadi Ronald Admunsen. Wajah-wajah yang terpapar angin beku yang mematikan tidak menyurutkan langkahmu. Demi meihat fotomu, air mata inipun tidak cukup menggambarkan beratnya perjuanganmu. Ya Allah Yang Maha Agung, kami mohon selamatkan adik-adik kami dan pulangkan ke dalam pelukan kami.” Pesan tersebut kiriman Gogor Waseso, salah satu tim yang mencetuskan Seven Summits dan tergabung dalam Ekspedisi Jaya Carztenz Universitas Airlangga pada tahun 1994.
Kemudian disusul Paulus memotivasi mereka “Yasak....Roby. Faishz.. jawab dengan lantang... TABAH SAMPAI AKHIR.. VIVA WANALA”. Kemudian Gogor menambahkan “Jika dimungkinkan harus dipotong, dan disambung, saya sumbang satu jari saya,” ujar Gogor yang bangga atas pengorbanan dengan ketiga atlet ini.
"Kami para Mahasiswa Pencinta Alam WANALA Universitas Airlangga berjuang dari 0 untuk mewujudkan mimpi mengibarkan bendera almamater dan sang saka Merah Putih di Denali. Mengorbankan kuliah kami, waktu kami, tenaga kami sahabat kami, bahkan keluarga kami. Selama 20 bulan, dari Oktober 2015 lalu demi, 1 bulan ini dari 16 Mei 2017 hingga 26 Juni 2017. Pemuda harus bisa membawa bangga keluarga, almamater dan bangsa. Pemuda harus bisa berkreasi. Hal yang tidak mungkin akan menjadi mungkin, jika engkau MUDA BERANI BERKARYA. Masih ingat pesan Bung Karno “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. VIVA WANALA, TABAH SAMPAI AKHIR".
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News