Oleh: M Mas’ud Adnan --- Nahdlatul Ulama (NU) punya khasanah (bahasa) baru: Neo Khawarij NU. Istilah seram ini diintroduksi KH Imam Jazuli, LC, MA, untuk mestigmatisasi kelompok kritis NU: Komite Khittah Nahdlatul Ulama (KKNU). Khawarij – seperti kita ketahui - adalah kelompok ekstrem dan brutal yang dipersonifikasikan Abdurrahman Ibnu Muljam, pembunuh keji Sayyidina Ali Karramallahu wajhah.
Kiai Imam Jazuli menyematkan stigma itu kepada KKNU dalam tulisannya berjudul Fenomena Neo Khawarij NU dan Khittah 1926 dilansir Tribunnews.com, Sabtu (28/11/2020). Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon itu bukan hanya menstigma KKNU dengan “kelompok kejam Khawarij” tapi juga menyebut para kiai itu dengan “segelintir”. Istilah yang biasa dipakai para propagandis untuk menyudutkan dan mengerdlikan lawannya.
Baca Juga: Pengurus PC LPBI SER NU Gresik Siaga Bencana Alam
Nah, agar informasinya tak bias, baiklah saya tulis kronologi lahirnya KKNU. Semula KKNU berupa forum diskusi atau musyawarah tentang NU. Forum ini diinisiasi KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), cucu pendiri NU Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari. Saat itu Gus Sholah - yang juga putra pahlawan nasional KH Abdul Wahid Hasyim - adalah pengasuh Pesantren Tebuireng. Pesantren yang didirikan Hadratussyaikh yang - diakui atau tidak - telah melahirkan jutaan alumni.
Gus Sholah gelisah karena dalam Muktamar ke-33 NU pada Agustus 2015 di Jombang banyak praktik money politics. Para peserta Muktamar NU - terutama Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah PCNU dan PWNU - yang menginap di Pesantren Tebuireng digerilya dengan uang Rp 25 juta agar pindah ke pesantren lain.
Memang, pada hari-hari pertama, tiga pesantren - dari empat pesantren di Jombang - yang disiapkan panitia untuk penginapan peserta Muktamar NU, sangat sepi. Sebaliknya, Pesantren Tebuireng jadi rebutan peserta Muktamar. Alasannya, mereka ingin dekat dengan makam Hadratussyakh KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Sepinya tiga pesantren itu menjadi berita media massa, termasuk Jawa Pos.
Baca Juga: Ngaku Pelayan, Gus Fahmi Nangis saat Launching Majelis Istighatsah dan Ngaji Kitab At Tibyan
Namun pada hari berikutnya, sebagian peserta angkat kopor dari Tebuireng pindah ke pesantren lain karena mendapat iming-iming uang Rp 25 juta. Ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang terang-terangan.
Ironisnya, operator money politics yang masuk ke Tebuireng terus terang. Terutama saat muncul isu terjadi “penculikan” peserta Muktamar di Tebuireng.
“Gak benar itu. Saya hanya menawarkan kerja sama. Kalau para kiai, Rais Syuriah mau kerja sama dengan kami, ini ada uang Rp 25 juta. Jadi saya tak memaksa, apalagi menculik,” kata seorang teman kader NU yang keluar-masuk Pesantren Tebuireng sembari tertawa.
Baca Juga: Bedah Buku KH Hasyim Asy'ari di Banjarmasin, Khofifah Sampaikan Pesan Persatuan dan Persaudaraan
Pintu gerbang Pesantren Tebuireng sempat ditutup gara-gara “relawan” money politics itu. Namun isu yang muncul, pihak Tebuireng mengarantina peserta Muktamar. Karena itu, pintu gerbang dibuka lagi.
Nah, pasca Muktamar NU yang semrawut politik uang itulah, Gus Sholah mengajak para kiai dan kader NU bermusyawarah. Gus Sholah sangat prihatin dengan money politics yang sudah merajalela. Sebenarnya, yang menjadi perhatian Gus Sholah bukan hanya politik uang di Muktamar NU, tapi sikap pragmatis dan problem moral para pemimpin pemerintahan yang berlatar belakang santri.
“Kenapa ya ketua DPRD lulusan pesantren masih korupsi. Padahal mereka sudah paham agama. Apa yang salah dengan pendidikan ini,” kata Gus Sholah kepada saya.
Baca Juga: Bedah Buku KH Hasyim Asy'ari di Pekanbaru, Khofifah: Teladan Kepemimpinan dalam Keberagaman
Gus Sholah lalu intensif mengkaji problem moral itu dengan para kiai dan kader muda NU. Pertemuan demi pertemuan dilakukan. Kadang bertempat di ndalem kasepuhan Pesantren Tebuireng. Tapi kadang di Surabaya, dan kadang di Jakarta, di ndalem Gus Sholah.
Bahkan saat resepsi pernikahan anak saya di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, Gus Sholah memanfaatkan momen tersebut untuk menggelar pertemuan dengan para kiai dan kader NU yang hadir. Usai memberikan taushiyah di depan para undangan pernikahan anak saya, Gus Sholah dan para kiai menggelar pertemuan. Saya tak ikut karena sibuk menerima tamu undangan.
Kemudian disepakati mengawali gerakan moral kultural NU dengan “Napak Tilas” perjuangan para pendiri NU. Gerakan simbolik itu dimulai dari Pondok Pesantren Shaichona Kholil, Bangkalan, Madura. Di pesantren tersebut, Gus Sholah bersama para kiai menggelar pertemuan membahas tentang NU.
Baca Juga: Kang Irwan Dukung Mbah Kholil, Kiai Bisri dan Gus Dur Ditetapkan jadi Pahlawan Nasional
Beberapa minggu kemudian pindah ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo. Terakhir di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pertemuan di tiga pesantren tiga daerah itu merupakan poros utama NU.
“Ada istilah setiga emas: Tebuireng, Bangkalan, dan Sukorejo. Kiai Azaim dan juga saya masuk dalam group yang direkomendasi al-maghfur lahu KH Salahuddin Wahid. Sukorejo pernah ditempati pertemuan kelompok ini, tapi tidak ada tujuan mendirikan NU tandingan,” kata KH Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo yang kini Rais Syuriah PBNU.
Selain Kiai Afifuddin Muhajir, dalam gerakan moral Gus Sholah itu memang ada KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo. Kemudian KH Fahmi Amrullah (Gus Fahmi), cucu Hadratussyaikh yang juga Kepala Pondok Putri Pesantren Tebuireng.
Baca Juga: Khofifah Undang Menkop Jadi Narasumber Kongres VIII Muslimat NU di Surabaya
Lalu Dr KH Nashihin Hasan, orang dekat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof Dr Rokhmat Wahab, mantan ketua PWNU Yogyakarta, Ustdaz Hilmi, salah seorang keluarga KH Ilyas Ruhiyat Cipasung yang aktif di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok, Dr KH Husnul Khuluq, mantan ketua PCNU Gresik tiga periode, Dr KH Sofiyullah Muzammil (Gus Sofi), dosen UIN Suka Yogyakarta, KH Ahmad Sufiyaji (Gus Ahid), mantan anggota DPRD Jawa Timur dari PKB, Ahmad Sujono, mantan pengurus PWNU Jatim, Ustdaz Muhlas Syarqun, penulis buku Ensiklopedi Gus Dur, KH Misbahussalam (Sekretaris PCNU Jember), KH Wahid Asa, mantan Wakil Ketua PWNU Jatim, dan tentu saja saya sendiri (penulis artikel ini), di samping para kiai dan kader NU lain.
Saya, meski bukan kiai, selalu diminta hadir oleh Gus Sholah. Mungkin karena saya wartawan yang sering diajak diskusi oleh Gus Sholah. Bahkan kalau saya tak kelihatan di pertemuan, Gus Sholah kirim pesan lewat WhatsApp (WA). “Kok belum kelihatan.”
Gus Sholah terus bergerak. Ke berbagai pesantren. Di antaranya menggelar pertemuan di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Tentu atas restu dan dihadiri KH Nawawi Abdul Jalil, pengasuh pesantren tersebut.
Baca Juga: Bakal Gelar Kongres Ke-18, Khofifah Bersama PP Muslimat NU Silaturahmi dengan Menag RI Nasaruddin
Kemudian Gus Sholah menggelar pertemuan dengan para kiai di Pondok Pesantren Assuniyah Kencong Jember. Di pesantren yang diasuh KH Ahmad Sadid Jauhari, itu hadir para kiai dari kawasan tapal kuda, terutama para pengurus NU.
Semua aktivitas gerakan moral itu dibiayai secara swadaya. Konsumsi kadang ditanggung pesantren yang jadi tuan rumah. Tapi kadang biaya bersama. Yang pasti, tanpa sponsor. Apalagi bandar.
Yang menarik, semua kiai yang hadir tanpa bisyarah atau amplop. Uniknya, banyak pesantren yang siap ditempati meski harus menanggung konsumsi. "Kalau soal konsumsi siap, tapi kalau uang transport maaf, tak sanggup," kata seorang kiai pengasuh pesantren.
Baca Juga: Bedah Buku KH Hasyim Asyari: Pemersatu Umat Islam Indonesia, Khofifah: Dahysat Secara Substansi
Melihat perkembangan positif ini, saya bilang kepada teman-teman. “Kalau gerakan ini terus eksis, luar biasa. Karena kiai yang biasanya datang ke suatu acara dikasih bisyarah, sekarang tak dikasih apa-apa. Padahal mereka datang dari jauh dan bawa mobil sendiri,” kata saya.
Ini memang gerakan belajar ikhlas dan bersih-bersih money politics. “Ya, kita lihat aja, beberapa bulan ke depan. Masih tetap banyak yang hadir atau semakin berkurang,” timpal teman yang lain. Faktanya, gerakan moral itu terus berjalan. Mungkin karena faktor figur Gus Sholah. Terutama sebagai cucu Hadratussyaikh.
Dalam setiap pertemuan, Gus Sholah selalu membahas bagaimana memupus sikap pragmatisme di NU, terutama money politics dan keterlibatan NU dalam politik praktis. Gus Sholah kadang memberi contoh keikhlasan para pengurus Muslimat NU.
“Kalau diundang rapat, para pengurusnya tanpa uang transport. Pakai uang pribadi sendiri-sendiri,” kata Gus Sholah. Ia tahu banyak budaya Muslimat NU, karena Nyai Farida Salahuddin Wahid, istri Gus Solah, pengurus Muslimat NU Pusat.
Pertemuan dengan para kiai terus berlangsung. Tapi ketika menjelang pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Timur, Gus Sholah minta acara silaturahim ke pesantren itu dihentikan sementara. Gus Sholah khawatir gerakan moral NU itu dikira untuk kepentingan pilgub. Apalagi dalam pilgub itu Gus Sholah mendukung Khofifah Indar Parawansa.
Begitu Khofifah menang melawan Saifullah Yusuf (Gus Ipul), gerakan moral Gus Sholah dimulai lagi. Tapi tak lama berselang, datang Pemilihan Presiden (Pilpres). Berbeda dengan pilgub yang mendukung Khofifah, Gus Sholah menyatakan netral dalam Pilpres.
Sikap netral Gus Sholah itu justru disalahpahami. Gus Sholah dikira mendukung Capres Prabowo Subianto. Maklum, para kiai yang tergabung dalam tim Khofifah saat Pilgub - seperti Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, KH Afifudddin Muhajir, dan kiai yang lain - all out mendukung Capres Joko Widodo dalam pilpres. Bahkan mendirikan Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN).
Untung para kiai barisan Khofifah itu paham. Tak satu pun mereka mempersoalkan sikap netral Gus Sholah dalam Pilpres. Mereka paham tentang moral dan integritas Gus Sholah. Artinya, kalau Gus Sholah bilang netral, berarti benar-benar netral. Karena itu, para kiai barisan Khofifah yang mendukung Jokowi tetap berkomunikasi secara baik dengan Gus Sholah, termasuk Khofifah.
Saat itulah para kiai NU pendukung Prabowo merapat pada Gus Sholah. Antara lain: Prof Ahmad Zahro, KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab (Gus Aam), Choirul Anam (Cak Anam), KH Suyuti Toha, KH Lutfi Bashori. Yang disebut terakhir ini NU garis lurus.
Gus Sholah minta saya datang. Tapi – terus terang – saya mulai tak nyaman. Apalagi ketika pertemuan di Ndalem Kasepuhan Teburieng, aroma Prabowo benar-benar merebak. Forum mulai terasa tidak sehat. Padahal Gus Sholah ingin forum itu benar-benar netral. Seingat saya, saat itu forum belum diberi nama.
Tapi saya tetap ikut. Bahkan saya diminta bicara. Saya bicara agak terakhir setelah dipaksa oleh teman-teman barisan Gus Sholah. Intinya saya mengatakan, bagaimana kita bisa bicara khitah NU, kalau isi pembicaraan dalam KKNU ini masalah pilpres.
Saya juga menyikapi secara sarkastis terhadap para tokoh dan kiai yang mau menggiring gerakan moral kultural Gus Sholah itu ke Pilpres. “Ada tiga orang yang kehilangan akal sehat,” kata saya saat itu. Puluhan kiai yang memenuhi ruangan Ndalem Kasepuhan Tebuireng memperhatikan saya.
“Pertama, orang yang lagi jatuh cinta. Kedua, orang gila. Ketiga, pendukung capres,” kata saya. Peserta yang netral tertawa. Sedang pendukung Prabowo cemberut.
Gus Sholah menyadari bahwa forum sudah tak netral. Karena itu Gus Sholah minta saya aktif mengikuti pertemuan itu. Maksudnya, agar gerakan moral itu tetap terjaga, netral, tak didominasi kelompok pro Prabowo. “Harus diperbanyak peserta dari kubu Jokowi agar imbang,” kata Gus Sholah kepada saya.
Gus Sholah memang tak mendukung Prabowo. Juga tak mendukung Jokowi. Saat itu yang dipikir Gus Sholah hanya NU. Sikap ini kian jelas ketika Gus Sholah menjelaskan kepada saya tentang pemilihan ketua umum PBNU dalam Muktamar mendatang.
Menurut Gus Sholah, pemilihan ketua umum PBNU tak bisa lepas dari keterlibatan pihak Istana. Dan dari dua capres itu (Jokowi dan Prabowo), kata Gus Sholah, tak ada yang bisa diharapkan untuk memperbaiki NU. “Kalau Jokowi yang terpilih ya tetap seperti sekarang, tapi kalau kita pilih Prabowo terlalu mahal harganya untuk NU,” kata Gus Sholah. Maksudnya, karena pendukung Prabowo adalah kelompok Islam aliran keras.
Karena itu - sekali lagi - Gus Sholah memilih netral. Yang dipikirkan Gus Sholah hanya NU bebas dari money politics dan politik praktis. Gus Sholah ingin tiga tujuan NU tercapai. Pertama, ajaran Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) Annahdliyah, terutama sesuai pemikiran Hadratussyaikh, terjaga dan berkembang.
Kedua, warga NU meningkat secara ekonomi, intelektual, dan moral. Ketiga, pesantren berkembang dan maju berkat kepedulian NU.
Nah, kita kembali pada tulisan Kiai Imam Jazuli. Pantaskah, gerakan moral Gus Sholah dan para kiai – termasuk Kiai Afifuddin dan Kiai Azaim Ibrahimy – itu dicap sebagai Neo Khawarij NU? Tepatkah kita, menjuluki para kiai NU – terutama Gus Sholah, Kiai Afifuddin, Kiai Azaim Ibrahimy dan kiai lain – sebagai kelompok Neo Khawarij NU hanya karena mereka berbeda pendapat dan kritis kepada PBNU?
Terbayangkah, bagaimana perasaan para santri dan alumni pesantren mereka ketika para kiai panutannya dicap Neo Khawarij NU? Bagaimana dengan para kiai yang tak sejalan dengan PBNU tapi diam tak bersuara karena merasa sudah terwakili gerakan Gus Sholah dan para kiai?
Karena itu saya menilai tulisan Kiai Imam Jazuli itu hiperbolik, lebay, dan tidak didasarkan pada data dan informasi valid dan akurat. Buktinya, Kiai Imam Jazuli menyebut bahwa mereka adalah “segelintir kiai NU mengatasnamakan NU garis lurus dan berubah wujud menjadi Komite Khitah 1926”.
Ini jelas tak masuk akal, baik secara logika maupun fakta. Bagamana mungkin Kiai Afifuddin Muhajir yang kini tercatat sebagai Rais Syuriah PBNU dikategoikan NU garis lurus. Dari mana nalarnya, Gus Sholah dan Kiai Azaim distigma sebagai NU garis lurus.
Saya menilai bahwa Kiai Imam Jazuli telah terperangkap pada sikap dan pemikiran politik “sektarian” dalam kerangka mikro NU. Ini tentu sangat bahaya, karena memandang sesama kader NU yang berbeda pandangan sebagai musuh.
Menjustifikasi para kiai NU yang beda pendapat dengan stigma Neo Khawarij NU sangat tidak pantas dan tidak elok, karena Khawarij identik dengan aksi kekerasan dan kekejaman. Sejak kapan NU jadi eksklusif, tidak memberi ruang berbeda pendapat dan munculnya kritik?
Yang juga perlu dipahami, pandangan dan sepak terjang Prof Dr Rochmat Wahab dan KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab (Gus Aam) tidak otomatis identik gerakan moral Gus Sholah. Apalagi ketika Gus Aam mengklaim KKNU sebagai ormas berbadan hukum setara PBNU dan anjangsana ke Petamburan mendukung Habib Rizieq Shihab.
Sikap Gus Sholah tegas. Gerakan moral NU tak perlu dilembagakan. Bahwa setelah Gus Sholah wafat ada orang yang menyelewengkan gerakan moral berubah menjadi gerakan politik, tentu di luar cita-cita Gus Sholah. Karena itu wajar, jika Kiai Azaim Ibrahmy, Kiai Nashihin Hasan, Gus Ahid, dan tokoh-tokoh lain memberi pernyataan tertulis bahwa mereka menolak masuk dalam kepengurusan KKNU.
Jadi - sekali lagi - gerakan moral dan kultural tak perlu dilembagakan. Wallahua’lam bisshawab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News