Kapan Indonesia Maju, Zaman Digital, Pelanggan Listrik Masih Berkasta-Kasta

Kapan Indonesia Maju, Zaman Digital, Pelanggan Listrik Masih Berkasta-Kasta Dahlan Iskan

Jangankan mengubah semua itu. Menggalakkan saja hebohnya bukan main. Padahal modernisasi penyaluran energi ke semua dapur rumah di Indonesia seharusnya sudah tidak bisa ditunda.

Pilihannya hanya dua: membangun pipa gas ke semua rumah atau mengganti kompor gas ke . Dari dua hal itu kita masih sangat jauh dikatakan maju.

Memilih di antara dua itu juga tidak sulit. Mengingat harga gas fluktuatif, pilihan hanya satu: menggalakkan . Lihatlah betapa kian besar subsidi negara untuk elpiji. Maka migrasi ke jadi pilihan satu-satunya.

Dulu mengganti minyak tanah ke elpiji dimaksudkan untuk mengurangi subsidi. Kini subsidi elpiji seperti kena kutukan arwah minyak tanah.

Pemerintah sebenarnya sudah bulat: tahun depan jumlah pemakai sudah harus 5 juta rumah. Tahun depannya lagi naik tiga kali lipat.

PLN juga sudah menyiapkan teknis pelaksanaannya. Orang miskin diberi gratis . Dua tungku. Ditambah bantuan dua alat utama masak: wajan teflon yang mengandung besi dan panci khusus .

Untuk berganti ke peralatan masak yang sekarang memang tidak bisa dipakai. Terutama yang terbuat dari aluminium. Alat dapur yang cocok untuk adalah yang mengandung besi. Panci-panci aluminium tidak cocok: panasnya lama sekali. Teflon yang ada di dapur Anda umumnya juga tidak cocok. Kecuali yang mengandung besi. Kira-kira hanya 20 persen teflon yang ada di pasaran selama ini yang mengandung besi.

Siapa yang jadi sasaran penggantian kompor ini? Orang kaya? Orang miskin?

Inilah sulitnya.

Pemerintah memilih mendahulukan orang miskin. Yakni yang berlangganan listrik 450 VA. Mereka inilah penyerap subsidi terbesar. Di dua bidang sekaligus: subsidi listrik dan subsidi elpiji.

Tapi penerima subsidi itu mungkin tidak merasa kalau sedang menerima subsidi setiap hari. Bisa saja mereka menganggap harga elpiji 3 kg itu ya memang segitu.

Maka ketika akan pindah ke pertanyaannya satu: apakah lebih murah dari elpiji. Bagaimana menjelaskannya?

Kalau dibanding harga elpiji non subsidi jauh lebih murah. Tapi bukan itu intinya: bagaimana dengan biaya elpiji saat ini, sekarang ini, yang disubsidi besar-besaran itu. Tentu masih sedikit lebih mahal.

Maka cenderung menolak program komporisasi listrik ini. Dianggap terlalu rumit.

Sebenarnya masih lebih rumit dari itu.

Misalnya, bagaimana listrik 450 VA bisa dibuat menyalakan . Pasti tidak bisa. Berarti daya listrik di rumah itu harus dinaikkan: menjadi 2200 VA. Seperti di rumahnya orang mampu. Maka kalau semua rumah 450 VA berubah ke otomatis pelanggan 450 VA hilang.

Tidak begitu.

Kalau pikirannya seperti itu tidak akan ada orang miskin yang mau ganti pakai . Tarif dasar pelanggan 2200 jauh lebih tinggi dari 1200 atau pun 900 VA. Apalagi dibanding 450 VA.

Lantas bagaimana?

PLN sudah siap.

Meski daya listrik di rumah orang miskin itu menjadi 2200, tapi ia tetap dianggap pelanggan 450 VA. Tetap murah sekali. Dan tetap disubsidi pula.

Yang 2200 VA itu lebih untuk menghidupkan kompor. Di kompor itu sudah dipasangi software dan layar digital. Bisa dibaca di kompor itu: berapa penggunaan listriknya. Di tagihan bulanannya pun akan ada perincian: berapa rupiah untuk rumah dan berapa rupiah untuk kompor.

Begitu rumit. Begitu banyak pekerjaan. Tapi kalau keribetan itu bisa dilalui semuanya akan menjadi sangat sederhana. Modern. Memang tidak mudah memerawani sesuatu. Bidang apa pun. (Dahlan Iskan).

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO