Oleh: Em Mas’ud Adnan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang menghadapi dilema besar. Pada satu sisi rakyat Indonesia – atau lebih tepatnya sebagian besar bangsa - menuntut sang presiden menerbitkan Perppu KPK karena UU KPK yang diputuskan DPR melemahkan kewenangan komisi anti rusuah itu. Pada sisi lain Jokowi mendapat tekanan para elit partai politik, terutama partai koalisi pendukung Jokowi. Maklum, mereka inilah yang jadi inisiator RUU KPK itu lewat para kadernya di DPR.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Seperti diakui Masinton Pasaribu, politikus PDIP yang anggota Komisi III DPR. Ia terang-terangan menyatakan bahwa dirinyalah yang menjadi pengusul revisi UU KPK bersama rekannya Risa Mariska dari PDIP, Achmad Baidowi (anggota Komisi II dari Fraksi PPP), Ibnu Multazam (anggota Komisi IV dari Fraksi PKB), Saiful Bahri Ruray (anggota Komisi III dari Fraksi Golkar), dan Teuku Taufiqulhadi (anggota Komisi III dari Fraksi NasDem).
Hanya saja Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem, kini mengaku siap salah jika UU KPK itu bertentangan dengan aspirasi rakyat. Ia tampaknya realistis melihat gelombang penolakan yang semakin besar dari rakyat Indonesia terhadap UU yang jelas melemahkan KPK itu.
Kini Jokowi tinggal memilih, apakah ia presiden rakyat atau presiden partai (koalisi)? Jika presiden rakyat ia harus menebitkan Perppu atau cara lain yang intinya mengubur UU yang mengebiri KPK. Sebaliknya, jika presiden partai ia harus patuh kepada elit partai koalisi dengan mengabaikan aspirasi rakyat.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Apakah elit partai bukan rakyat atau respresentasi rakyat? Bukankah partai punya konstituen yang jumlahnya puluhan juta orang? Benar. Tapi ingat elit partai tak selalu identik dengan konstituen, apalagi DPR. Bahkan dalam realitas politik, aspirasi konstituen – apalagi rakyat – justeru lebih banyak bertentangan dengan prilaku elit partai.
Sejarah mencatat, sejak Orde Baru, parpol – terutama para pimpinannya - tak selalu identik konstituen, apalagi rakyat. Rata-rata parpol gagal – atau enggan - mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan rakyat. Jangankan kepentingan rakyat, mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan para pengurus parpol sendiri – terutama pengurus pada level di bawah pimpinan pusat – rata-rata tak mampu. Prilaku para elit parpol – terutama di tingkat pusat –sangat oligarkis, tidak demokratis.
Fenomena politik oligarkis itu kian kentara pada 15 tahun terakhir. Indikatornya bisa kita lihat pada budaya politik pengambilan keputusan di internal parpol itu sendiri. Yang paling gampang diamati adalah mekanisme atau prosedur pemilihan ketua parpol tingkat provinsi, kota, kabupaten dan tingkat dibawahnya. Jika 15 tahun lalu ketua parpol tingkat propinsi (dewan pengurus wilayah atau dewan pengurus daerah) dipilih oleh para ketua partai tingkat cabang dan kota,(ketua DPC atau DPD), kini ketua wilayah ditunjuk langsung oleh ketua umum (ketum) Dewan Pengurus Pusat atau Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Jadi tidak ada mekanisme atau prosedur demokratis seperti 15 tahun sebelumnya. Cukup secarik kertas bernama Surat Keputusan (SK) seseorang bisa langsung jadi ketua dewan pengurus wilayah atau ketua dewan pimpinan daerah partai politik. Tak penting, apakah dia punya jiwa kepemimpinan atau tidak, punya kompetensi atau tidak. Yang penting dia memiliki koneksitas politik dengan sang ketua umum, disamping patuh tentunya. Karena itu tak aneh, jika ketua wilayah dan ketua cabang kadang masih kerabat sang ketua umum bahkan kakak-adik, ayah-anak, menantu dan seterusnya.
Walhasil, dalam praktik politiknya, parpol tidak hanya oligarkis tapi juga nepotis. Karena itu parpol sekarang tak bisa mengklaim mewakili konstituen, apalagi rakyat.
Lalu bagaimana dengan DPR? Setali tiga uang. Dari pemilu ke pemilu para anggota DPR selalu mengecewakan rakyat. Terutama karena mereka mengabaikan aspirasi rakyat.
Baca Juga: Pembina AJB Dipercaya KPK Beri Ulasan Terkait Integritas Pejabat dan Pelayanan Pemkab Bangkalan
Tapi kenapa mereka terpilih? Almaghfurlah KH A Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU dua periode, pernah menyatakan bahwa di Indonesia – saat itu mengomentari kecurangan pemilu legislatif di Madura - tidak ada pemilihan umum, yang ada adalah pembelian umum.
Memang. Faktanya, pemilu selalu transaksional. Dan transaksi politik finansial itu terjadi tidak hanya antara pemilih dan calon legislatif (Caleg) tapi juga antara caleg dengan petugas pemilu. Karena itu nurani para anggota DPR tak pernah nyambung dengan aspirasi rakyat. Maklum, mereka jadi anggota DPR tidak murni melalui proses pemilihan suara tapi banyak melalui transaksi secara tak wajar.
Nah, kini para mahasiswa dan elemen bangsa menuntut Jokowi menerbitkan Perppu KPK. Gelombang demostrasi terus membesar, bahkan mulai banyak korban akibat kekerasan aparat kepolisian. Seperti ghalibnya aksi unjuk rasa, jatuhnya korban tidak menyurutkan langkah para demonstran. Sebaliknya justeru mengobarkan semangat perelawanan. Apalagi para mahasiwa dan elemen rakyat itu merasa pada posisi benar: berjuang untuk rakyat, bukan kepentingan sesaat seperti umumnya politisi di Senayan.
Baca Juga: 22 Saksi Ngaku Tak Tau soal Penggunaan Pemotongan Dana Insentif Pegawai BPBD Sidoarjo
Maka, kini – sekali lagi – Jokowi harus memilih, apakah akan menjadi presiden rakyat atau presiden partai. Dua pilihan yang sama sulit dan sama mengandung risiko. Tapi bisa dipastikan – insyaallah – Jokowi sudah paham apa sebenarnya motif di balik ngototnya para anggota DPR untuk memutuskan secara sepihak dan terburu-buru RUU KPK itu. Bukankah kita maklum, para elit politik yang bernafsu memenggal kewenangan KPK itu rata-rata memiliki catatan merah di KPK. Bahkan sebagian elit politik – termasuk sebagian ketua umum partai - yang jadi inisiator RUU KPK itu terlibat kasus besar yang sedang diproses KPK.
Ironisnya, di tengah peliknya Presiden Jokowi menghadapi berbagai persoalan krusial bangsa, seperti kerusuhan Wamena yang banyak menelan korban jiwa, kabut asap yang menyebabkan jutaan manusia sulit bernafas, dan aksi demo para mahasiswa yang juga banyak menelan korban kekerasan, para inisiator RUU KPK itu masih bersikukuh pada kepentingannya sendiri. Mereka tak punya empati terhadap Jokowi yang sedang didera berbagai masalah krusial bangsa. Konsekuensinya, sang presiden seolah tersandra.
Tapi biarlah sejarah yang akan mencatat. Siapa menabur angin pasti menuai badai. Bukankah kekisruhan bangsa yang sekarang terjadi itu bermula dari RUU kontroversial itu. Wallahua’lam.
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
Penulis adalah Direktur RAHMI CENTER (Rahmatan Lil-Alamin Center) yang juga Pemimpin Umum HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.COM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News