SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Raden Notopuro yang bergelar Raden Tumenggung Panji (R.T.P) Tjokronegoro I merupakan Bupati Pertama Sidoarjo. Ia menjabat mulai tahun 1859-1863 Masehi.
R.T.P Tjokronegoro I bertempat tinggal di kampung Pandean kelurahan Kauman, Kecamatan Sidoarjo. Kawasan kampung ini bisa disebut Kota Tua Sidoarjo
Baca Juga: Selama Jadi Anggota DPRD Jatim, Mas Iin Peka Kebutuhan Masyarakat
Kampung ini sekarang dikenal dengan kuliner kolak srikaya yang rasanya manis dan hanya bisa dijumpai di bulan ramadan.
"Makanan khas Ramadan warga Pandean Kauman ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Menjelang sore sebelum berbuka puasa, kawasan kota tua ini ramai orang ngabuburit, salah satu yang jadi buruan yakni kolak srikaya," kata Plt Kabid Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Dinas Kominfo Sidoarjo, M Wildan, Jumat (8/4/2022).
Di kawasan kota tua ini, Tjokronegoro tinggal bersama keluarganya. Tahun 1859, kawasan Pandean menjadi tempat pusatnya perdagangan dan pemerintahan selama kurang lebih tiga tahun.
Baca Juga: Yudhi Iriyanto Resmi Jabat Kepala Disporapar Sidoarjo
Diperkirakan, tahun 1862, Bupati Tjokronegoro memindahan pusat pemerintahan ke kampung Wates, kelurahan Pucang. Saat berada di Pandean, Tjokronegoro sempat merenovasi bangunan Masjid Jami Al Abror.
Berdasarkan cerita masyarakat sekitar, kata Wildan, Bupati Tjokronegoro tinggal di rumah yang lokasinya berada di pinggir Jalan Raya Gajah Mada, menghadap ke arah timur.
Ada beberapa sumber yang menyebut, Toko Kain BIMA adalah bekas rumah dinas Bupati Pertama Kabupaten Sidoarjo R.T.P Tjokronegoro I. “Bangunan itu sampai sekarang masih ada dan masih terjaga keasliannya,” tutur Wildan.
Baca Juga: Pemkab Sidoarjo Gelar Sayembara Nama RSUD, Total Hadiah Rp51 Juta
Nah, sambung Wildan, pada Sabtu (9/4) besok, warga Kota Delta bisa jalan-jalan menikmati suasana Tempo Doeloe di acara Gajah Mada Street Night yang digagas oleh Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor (Gus Muhdlor).
Kawasan kota tua ini kemudian menjadi identitas Sidoarjo Tempo Doeloe, selain karena usia kampungnya yang tua, daerah ini pernah menjadi pusat pemerintahan Sidoarjo yang pertama di tahun 1859-1861. Bangunan-bangunan tua di kampung Pandean kelurahan Kauman rata-rata bergaya kolonial Belanda.
Di kampung kolak srikaya ini masih banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno yang usianya bahkan ada yang lebih dari 300 tahun. Seperti, Masjid Jami Al Abror yang dibangun pada tahun 1678. Jika dihitung, salah satu masjid paling tua di Sidoarjo itu sekarang sudah berusia 344 Tahun.
Baca Juga: Dukung Geliat Pembangunan, Forum CSR Sidoarjo Susun Katalog Program
Masjid yang tidak pernah sepi dari aktivitas dakwah ini sudah mengalami beberapa kali renovasi dan masih menyisakan warisan sejarah dan budaya berupa gapura kuno yang berfungsi sebagai pintu masuk masjid di sisi sebelah utara.
Berdirinya Masjid Al Abror tidak bisa lepas dari keberadaan Mbah Muljadi, seorang tokoh ulama dari Demak, Jawa Tengah yang diyakini warga sekitar merupakan pendiri Masjid Al Abror.
Dalam pembangunannya, Mbah Muljadi dibantu tiga orang warga sekitar, yakni Mbah Sayyid Salim, Mbah Musa dan Mbah Badriyah. Keempat tokoh itu dimakamkan di sebelah baratnya Masjid Jami Al Abror. Menjelang ramadan masyarakat sekitar banyak yang berziarah ke makamnya.
Baca Juga: Kampanye Asyik, PKS Sidoarjo Senam Bersama dan Bagikan Jeruk untuk Masyarakat
Selain seorang ulama, Mbah Muljadi juga diyakini merupakan orang pertama yang mengajarkan pembuatan batik tulis kepada warga Kampung Jetis Kelurahan Lemah Putro.
Batik tulis Jetis diperkirakan mulai ada sekitar tahun 1675, usianya sudah 347 tahun, lebih tua dari usia masjid Jami Al Abror. Di kampung ini masih banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno yang usianya diperkirakan lebih dari 1 abad.
Selain di sepanjang Jalan Gajah Mada, bangunan kuno juga banyak dijumpai di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, Jalan Hang Tuah dan Jalan Raden Patah. “Diperkirakan ada ratusan bangunan kuno yang tersebar di kawasan kota tua ini,” beber Wildan.
Baca Juga: Kapolresta Sidoarjo Diajak Podcast Santri saat Silaturahmi Ke Ponpes Junwangi
MASJID TERTUA: Masjid Jami Al Abror yang dibangun pada tahun 1678. Masjid ini berlokasi di kawasan Jalan Gajah Mada, Sidoarjo. Foto: Ist
Sebagai informasi, sebelum bernama Sidoarjo, daerah yang dikenal penghasil udang dan bandeng ini dulunya bernama Sidokare. Sidokare saat itu masih menjadi bagian dari Surabaya.
Tahun 1859 Pemerintah Hindia Belanda dengan keputusannya Nomor 9 Tahun 1859, tanggal 31 Januari 1859 Staatblad Nomor 6 tertulis Kadipaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian daerah yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.
Baca Juga: Pemerataan Pelayanan Kesehatan, Bupati Sidoarjo Resmikan Puskesmas Urangagung 2
Karena nama Sidokare dianggap memiliki konotasi yang kurang baik, akhirnya oleh Bupati Pertama Sidoarjo R.T.P Tjokronegoro diusulkan perubahan nama baru, dari Sidhokarie (Sidokare) menjadi Sidho-Ardjo (Sidoarjo).
Penetapan perubahan itu tertuang dalam surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 28 Mei 1859 No. 10 Staadblad Tahun 1859 Nomor 32.
“Dokumen staadblad itu sampai sekarang masih tersimpan rapi di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sidoarjo,” pungkas M Wildan. (sta/mar)
Baca Juga: 3.599 KK Sekitar TPA Jabon Terima Bantuan dari Pemkab Sidoarjo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News