Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Wa-aataynaa muusaa alkitaaba waja’alnaahu hudan libanii israa-iila allaa tattakhidzuu min duunii wakiilaan (2).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dzurriyyata man hamalnaa ma’a nuuhin innahu kaana ‘abdan syakuuraan (3).
Kaji kita sesungguhnya sudah sampai ayat ketiga. Tapi diundurkan sebentar untuk mengantar hikmah yang terkandung dalam gaya iltifat pada ayat kaji. Ayat pertama al-Isra' menampilkan model iltifat, peralihan statement terkait subyek di balik peristiwa al-Isra'. Ketika mengungkapkan perjalan al-Isra' yang luar biasa, Tuhan menyamarkan Diri, pakai bentuk orang ketiga, ghaib, "al-Ladzi asra ", Dia, Dzat yang memperjalankan.
Tetapi ketika mengungkap keberkahan yang melimpah di seputar al-masjid dipakailah subyek dengan bentuk orang pertama, al-Mutakallim (Kami). "barakNA". Peralihan terma Ghaib (Dia) ke Mutakallim (Kami) ini, atau lainnya disebut gaya "iltifat". Padahal, antara al-ladzi asra dan al-ladzi barakNA satu pelaku, yakni Allah SWT. Kalau pola serasi, maka kalimatnya "al-ladzi baraka", menyesuaikan dengan "al-ladzi asra" sebelumnya. Kira-kira begini:
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Pertama, peristiwa al-isra' sangat terkait dengan keimanan, hal mana, sifat alamiah iman adalah ghaib. Untuk itu, Tuhan menyesuaikan (ghaib) dan tidak menampakkan Diri (mutakallim) sebagai Maha Dalang di balik itu. Tuhan sengaja melakukan demikian untuk melihat tanggapan masyarakat secara alamiah. Respon tersebut sangat dibutuhkan untuk bahan analisis terkait keimanan publik, yang selanjutnya dijadikan dasar langkah dakwah ke depan.
Berbeda ketika Tuhan memebrikan keberkahan di seputar al-masjid al-Haram dan al-masjid al-Aqsha. Keberkahan itu terbukti nyata, fisik, dan bisa dirasakan, baik berupa materi meupun immateri. Untuk itu, Tuhan hadir dengan keagungan Diri-Nya yang mengklaim, Kami. Kamilah yang memberkahi semua itu.
Dengan langgam mutakallim ini, tergambar adanya dialog interaktif antara Tuhan dengan publik secara langsung. Kehadiran Tuhan ini untuk mengkondisikan persepsi umat agar fokus pada satu arah, yaitu Tuhan, Allah SWT, lain tidak. Ibarat dermawan yang memberikan santunan kepada duafa' secara langsung. Para penerima tidak punya pilihan lain kecuali mengakui, bahwa sang pemberi adalah sang dermawan, lain tidak.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Kedua, hikmah lain adalah, pelajaran bagi umat manusia yang telah melakukan mahakarya, berprestasi hebat, menjadi tokoh sentral dalam peristiwa besar yang monumental, maka sebaiknya menyembunyikan diri dan identitas. Hal itu untuk men-save eksistensi diri jauh dari riya', show only.
Ternyata dalam sejarah banyak tokoh sentral yang demikian. Termasuk siapa sesungguhnya yang merobek kain warna biru dari bendera Belanda di atas hotel Oranye dulu saat pertempuran 10 November. Pola inilah yang disukai sufis legendaris, Ibnu Atha'illah al-Sakandary dengan tesisnya yang berjuluk "dafn al-wujud".
Tidak sama ketika soal servis yang nyata dan bersentuhan dengan publik atau ada pihak lain yang berpotensi menafikan peran asli atau nilai-nilai kebajikan, maka dituntut tegas dan tampil bertanggungjawab. Hal itu sebagai sikap proporsional yang adil demi kejujuran dan obyektivitas, sekaligus menafikan kecurangan dan menepis hipokritas.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Selanjutnya, langgam mutakallim ini dipakai Tuhan dalam membahasakan ungkapan-ungkapan berikutnya, kedua, ketiga, dan seterusnya, Wa aataynaa, wa ja'alna, hamalna hingga ayat ke enam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News