SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Tulisan Dahlan Iskan ini bukan saja berkelas, tapi juga sangat mencerahkan. Wartawan kawakan yang memiliki Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM), di Takeran Magetan, dengan 150 madrasah tersebar di berbagai kota dan kabupaten itu, menulis tentang pertemuan dua tokoh agama berpengaruh yang sangat menyejukkan. Ayatollah al-Sistani dan Paus Francis.
Sangat menyentuh hati, ketika Dahlan Iskan - yang lulusan Madrasah Aliyah dan pernah kuliah di IAIN - mengungkap kehidupan Al-Sistani. Tokoh Islam yang pernah diusulkan dapat hadiah Nobel itu ternyata sangat sederhana. Ia tinggal di gang sempit di rumah kecil ukuran 70 m2. Bukan rumah sendiri, tapi rumah kontrakan.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Namun yang lebih mengharukan lagi, dua tokoh agama itu punya kepedulian sama: hentikan kekerasan atas nama agama!
Nah, tulisan mantan menteri BUMN yang hari ini, Rabu, 10 Maret 2021, dimuat Disway dan HARIAN BANGSA, kami turunkan di BANGSAONLINE.com yang pembacanya terus meluas ke seluruh Indonesia dan luar negeri. Selamat membaca:
PAUS Francis berusia 84 tahun. Ayatollah Ali al-Sistani berumur 90 tahun. Keduanya bertemu, Sabtu lalu. Selama 40 menit. Yang dibicarakan: kekerasan atas nama agama harus diakhiri.
Baca Juga: Tambah Wawasan soal Dunia Jurnalistik, Siswa SMA AWS Kunjungi Kantor HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE
Pertemuan bersejarah itu terjadi di rumah Ali al-Sistani –Grand Ayatollah di Iraq. Di kota Najaf. Iraq bagian selatan. Sudah dekat dengan Iran.
Rumah Sistani berada di dalam sebuah gang yang sempit. Rumah itu sendiri luasnya hanya 70 m2 –sedikit di atas rumah sederhana untuk ukuran Indonesia. Pun itu bukan rumah sang imam sendiri. Itu rumah kontrakan –600.000 dinar Iraq/bulan. Atau sekitar Rp 200.000/bulan.
Paus terbang dari Baghdad –ibu kota Iraq– menuju Najaf. Hanya sekitar 30 menit. Saya pernah jalan darat dari Baghdad ke Najaf: sekitar 2 jam. Bersama istri, anak wedok Isna Iskan, suaminyi, dan cucu pertama Icha.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Saya sampai berkali-kali memutar video berita kunjungan pemimpin tertinggi dunia Katolik ke Najaf itu. Terutama video bagaimana Paus harus turun dari mobil di mulut gang. Lalu harus berjalan menyusuri gang dengan langkah khas orang tua.
Tempat pertemuan itu sendiri memang terlihat sangat sederhana. Ayatollah al-Sistani mengenakan jubah ''kebesaran'' seorang imam besar aliran Syiah: serbahitam. Paus mengenakan jubah kepausan: serbaputih.
Kita tidak tahu pembicaraan dua pemimpin agama itu. Semuanya tertutup. Kita hanya tahu dari siaran pers –satu dari Sistani dan satunya dari Paus Francis. Tapi isinya sama: perlunya kekerasan atas nama agama diakhiri.
Baca Juga: Negara Takhta Suci Katolik Vatikan dan Jasa Besarnya di Kemerdekaan Indonesia
Dari Sistani ada tambahan yang lebih mencerminkan keadaan di Iraq: orang Kristen Iraq berhak hidup aman dan damai seperti warga Iraq lainnya. "Itu dijamin oleh konstitusi Iraq," ujar siaran pers dari Sistani.
Sikap Sistani itu sudah bisa dibaca jauh-jauh hari. Sikap itulah yang membuat kunjungan Paus ke rumahnya menjadi mungkin.
Berbulan-bulan staf kedua belah pihak membahas kunjungan itu. Ada saja hambatannya. Bukan soal perbedaan iman, tapi soal keamanan. Iraq masih belum aman. Maka pengamanan di sepanjang gang itu menjadi faktor yang paling sulit.
Baca Juga: Ketum Muslimat NU: Selamat Datang Paus Fransiskus, Semoga Lancar
Terakhir ada faktor tambahan: Covid-19.
Tapi tekad Paus sangat kuat untuk ke Iraq. Belum ada Paus sebelumnya berani ke Iraq. Paus Francis adalah yang pertama. Yang saat kunjungan dilakukan sudah menjalani vaksinasi suntikan kedua.
Di depan gang rumah Sistani terbentang satu spanduk. Isinya sangat damai dan menyejukkan. Kalimat di spanduk itu diambil dari kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib –panutan utama pengikut Syiah. Ali adalah salah satu dari empat sahabat tepercaya Nabi Muhammad. Yang juga menantu Nabi: ayah dari Sayyidina Hassan dan Hussein –cucu kesayangan Nabi.
Baca Juga: Menkominfo dan Menag Dianggap Adu Domba Umat Beragama, Umat Kristiani Tak Persoalkan Adzan
"Kita ini bersaudara, kalau bukan saudara seiman adalah saudara sesama manusia," bunyi kalimat di spanduk itu.
Makam Sayyidina Ali ada di Najaf. Saya ke makam itu waktu ke Najaf dulu.
Dan Grand Ayatollah Sistani sendiri masih keturunan dari Sayyidina Ali.
Baca Juga: Doa Khofifah untuk Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia
Sistani sebenarnya lahir di Mashhad, kota terbesar kedua di Iran yang amat indah. Lalu bersekolah agama di Qom –kota suci kaum Syiah, sekitar 100 km dari Tehran. Dari sini Sistani melanjutkan sekolah ke Najaf di Iraq. Sejak itu Sistani menjadi warga Iraq. Tahun 1993 Sistani menjadi Grand Ayatollah di Iraq. Ia juga masuk 100 tokoh intelektual dunia dan 50 intelektual Islam.
Selama pemerintahan otoriter Saddam Hussein, Sistani menjadi tahanan rumah. Masjidnya ditutup. Setelah Amerika menyerbu Iraq Sistani masuk tokoh pro-demokrasi. Bahkan ia menyerukan agar wanita ikut memilih. Bagi para suami yang melarang istri pergi ke TPS Sistani berkata: para wanita Syiah harus mengikuti jejak Zainab –putri Sayyidina Ali. Zainab memang ikut rombongan Hussein ke Najaf –yang kemudian menjadi saksi pembantaian di Karbala, ketika perjalanan 1.000 Km rombongan itu tinggal 70 Km saja dari Najaf.
Umat Kristen adalah kelompok yang paling menderita di Iraq. Mereka berada di tengah konflik antara Islam Syiah (65 persen) dan Islam Wahabi (30 persen).
Baca Juga: Muhammadiyah Sambut Baik Kedatangan Paus Fransiskus, Haedar Nasir: Kerukunan Islam-Katolik
Apalagi ketika ISIS menguasai Iraq dan Syria. Sistani sangat anti ISIS –mengeluarkan fatwa untuk memerangi ISIS.
Sistani sendiri –dalam beberapa wawancara di masa itu– mengatakan, pembunuhan terhadap umat Kristen bukan dilakukan oleh umat Islam Iraq melainkan oleh pengikut aliran Wahabi yang datang dari luar.
Dengan kalimatnya itu, Sistani seperti ingin mengesankan bahwa di Iraq tidak ada masalah antara Syiah dan Sunni. Yang membuat masalah adalah masuknya Wahabi ke Iraq.
Tanpa menyebut nama, yang dimaksud tentunya satu ini: Arab Saudi. Yakni negara yang beraliran Wahabi. Mungkin yang dimaksud Sistani adalah Arab Saudi sebelum era putra mahkota Mohamad bin Salman. Kini Arab Saudi kian menuju ke arah liberal.
Kedatangan Paus ke Iraq telah menenangkan umat Kristen. Apalagi Paus bertemu Ayatollah Sistani. Sistani seperti agak berbeda dengan umumnya Ayatollah di Iran. Sistani percaya pada demokrasi. Bahkan ia mengecam demokrasi di Iraq belum bisa diterapkan sepenuhnya.
Sikap Sistani itu menarik di kalangan Barat. Sejak lima tahun lalu beberapa lembaga di Inggris –juga kolumnis terkemuka harian New York Times mengusulkan Sistani untuk mendapat hadiah Nobel perdamaian. Demikian juga asosiasi umat Kristen di Iraq.
Pun, Paus Francis. Telah membuat sejarah penting. Beliau begitu ngotot datang ke Iraq –di tengah semua bahaya yang ada. Bahkan Paus juga ziarah ke kota Ur –sekitar 300 Km dari Najaf. Di situlah Nabi Ibrahim lahir. Ilmuwan sudah sepakat di Ur-lah Abraham lahir. Meski begitu tetap saja banyak daerah lain yang masih mengklaim Ibrahim lahir di daerah mereka.
Dari Ur, di umurnya yang 74 tahun, Abraham melakukan perjalanan suci 1.000 Km ke Syria. Lalu jalan lagi 1.000 Km ke Mesir. Terakhir jalan lagi 1.000 Km ke Kanaan –sekarang Israel– untuk menetap di situ. Itu sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi.
Tentu, saya memonitor media Barat untuk mengikuti dan menulis kunjungan Paus yang bersejarah ini. Media Timur Tengah tidak cukup detail melaporkannya.
Dua tahun lalu Paus Francis juga ke Uni Emirat Arab. Paus berhasil menandatangani deklarasi damai dengan para tokoh Islam aliran Sunni dan Wahabi –termasuk Presiden Al Azhar dari Kairo.
Kini hal yang sama dilakukan Paus ke dunia Syiah –yang diikuti oleh 200 juta umat Islam di dunia.
Peta dunia memang sedang berubah. Ada yang membicarakan perdamaian di Timur Tengah. Ada juga yang membicarakan perang di Laut China Selatan. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News