Pernah Ditinggal Pacar, Effendi Gazali Kembalikan Gelar Profesor karena Kecewa pada Wartawan

Pernah Ditinggal Pacar, Effendi Gazali Kembalikan Gelar Profesor karena Kecewa pada Wartawan Dahlan iskan. Foto: Ist

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Ahli komunikasi Effendi Gazali mengembalikan gelar guru besarnya. Ia kecewa karena merasa gagal mengajar jurnalisme. Ia menilai ternyata wartawan yang baik tinggal sedikit.

Bahkan kekecewaannya mencapai 9,5. Loh? Bagaimana dengan kekecewaannya ditinggal pacar? Mencapai berapa?

Silakan baca tulisan Dahlan Iskan di BANGSAONLINE.com di bawah ini. Selamat membaca:

Wartawan itu bisa saja salah. Yang penting wartawan harus sadar mesti berbuat apa ketika tahu salah.

Saya ingin terus mengampanyekan itu. Prinsip itulah yang bisa dipakai untuk mengetahui ini: si wartawan punya niat baik atau tidak ketika melancarkan kontrol sosial. Kalau wartawan tidak mau mengoreksi tulisannya yang salah berarti memang ada niat tidak baik di balik tulisan itu.

Saya tidak ingin kian banyak orang kecewa pada kualitas jurnalisme. Seperti yang dialami Prof Dr Effendi Gazali. Ia ahli komunikasi terkemuka Indonesia. Ia juga pengajar mata kuliah jurnalistik.

"Kekecewaan saya sampai 9,5," katanya.

Saya memang bertanya kepadanya: dari 1-10, di skala berapa kekecewaannya itu. Begitu tinggi. Hampir kecewa total. Sampai-sampai ia benar-benar menanggalkan gelar nya.

Baru kali ini terjadi di Indonesia: seorang mencopot gelarnya sendiri lantaran kecewa pada bidang ilmunya. Ia merasa gagal mengajar jurnalisme. Ia merasa tinggal sangat sedikit wartawan yang masih baik.

Saya mencatat banyak kekecewaan yang dialami Effendi Gazali dalam hidupnya.

Tahun lalu ia kecewa karena gugatannya ke Mahkamah Konstitusi ditolak. Ia ingin pencalonan presiden tidak dibatasi kepemilikan kursi di parlemen. Ia ingin siapa saja bisa diusung partai-apa-saja menjadi calon presiden.

Kekecewaannya mencapai 9,95. Mepet batas atas. Padahal ia serius banget memperjuangkan itu. Demi demokrasi.

Effendi juga pernah kecewa pada almamaternya sendiri: Universitas Indonesia. Yakni terkait dengan kualitas calon rektor pada saat itu. Ia sampai bergabung ke dalam gerakan #saveUI.

Tingkat kekecewaannya saat itu: 8. Angkanya tidak sampai 9. Ia tidak sekecewa terhadap jurnalisme dan Mahkamah Konstitusi.

Padahal gara-gara itu ia tidak bisa menjadi di UI. "Gak jadi kan tidak apa-apa. Dr Imam B. Prasojo juga belum diangkat menjadi guru besar. Padahal ia lebih layak dari banyak yang sudah jadi ," katanya.

Ada satu lagi kekecewaan Effendi Gazali. Semoga istrinya tidak membaca Disway hari ini. Ia pernah kecewa ditinggal pacarnya. Nilai kekecewaannya –saat itu– mencapai 9.

Pacarnya itu wanita Amerika. Kulit putih. Blonde. Sudah 3,5 tahun menjalin cinta. Si cewek pernah tiga kali ke Indonesia. Dia sempat diajak berkunjung ke UI. Dia kaget melihat banyak orang naik kereta api di atas atap gerbong. Dia prihatin melihat begitu banyak pengemis di pinggir jalan. Dia merasa tidak bisa hidup di Indonesia.

"Dia terlalu rasional," kata Effendi.

Maka jadilah Effendi jomblo berkepanjangan. Intelektual tapi jomblo. Jomblo tapi intelektual. Ia pun masuk grup jomblo berkualitas.

Jodohnya baru ketemu ketika ia berumur 42 tahun. Yakni Hikmah Ridho Ali Alatas. Umurnya sama - -hanya angkanya dibalik. Ia keluarga Shihab yang juga keluarga Alatas.

Kekecewaannya yang 9 itu sudah lama lenyap. Kini istrinya itu menjadi sumber kebahagiannya. Angka kebahagiaan itu mencapai 9,96. Melebihi kebahagiannya menjadi bintang acara TV Republik Benar Benar Mabuk (9,95), menjadi pelawak stand up comedy (8,5), dan menulis (9,5). Ia berseloroh lebih bahagia ketika membaca Disway daripada menulis karya jurnalisme. Ia pernah jadi wartawan mingguan Bola, grup Kompas.

Memang banyak orang kaget ketika Effendi tampil di TV. Terutama ketika ia bicara soal benur dan lobster. Tidak banyak yang tahu kalau Effendi itu anak nelayan. Masa kecilnya bergelut dengan ikan dan udang. Yakni di kampung kelahirannya, Parak Nipah –di Muaro Padang.

Ia baru ke Jakarta setelah tamat SMA terbaik di Padang saat itu, Don Bosco –untuk kuliah di UI. Di UI pula Effendi meraih gelar master komunikasi.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO