Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
21. Unzhur kayfa fadhdhalnaa ba’dhahum ‘alaa ba’dhin walal-aakhiratu akbaru darajaatin wa-akbaru tafdhiilaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Dan kehidupan akhirat lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaan.
TAFSIR AKTUAL
Ayat sebelumnya juga menyinggung tentang soal ashab al-kahf dan ashab al-raqim masa lalu. Petilasannya ada dan masyarakat memandang sangat perlu diabadikan. Apalagi terkait perjuangan membela iman yang begitu berat dan berisiko tinggi. Di sisi lain, tragedi ashab al-kahfi dan al-raqim ini tidak murni peristiwa agama, melainkan juga bernuansa budaya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Karena latar belakangnya berbeda, maka tindakan dan pilihannya juga berbeda. Pihak agama bertindak berdasar prinsip teologis dan pihak budaya bertindak atas dasar mithologis. Kelompok-kelompok itu sama-sama sepakat mendirikan monumen yang dibangun di lokasi itu. Tapi mereka berdebat soal bentuknya, berupa apa, dan bagaimana? "idz yatanaza'un bainahum amrahum, fa qalu ubnu 'alaihim bunyana".
Mereka yang seiman dengan ashabul kahfi mengusulkan agar dibangun masjid. Sementara yang tidak seiman mengusulkan dibangun gereja atau rumah tamu untuk persinggahan para musafir. Sebagian yang lain nampak emosi dan mengusulkan agar goa yang dipakai berteduh ashabul kahfi itu dihancurkan.
Perdebatan itu akhirnya mengarah kepada kesepakatan untuk melakukan pendekatan teologis dengan cara menyerahkan keputusan ke tangan Tuhan dan selanjutnya meminta petunjuk kepada-Nya, karena Dia adalah Dzat yang mahamengerti. "Rabbuhun a'lam bihim".
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Semua yang terlibat dalam musyawarah itu siap meninggalkan ego dan emosi masing-masing, sehingga hanya ada satu pintu, yakni pintu Tuhan Allah SWT saja, tidak yang lain. Akhir kata, disepakati dibangun sebuah masjid di lokasi ashab al-kahfi dan al-raqim itu. "Qal al-ladzin ghalabu 'ala amrihim lanattakhidzann 'alaihim masjida". Raja setuju dengan dasar menghormati agama ashabul kahfi.
Abdullah ibn Umar R.A. berkomentar, rupanya Allah SWT akhirnya juga mengapresiasi pendapat terakhir, yaitu penghancuran goa agar tidak menimbulkan kultus. Hanya saja caranya beda. Tuhan menggunakan cara-Nya sendiri, yakni dengan merahasiakan petilasan, monumen, masjid, dan goa tersebut. Hingga kini sejarah hanya bisa menduga-duga tanpa kepastian.
Dari ayat ini, terbacalah isyarat teologis terkait pembuatan monumen, yang pada prinsipnya, bangunan monumen tersebut wajib punya manfaat, punya maslahah bagi umat manusia, utamanya terkait peningkatan amal ibadah dan ketaqwaan. Dan yang tertinggi dalam hal itu adalah MASJID.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Di negeri ini banyak monumen yang dibangun dan wujudnya disesuaikan dengan peristiwa yang melatarbelakangi. Boleh-boleh saja dan bagus. Barang kali untuk memutar ulang sejarah, sekaligus peringatan demi mengambil pelajaran yang terbaik. Tapi kenapa al-Qur'an mengangkat masjid sebagai monumen?
Di sinilah hebatnya al-Qur'an, hanya mengambil sisi amal ibadah dengan arah ke depan lebih baik. Masjid sebagai sarana ibadah, memohon ampunan dan berdoa kebajikan. Islam tidak selera memutar peristiwa masa lalu, apalagi yang kelam. Sekadar tadzkirah memang perlu. Tapi tidak patung.
Peristiwa perang Badar, Uhud, Ahzab yang super monumental tidak dibuatkan patung para korban, maupun para syuhada'. Bahkan pohon yang dulu dipakai Rasulullah SAW berteduh dan membaiat para sahabat pada "Bai'ah al-Ridlwan" yang diabadikan al-qur'an (al-Fath:18), ditebang oleh Umar ibn al-Khattab. Sekali lagi, demi menghilangkan kultus yang menyesatkan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Semurni apapun data sejarah, seutuh apapun relief dan patung yang dibuat, hal itu tetap mengandung multi tafsir, meski pembuatnya hanya punya satu tafsir. Ambil contoh peristiwa Bom Bali oleh Amrozi dan kawan-kawan. Lalu di daerah itu dibuatkan monumen.
Maksud pembuatnya jelas agar masyarakat mengenang peristiwa itu sebagai peristiwa biadab dan melanggar Hak Asasi Manusia. Seterusnya, patung itu sebagai nasihat bisu agar tidak terulang lagi peristiwa yang tidak berperikemanusiaan itu.
Itu benar dari satu sisi, tapi sisi lain bisa beda. Itu memang bagus menurut pandangan mereka, itu sungguh pesan mulia, menurut mereka. Tapi tidak bagi Amrozi dan kawan-kawan. Mereka yang pro Amrozi, seaqidah dan seprinsip dengan jihad Amrozi, justru dipahami sebaliknya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Bahwa, monumen itu berbicara soal totalitas keimanan Amrozi dan kawan-kawan yang sangat monumental. Bukti kegigihan perjuangan Amrozi membela agama Allah. Mereka ikhlas meninggalkan kenikmatan duniawi, demi memburu kenikmatan surga secara instan. Seterusnya, sang pembaca menjadi lebih semangat meneruskan perjuangan Amrozi. Kedua tafsir itu sah-sah saja.
Lain halnya bila monumen itu berupa masjid. Maka yang ada hanyalah proyeksi satu arah, yaitu Allah SWT, yaitu amal kebajikan, ketaqwaan ke depan lebih baik. Tidak ada keduniawian dalam masjid. Yang ada hanyalah sujud, dan sujud.
Lain lagi bila monumen yang dibangun sama sekali tidak bermaknakan agama, hanya murni budaya, semisal patung tokoh. Meskipun dipandang baik, tapi berpotensi kultus dan syirik. Ingat, perilaku kemusyrikan pertama di dunia, yakni terjadi pada zaman nabi Nuh A.S.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Ada lima orang yang dianggap paling shalih waktu itu, yaitu: Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr. Lalu dipatungkan, dijadikan monument dan kenangan. Dan akhirnya disembah sebagai Tuhan. Hal itu benar-benar berlawanan dengan prinsip keimanan yang diajarkan Nabi Nuh A.S. sehingga dakwah Nuh A.S. benar-benar kandas karena patung-patung tersebut (Nuh:23).
Atas dasar ini, kami memahami keberatan sebagian kawan-kawan muslim, hingga mengharamkan monumen berupa patung tokoh dan menganjurkan untuk dihancurkan. Tapi sabarlah sejenak dengan memandang kearifan budaya kita. Rasanya, jauh patung pahlawan itu disembah oleh masyarakat.
Al-maghfur lah K.H. Achyat Mojokerto, sebagai pewaris dan keluarga pejuang menolak pembuatan monumen patung. Dana yang ditawarkan pemerintah dialihkan untuk lembaga pendidikan, lalu jadilah sebuah bangunan yang bermanfaat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News