Terjemah al-Ra’d: 3
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan[765], Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
[765]. Yang dimaksud berpasang-pasangan, ialah jantan dan betina, pahit dan manis, putih dan hitam, besar kecil dan sebagainya.
Tafsir
Pada ayat sebelumnya, Tuhan sengaja menunjuk planet-planet angkasa, langit, mentari dan rembulan lebih dahulu sebagai bukti kemahahebatan Tuhan, dzat yang mencipta. Hal itu untuk lebih membuat orang-orang kafir makin tercengang. Baru pada ayat ini menunjuk keberadaan bumi yang dibentangkan indah dan nyaman dihuni. Dilengkapi dengan gunung-gunung sebagai pasak, berbagai sungai dan buah-buahan yang berpasangan, serta servis waktu yang nyaman, siang dan malam.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Gunung yang disebut sebagai fungsi “rasiyah” pasak untuk menstabilkan posisi bumi hingga tak banyak goyah dan tak banyak guncangan. Bisa dibayangkan andai bumi tanpa gunung. Ada belahan bumi yang terdapat banyak gunung dan ada yang tidak. Negeri kita ini dianugerahi banyak gunung sehingga tanahnya sangat subur, udaranya segar dan erupsi sebagai konsekuensi. Ini anugerah dan sama sekali bukan malapetaka. Sebaliknya, negeri tak bergunung akan gersang, tapi relatif lebih aman.
Zaman Belanda dulu sudah ada garis batas pada semua gunung berapi di negeri ini, di mana tidak boleh dihuni atau didirikan bangunan dalam radius sekian kilo meter, lalu dikontrol secara ketat. Hal itu,selain untuk keselamatan penduduk setempat, juga untuk pelestarian alam pegunungan yang indah yang menyejukkan. Tapi karena keserakahan, kebandelan dan keteledoran berbagai pihak, semua itu diabaikan.
Ketika terjadi erupsi, sejatinya Tuhan ingin memperbaiki kualitas tanah dan menambah servis kenikmatan lain. Stok pasir yang mulai habis, kiranya perlu diisi lagi, sehingga bangunan di perkotaan tak terhambat. Tanah yang tak sehat akibat ulah petani yang menabur pupuk kimia semaunya, kiranya perlu dinetralisir hingga menghasilkan hasil tanaman organik yang menyehatkan. Kerja Tuhan ini untuk manfaat manusia ke depan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Bukan menyalahkan korban erupsi, tetapi – sebagai orang beriman – penulis perlu menjelaskan bahwa Tuhan itu tidak pernah salah dan tidak pernah menzalimi umat-Nya sendiri. Sewajibnya, sebagai tetangga gunung berapi, pasti sudah mengerti resikonya, siap dengan bangunan rumah yang kuat, seperti orang Jepang yang membangun rumah elastik tahan gempa. Termasuk tidakdekat-dekat dengan zona bahaya. Andaikata anda memprotes Tuhan,: ”ya Tuhan, mereka menghuni di sono itu sudah turun temurun dan tidak semua orang bisa membangun rumah kuat, tahan debu erupsi tanpa ambruk dan seterusnya...”.
Jika penulis boleh mewakili menjawab, kira-kira jawaban Tuhan begini: Lalu, kalian mau menyalahkansiapa? Apa Aku yang kamu salahkan ?”. “hai anak manusia, asal tahu aja. Kamu kan sudah tahu plus minus gunung berapi, kamu juga sangat lama sekali menikmati kesuburan lahan, kesegaran udara di sekitar gunung, tapi apakah semua itu membuat kalian tekun ibadah dan pandai bersyukur?. Justeru kalian sering lalai berbuat maksiat seenaknya. Kalian juga tahu, bahwa orang lain di luar sono, anak-anak manusia yang akan datang sangat membutuhkan bumi yang subur, yang alami dan erupsilah cara paling tepat.
Jauh-jauh Kami juga sudah memberitahu dengan mengirim berbagai tanda. Semua makhluqKu memperhatikan peringatan itu, lalu berusaha menyelamatkan diri menurut cara mereka masing-masing. Hanya kalian saja yang membandel dan sok gagah. Kalau kalian harus tetap tinggal di dekat gunung berapi, ya harus siap menanggung resikonya dan jangan hanya ambil enaknya saja. Mana ada hidup tanpa resiko?
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Semua Makhluk Dicipta Berpasangan
“wa min kull al-tsamarat ja’al fiha zawjain itsnain”. Semua buah-buahan dicipta berpasanga. “yughsyi al-lail al-nahar”. Malam menutupi siang. Ketika Tuhan membicarakan pasangan buah-buahan dinyatakan dengan bahasa tegas meminjam bahasa perjodohan manusia, “zawjain itsnain”. Tapi saat membicarakan pasangan waktu malam dan sing dipakai kata “yughdyi” yang artinya menutupi, mencampuri, memasuki. Mirip dengan ideom “ taghasy-sya” yang artinya “menyetubuhi”, seperti pemberitaan Tuhan tentang senggama Adam dan Hawwa’ (al-A’raf:189).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Semua yang difirmankan Tuhan pasti benar dan terkait hal di atas, kira-kira arahnya begini, bahwa cara dan praktik berpasangan antara buah-buahan (al-tsamarat) dan waktu (al-lail al-nahar) itu berbeda. Maka, ilmuwan yang hendak memahami atau meneliti praktik berpasangan keduanya harus hati-hati. Untuk tsamarat, kiranya ilmuwan biologi, ilmuwan tanaman adalah ahlinya. Dari membedakan jenis sel maupun kelaminnya. Bisa jadi pasangan sel itu ada dalam satu batang pohon, sehingga tidak perlu dikawinkan dengan milik pohon lain sudah bisa menghasilkan buah.
Namun yang umum dan sudah diketahui oleh para petani ortodok sejak zaman dulu adalah pohon korma. Tradisi petani pra Islam mengawinkan kepala putik dengan benang sari, sehingga menghasilkan buah korma yang bagus. Itu sunnatullah yang berlaku di dunia pertanian. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW pernah lewat di sebuah perkebunan dan melihat petani kormamengawinkan bunga jantan dengan bunga betina. Rasul menyindir, tak usah dikawinkan, toh ada Tuhan yangMahakuasa dan petani itu menurut.
Saat musin panen tiba, ternyata setoran zakat korma dari para petani menurun drastis. Rasulullah SAW terkejut dan bertanya “mengapa?”. Diberitahukan, bahwa hal itu karena para petani menuruti anjuran nabi, “tidak usah mengawinkan korma”. Nabi merunduk dan mengakui kekurangannya, lalu mengoreksi diri: ”soal tehnik keduniawian, kalian lebih mengerti daripada saya”. Kemudian, mereka mengawinkan lagi dan hasilnya berlimpah seperti biasanya. Apakah berpasangannya siang dan malam sama seperti buah? Apa hikmah yang biasa diambil dari hadis di atas?
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Berpasangannya Siang dan Malam Berbeda
Berpasangannya waktu, siang dan malam tentu tidak demikian dan ilmuwan bidang ini adalah ahlinya. Kata “yughsyi” dalam ayat studi di atas lebih pada kerja intervensi radikal dan penggantian kondisi lama dengan kondisi baru. Waktu malam datang menghapus semua elemen-elemen siang, sehingga suasana berubah menjadi malam yang relatif lebih gelap. Begitu halnya bila waktu siang tiba, maka semua elemen malam sirna dan tergantikan dengan elemen siang. Saat al-Qur’an turun, listrik belum ditemukan, apakah listrik juga berpasangan?. Ya, ada arus plus dan ada minus, dipadukan dan menghasilkan energi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Bila Hadis di atas benar, maka hikmahnya adalah,: Pertama, nabi itu manusia biasa yang bisa salah. Tapi tidak pernah terus menerus dalam kesalahan. Kesalahan yang dilakukan nabi pasti segera direvisi dan dibetulkan, sehingga hukum akhir yang dijadikan pedoman adalah hasil revisi. Itulah wahyu, sedangkan apa yang dilakukan nabi sebelumnya adalah proses menuju kebenaran.
Kedua, memberi tuntunan bahwa sehebat apapun manusia, tidaklah mesti lengkap dan bisa semua. Ada keunggulan di bidang tertentu, tapi lemah di bidang lain. Maka, tak ada alasan untuk merendahkan orang lain.
Ketiga, jika seseorang melakukan kesalahan, maka jangan malu-malu mengoreksi diri dan membetulkan sebagaimana mestinya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News