Jangan Menangis Masjidku!

Jangan Menangis Masjidku! Ilustrasi

-- Spesial Ramadhan dan Idul Fitri--

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Puasa Ramadhan itu hanyalah syari'ah biasa, tak ubahnya syariah lain yang senada, kayak shalat, zakat, haji, dll. Syariah artinya jalan lempang. Mau lancar menuju Tuhan? Maka lewatlah syari'ah. Jadi, puasa Ramadhan bukanlah tujuan. Tujuan utamanya adalah DIA Sendiri, bertaqwa kepada-Nya. Mau tahu nilai puasa anda? Lihat sendiri setelah puasa.

Ramadhan itu Spiritual Training, bulan pelatihan spiritual. Ibarat atlet yang sudah masuk pelatihan nasional sebulan, dilatih dan digembleng. Jika tidak ada peningkatan, pastilah dicoret dan diusir oleh sang pelatih.

Jadi, jika prestasi amal kita stagnan, tidak ada peningkatan: pelitnya tetap, maksiatnya tetap, marah-marahnya tetap, nebar konten hoax tetap, volume berjamaahnya tetap, volume membaca al-qur'annya tetap, maka merugi besar, beristighfarlah. Jika malah menurun - na'udz billah - maka itu tanda bejat. Meski Tuhan tidak pernah mengusir hamba-Nya, kita mesti merintih di pangkuan-Nya memohon belas kasih.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Covid-19 benar-benar membelah umat Islam negeri ini, sehingga ada yang memilih shalat tarawih di rumah dan ada yang tetap di masjid dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Meski masing-masing punya dasar, tapi bagi Tuhan yang dinilai adalah pangamalannya. Sempurnakah pelaksanaanya?

Pendidikan kejujuran selama berpuasa sangatlah hebat. Meski tidak dilihat orang, orang beriman sadar dirinya selalu dilihat Tuhan. Baik yang bertarawih di rumah maupun di masjid, berjujur-jujurlah di hadapan Tuhan. Adakah selama Covid-19 ini shalat tarwaih menurun atau pancet atau malah lebih khusyu'?

Tuhan itu memberi makan, tetapi Dia sendiri tidak makan. Dia memberi minum, tapi tidak minum. Melalui puasa, umat-Nya dididik merasakan betapa perih kelaparan. Harapannya mereka bisa memiliki jiwa ketuhanan yang welas dan memberi, bukan jiwa pengemis yang nyadong dan menerima.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Perhatikan istilah hari raya kita. Namanya ID al-FITHR. Id artinya pesta, hari raya, bukan kembali. (kembali = 'Aud). Fithr, artinya makan, makan pagi. Rasulullah SAW menyebut id al-fithr sebagai: "Yaum yafthur al-nas", hari orang-orang pada makan. ZAKATnya?

Jika disebut Zakat al-FITHR, maka artinya subsidi makan pagi. Maksudnya, zakat itu sebagai subsidi bagi orang-orang miskin agar bisa bareng berpesta makan pagi, di mana satu bulan penuh umat islam tidak sarapan. Terma ini lebih pada dimensi sosial dan lebih pas. Boleh pula disebut Zakat al-Fitrah. Fitrah, artinya "jiwa". Berarti zakat itu sebagai pajak jiwa, pajak bernapas selama satu tahun. Terma ini lebih pada dimensi spiritual.

Cukuplah dihayati sendiri, keimanan macam apa mereka yang berkali-kali umrah, serius ramadhanan di tanah suci, mendengar suara adzan dari al-masjid al-Haram yang jauh, lalu disambut dengan susah payah dan mahal. TAPI suara perut tetangga sendiri tidak terdengar. Maaf, Tuhan "mengutuk" mereka itu sebagai pendusta agama.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Ketika umat Islam beroyal-royal membangun masjid, tidak peduli menghabiskan berapa juta dinar, asal masjid di daerahnya megah, sementara di sekitar masih banyak pengemis dan orang kelaparan, al-imam al-Ghazaly berkomentar agak emosi: "Luqmah fi bathn ja-i' khair min bina' alf jami’". Sesuap makanan di perut orang yang kelaparan lebih berpahala ketimbang membangun seribu masjid.

Disempurnakan dengan perintah takbiran pada malam Idil Fitr, sebagai ungkapan memuji kebesaran Tuhan. Takbiran sunnah dikumandangkan di mana-mana, di rumah, di masjid, jalan raya, di pasar, mall, dll.

Disambung komunikasi ilahiah tingkat puncak, yaitu shalat id bersama di rumah Tuhan sendiri, masjid. Kecuali Covidian loyalis, maka pilih di rumah sendiri. Meski masjid sering dicurigai sebagai paling berpotensi penyebaran virus ketimbang mall, pasar dll, padahal masjid sudah sangat shalih mematuhi protokol kesehatan, maka kita tidak perlu meratapi nasib masjid. Serahkan semua urusan masjid kepada Pemilik-Nya, Allah SWT.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Ingat kisah raja Abraha dari negeri Yaman yang hendak menghancurkan bangunan baitullah, rumah Allah, ka'bah. Gajah besar-besar layaknya traktor sekarang siap meratakan Ka'bah dengan tanah dan tidak ada yang bisa menghalangi.

Penduduk Makkah tergopoh-gopoh memberi tahu kakek Abdul Muttalib tentang kedatangan pasukan gajah. Sang kakek benar-benar keluar dan menemui raja Abraha, tapi tidak membicarakan ka'bah yang hendak dimusnahkan, melainkan meminta kembali untanya yang dirampas tentara Abraha. Unta dikembali dan dibawa pulang.

Para pembesar Makkah ngelurug dan memaki-maki. Dicemooh sebagai egois, tidak perhatian kepada rumah Allah, mementingkan urusan pribadi dan lain-lain. Sang kakek hanya tersenyum dan berkata: unta itu milik saya dan saya sendiri yang ngurus. Sedangkan Ka'bah itu bukan milik saya, biarlah pemiliknya sendiri yang ngurus. Gitu saja kok repot.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Akhirnya, dengan cara-Nya sendiri Tuhan bertindak. Masjid kita juga rumah-Nya, meski tidak sebesar Baitullah di Makkah. Mudah-mudahan Tuhan tidak menyamakan para penutup masjid negeri ini dengan raja Abrahah. Tidak juga tersinggung karena rumah-rumah kecil-Nya ditutup dan tetap berkenan merahmati.

Setelah beraudisi dengan Sang Khaliq, ada anjuran "Shilah al-Rahim". Shilah, artinya sambung. Dari sambung itulah memancar power, seperti sambungnya arus listrik positif dan negatif yang menghasilkan cahaya, gambar, suara, energi dll.

Rahim, (Ra Ha Mim), maknanya cinta, kasih. Raahim, orang yang mencintai. Rahman, Rahiim, Allah maha kasih. Rahim, ibu yang mencintai. Rahim diterjemah dengan kandungan karena ibu-lah yang punya kandungan. Jadi, shilah al-rahim adalah kesinambungan yang produktif yang memancarkan kasih dan memberi. Jika sekadar salaman dan ketemu-ketemuan, itu formalitas, tapi sudah bagus.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Andai seseorang tidak bisa ketemu secara fisik karena ada larangan mudik, tapi uangnya dikirimkan ke keluarga, para fakir, miskin, anak yatim, dan mereka yang membutuhkan di desa, itu jauh lebih baik ketimbang mudik kosongan. Dan apapun yang terjadi, penulis ucapkan: "mohon maaf, taqabbal Allah minna wa minkum".

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO