LEIDEN, BANGSAONLINE.com - Ward Barenschot, penulis buku Democracy for Sale, mengatakan, saat ini elit politik Indonesia semakin bersatu mendominasi dan mempersempit ruang keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan. Menurut dia, semakin terkonsolidasinya elit politik memudahkan mereka untuk memperoleh manfaat dari sumber daya yang disediakan oleh negara.
“Pelumpuhan KPK dapat dimaknai dalam kerangka mengurangi hambatan bagi ekstraksi kekayaan negara oleh elit politik,” kata Ward Barenschot dalam dialog terbuka yang digelar Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Belanda bersama KITLV (KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies), Pehimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Leiden dan ILUNI Universitas Indonesia di Belanda tentang Politik Kewargaan paska Pilpres 2019 di Leiden Belanda.
Baca Juga: Paparkan Program 100 Hari Kerja saat Raker, Nusron: 119 Juta Bidang Tanah Sudah Terdaftar
Namun, Ward - dalam rilis Lakpesdam PCINU Belanda yang diterima BANGSAONLINE.COM - menilai bahwa elit politik melakukan itu bukan karena sifat rakusnya, melainkan upaya untuk mengembalikan modal dan bertahan hidup dalam sistem politik elektoral yang mahal. Ward mengapresiasi gerakan mahasiswa yang tiba-tiba muncul merespons konsolidasi elit politik. "Terutama ketika melihat narasi gerakan mahasiswa ini yang fokus kepada agenda-agenda penting, semisal anti-korupsi, anti-kekerasan, dan perlindungan hak sebagai warga negara negara, yang merupakan suatu karakteristik penting dari politik kewargaan (citizenship)," kata peneliti senior KITLV itu.
Sementaara Prof Afrizal dalam sesi kedua menyebut politik kewargaan dalam konteks masyarakat adat, terutama terkait dengan sebagian diskusi yang dominan menilai bahwa klaim terhadap tanah adat secara komunal menimbulkan ketidakadilan. Berkaca dari pengalaman di Sumatra Barat, Prof Afrizal menyampaikan dua contoh bagaimana masyarakat Nias yang beragama Kristen dapat diterima dan diberikan tanah oleh masyarakat Minangkabau yang beragama Islam.
“Di lapangan, ada banyak contoh kasus yang menunjukan inklusivitas masyarakat adat terhadap orang luar,” katanya.
Baca Juga: Komisi II DPR RI Dukung Program 100 Hari Kerja Menteri Nusron
Sedang Fachrizal Afandi, kandidat doktor di Fakultas Hukum Universitas Leiden yang mantan ketua Tandfidziyah PCINU Belanda membahas Revisi UU KPK dan RKUHP yang menjadi isu dari protes mahasiswa akhir-akhir ini. Fachrizal membedah bagaimana permasalahan hukum yang sangat mendasar di dalam Revisi UU KPK dan RKUHP serta bagaimana berbagai kepentingan yang bermain di belakangnya.
Yang menarik, ia mengajak untuk melakukan refleksi tentang semakin dominannya peranan polisi di dalam berbagai posisi penyelenggaraan pemerintahan sipil.
“Saat ini sudah begitu banyak posisi kementerian dan lembaga negara, termasuk Ketua KPK diisi oleh polisi yang tidak melepaskan status kepegawaiannya sebagai polisi. Situasi ini menyebabkan polisi memainkan dua peran sekaligus seperti dwi-fungsi TNI (ABRI) pada masa Orde Baru,” katanya.
Baca Juga: Koalisi CBD Kirim Hasil Analisis Ganja Medis ke DPR dan Presiden
Menurut dia, banyaknya pasal pemidanaan dalam RKUHP termasuk dalam ranah privat tanpa disertai kontrol yang kuat dalam KUHAP memberikan peluang bagai polisi untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mereka target.
Pembicara pamungkas dalam diskusi ini adalah Sandra Mondiaga, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sandra juga mengamati bahwa salah satu alasan yang menjadi dalih dari konsolidasi elit juga berlangsung karena adanya kebutuhan untuk mengatasi radikalisme yang semakin meluas di dalam masyarakat. Komnas HAM melakukan pemantauan terhadap demonstrasi yang melibatkan kekerasan dan menyebabkan kematian, termasuk demonstrasi penolakan keputusan KPU pada bulan Mei dan demonstrasi mahasiswa yang dilakukan pada bulan September.
Saat ini investigasi sedang berlangsung dan belum banyak
yang bisa disimpulkan, namun sangat perlu untuk melihat persoalan ini secara
komprehensif, dan bukan hitam putih, sebab dalam peristiwa-peristiwa tersebut
menunjukkan ada banyak aktor dan kepentingan yang bermain.
Menurut ida, diskusi reflektif seperti ini sangat diperlukan di tengah perubahan
situasi politik dan sosial di Indonesia pasca pemilu. Ada banyak dimensi
persoalan yang bisa didalami lebih lanjut. Salah satu yang paling mengemuka
adalah mengenai besarnya biaya pemilu yang menjadi penyulut bagi elit politik
untuk melakukan korupsi dengan mengambil sumber daya yang disediakan oleh
negara.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Siklus korupsi, politik uang, besarnya biaya pemilu, ekstraksi sumber daya alam, dan kekerasan aparat terhadap protes-protes warga menjadi lingkaran setan yang harus diputus. Berbagai solusi potensial untuk memutus rantai tersebut membutuhkan pendalaman bersama untuk menghadirkan solusi bagi penataan hubungan negara dan masyarakat di Indonesia.
Ketua NU Belanda M Latif Fauzi menyebut bahwa dialog ini penting untuk menganalisa bagaimana perkembangan demokrasi dan hak kewargaan dijamin dalam pemerintahan Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin 5 tahun mendatang. Saat membuka dialog, Yance Arizona sebagai moderator mewakili Lakpesdam NU menyebut bahwa pertanyaan mendasar yang coba dibahas dalam dialog ini adalah bagaimana masa depan politik kewargaan atau biasa disebut citizenship saat para elit politik makin terkonsolidasi dan imun terhadap kritik publik. Utamanya saat pembuatan regulasi yang cenderung abai pada aspirasi publik.
Protes mahasiswa #reformasidikorupsi akhir September 2019 menunjukkan bahwa saluran aspirasi publik melalui parlemen tidak berjalan sehingga menyebabkan kebuntuan dialog antara warga dan negara. (tim)
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News