Umsida Ajak Jurnalis, KPU, Bawaslu dan Pengamat Diskusi Dampak Politik Identitas di Pemilu

Umsida Ajak Jurnalis, KPU, Bawaslu dan Pengamat Diskusi Dampak Politik Identitas di Pemilu FGD bertema 'Komodifikasi Agama dalam Kontstruksi Partai Politik Islam Terhadap Pemodelan Politik Identitas' di Gedung DRPM Kampus 1 Umsida Sidoarjo

Sementara itu Ketua Umum Dakesda , yang juga berprofesi sebagai jurnalis menuturkan bahwa media massa sangat berhati-hati dalam memproduksi berita, terutama terkait isu sensitif seperti politik identitas, dengan mengutamakan akurasi, keseimbangan, serta mematuhi kode etik jurnalistik dan pedoman media cyber, untuk menjaga kepercayaan publik dan menghindari tuduhan keberpihakan.

Menanggapi hal di atas, ketua KPUD Jasin mengatakan memang belum ada aturan yang secara tegas dan lugas mengatur tentang politik identitas yang ada hanya aturan penggunaan sarana ibadah dan penggunaan ayat-ayat suci agama serta tidak mengngandung SARA dalam kampanye.

"Karena itu peran media sangat penting dalam mengedukasi masyarakat dalam berpolitik. Peran awak media sangat signifikan utamanya bagi media yang telah berkonvergensi menjadi media online," ujar Yasin.

Menurut Jasin, efek Echo Chumber ini memang sulit diatasi, karena kecepatan upload penyebar ujaran kebencian berbanding dengan instensitas masyarakat berselancar di media social dan online, sehingga jurnalis pun akan kualahan menghadapi era ini.

Sementara itu, ketua Bawaslu Agung Nugraha menyampaikan bahwa politik identitas adalah hal yang lumrah terjadi, bukan hanya pada pemeluk agama, karena pemilih juga kadangkala nyaman dengan pilihan yang memiliki proksimiti atau kedekatan.

"Yang bahaya adalah jika politik identitas ini disalahgunakan, itu yang harus dievaluasi dan ditertibkan. Misalnya media sosial yang dipakai oleh kontestan pemilu harus di daftarkan dan diverivikassi pemegang akunnya. Bahkan kalau bisa semua portal pemberitaan berbasis media massa harus terverivikasi sehingga masyarakat tidak sembarangan menyebarkan informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya," tegas Agung.

Selanjutnya politik muda Fajar Muharrom mengatakan, politik identitas itu terjadi di mana-mana karena identitas itu bukan hanya soal agama, tapi bisa etnis, ras, dan suku.

"Sebenarnya semua itu sudah ada aturan mainnya di Undang-Undang nomor 7 tahun 2017, sekarang tinggal bagaimana penyelenggara Pemilu itu memainkan fungsinya menjalankan Undang-Undang itu. Saya sempat bercanda dengan mereka yang sampai mengkafirkan pemilih Prabowo di 2024, saya sampaikan bahwa sebenarnya doa anda semuanya pada tahun 2019 diijabah, sekarang Prabowo menang," tambah Fajar.

Menurut Adi politik identitas itu hal yang biasa saja. Yang menjadi buruk adalah ketika politik identitas ini disampaikan dengan cara yang hasut. 

Hal ini sudah dilarang dalam konstruksi Undang-Undang Pemilu. Menurut Adi identitas sendiri sudah menjadi satu kesatuan dengan politik itu sendiri.

Sehingga ini menjadi kurang relevan dan seakan dipaksakan. 

Terakhir Adi menyampaikan bahwa hal baru yang ditemukan dalam penelitian ini harunsya lebih luar biasa dan perlu didorong agar dapat menjadi masukan untuk pembuat kebijakan.

Dalam penutupnya ketua peneliti Dr.Didik Hariyanto, M.Si memberikan kesimpulan Komodifikasi yang dilakukan partai politik Islam berdampak pada adanya sentimen keagamaan dalam masyarakat.

Peran media dalam konstruksi politik identitas sangat signifikan, karena dapat menentukan bagaimana identitas-idenitas tersebut diakui, dipahami, dan dinegosiasikan dalam ruang publik. Karena itu perlu adanya aturan yang jelas dalam penggunaan media saat ini terutama media sosial agar tidak terjadi miss komunikasi yang berujung kepada dis integrasi bangsa.(cat/van

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Kecelakaan Karambol di Medaeng Sidoarjo, Truk Tabrak Tiga Mobil Hingga Terguling':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO