Tebang Pilih Penegakan HAM, Kontras Minta Jokowi Blusukan ke Kantor BIN

Tebang Pilih Penegakan HAM, Kontras Minta Jokowi Blusukan ke Kantor BIN Presiden Jokowi sangat ahli dalam menarik simpati massa dengan cara blusukan. Tampak ia menyempatkan berbicara dengan petani ketika perjalanan menuju ke lokasi longsor di Banjarnegara. Karena itu Kontras minta Jokowi blusukan ke kantor BIN. Foto: tempo.co.id

BangsaOnline-Pemerintah dinilai enggan mengambil risiko dalam penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dalam dugaan pelanggaran HAM masih berkutat pada kasus-kasus kecil saja.

"Hanya mengambil kasus-kasus tertentu saja yang minim resiko terus diklaim sebagai perlindungan HAM tetapi yang berat-berat dihindari," katanya usai paparan catatan akhir tahun bertajuk 'HAM Hari Ini Siapa yang Akan Bertanggung Jawab' di Cheese Cake Factory, Cikini, Jakarta, Minggu (14/12).

Haris menjabarkan, dalam banyak pelanggaran HAM, pemerintah terkesan menutup mata dan tidak berani tampil.

"Di kasus Munir misal negara tidak berani tampil, juga kasus-kasu lain yang melibatkan Wiranto misalnya," bebernya.

Haris menuding pemerintahan Joko Widodo () tidak punya prioritas dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Seharusnya, kata dia, begitu Presiden dan kabinetnya dilantik dapat langsung menyusun agenda penuntasan HAM sesuai konsep Nawacita.

"Kalau cuma yang kecil-kecil saja kita tidak butuh selevel presiden. Harusnya pemerintah bisa tampil bicara hal-hal yang sangat strategis, karena negara harus mampu memutuskan mata rantai," tegasnya.

Kontras bahkan menyebut pilih-pilih terhadap penyelesaian kasus HAM.

" bicara kasus lumpur Lapindo, tapi tidak bicara soal kasus Talangsari," kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 14 Desember 2014.
Menurut Haris, Presiden yang terkenal suka blusukan itu lebih memilih menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM yang tidak melibatkan kelompoknya. "Ia hanya menyelesaikan isu yang membuat dan kelompoknya nyaman saja," ujarnya.

Haris mencontohkan, beberapa tindakan yang lebih memihak pada kelompoknya dengan meminta menyelesaikan kasus lumpur Lapindo lebih dahulu dibandingkan dengan kasus Talangsari. Kasus Lapindo melibatkan perusahaan milik Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. (Baca: Munir Raih Penghargaan HAM di Hari Lahirnya)

Kontras menduga kasus pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung, yang terjadi pada 1998 melibatkan orang dekat , yakni mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono. Haris juga melihat tidak ingin menyelesaikan kasus Tragedi Semanggi dan Trisakti pada 1998.
Menurut Haris, kasus Trisakti dikarenakan salah satu orang yang diduga ikut dalam kasus itu Wiranto yang juga Ketua Umum Partai Hanura. Hanura merupakan partai yang berkoalisi dengan PDIP. " enggan menyelesaikan Tragedi Semanggi dan Trisakti karena ada Wiranto dalam kasus itu," katanya.

Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik

Kontras meminta blusukan ke kantor Badan Intelijen Negara di Pejaten, Jakarta Selatan. " seharusnya blusukan ke BIN," kata Wakil Koordinator Kontras Chrisbiantoro di Jakarta, Ahad, 14 Desember 2014. dikenal suka blusukan ke berbagai daerah.

Chrisbiantoro mengatakan harusnya sekali-kali memeriksa BIN untuk memastikan bukti-bukti pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu masih ada dan tidak dihilangkan oleh BIN. Menurut Chris, pihaknya meyakini ada keterlibatan anggota BIN dalam berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. "Namun, selama ini bukti tersebut seakan dimusnahkan oleh BIN," kata Chris.

Jika blusukan ke kantor BIN, diharapkan berbagai bukti dan pelanggaran HAM itu dapat terungkap. Menurut dia, berbagai dokumen di BIN soal pelanggaran HAM masa lalu itu harus dibuka. "Itu sesuai agenda pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan kebenaran," kata Chris.
Chris mengatakan pihaknya sebenarnya pernah meminta kepada Komisi Informasi Pusat tentang alat bukti seperti file dalam komputer BIN. Tapi, menurut Chris, komputer di BIN itu sudah diganti dan file-nya sudah tidak ada. Ia mengatakan sebagai kepala negara memiliki otoritas untuk melakukan audit internal. "Dengan bukti-bukti di BIN itu, kasus pelanggaran HAM pada 1965 atau kasus 1998 bisa terungkap," katanya.

Sumber: rmol.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Presiden Jokowi Unboxing Sirkuit Mandalika, Ini Motor yang Dipakai':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO