Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
63. Qaaluu in haadzaani lasaahiraani yuriidaani an yukhrijaakum min ardhikum bisihrihimaa wayadzhabaa bithariiqatikumu almutslaa
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Mereka (para penyihir) berkata, “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar penyihir yang hendak mengusirmu dari negerimu dengan sihir mereka berdua dan hendak melenyapkan adat kebiasaanmu yang utama.
64. Fa-ajmi’uu kaydakum tsumma i'tuu shaffan waqad aflaha alyawma mani ista’laa
Kumpulkanlah segala tipu daya (sihir)-mu, kemudian datanglah dalam satu barisan! Sungguh, beruntung orang yang menang pada hari ini.”
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
TAFSIR AKTUAL:
Pengantar Filologis
Pada ayat 63 ini terdapat kalimat yang susunan katanya menyebabkan mufassirin berpolemik dari sisi i’rabnya. Yakni: “IN hadzani lasahiran”. Mereka membaca “IN” mukhaffafah, tanpa tasydid yang berarti Nafiyah bermakna “tidak”. Tetapi banyak juga yang membaca model tsaqilah, bertsydid, “INN”, artinya sungguh.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Urwah R.A., seorang keponakan bunda A’isyah meriwayatkan, bahwa ada tiga bacaan di dalam al-qur’an yang berpolemik sisi i’rabnya, yakni: pertama, pada ayat kaji ini, antara IN dan INN sementara kata “Hadzani” tetap marfu’. Kedua, “wa al-muqimin” (manshub) setelah kalimat “lakin al-rasyikhun fi al-ilm” dan seterusnya yang marfu’ (al-nisa’: 62) dan ketiga, kata “wa al-Shabi’un” yang marfu’ di tengah-tengah isim “inn” yang manshub.
Penyelesaian qira’ah nomor dua, “wa al-muqimin” menggunakan ‘amil berupa Fi’il yang dibuang sehingga arah kalam menjadi ikhtishah dan kata itu berpisisi sebagai “al-maf’ul bih”. Jadinya, wa akhussu “al-muqimin al-shalah”. Tafsirnya, pelaksana shalat menjadi lebih diperhatikan dalam konteks ini ketimbang yang lain.
Penyelesaian polemik nomor tiga, “wa al-shabi’un” cukup bervarian. Mudahnya, kata tersebut didekati dengan tehnik “fashl”, terpisah dari deretan isim INN yang manshub, lalu dijadikan al-mubtada’ (marfu’) yang khabarnya makhdzuf atau diambil lebih dini dari kalimat “fa La Khauf ‘alihim..”. Lengkapnya “wa al-shabi’un La khauf ‘alihim”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Sedangkan problem pertama sebagai mana tertera pada ayat kaji ini adalah, bahwa, qira’ah masyhurah riwayat Hafsh adalah “IN” (mukhaffafah), maka kata Hadzani tetap marfu’ dan itu wajar-wajar saja. Artinya, “tidaklah Musa dan Harun melainkan dua tukang sihir”, begitu tuduhan mereka.
Ada berperbedaan antara ta’bir pakai “in” nafiyah yang khabarnya pakai Lam “taukid, ibtida’” dan yang tidak. Jika disebutkan “in anta LAshadiq”, maka maknanya, anda orang jujur beneran. Jika dikata: “in anta shadiq” (tanpa LA..), maka anda bukan orang jujur. “in hadzani lasahiran”, berarti keduanya adalah tukang sihir. Itu tuduhan Fir’aun and kroni terhadap nabi Musa A.S. dan nabi Harun A.S.
Soal bacaan “inn” (musyaddadah, tsaqilah) sementara kata “hadzani” tetap marfu’ (inn Hadzani lasahirani), hal itu karena kata :”INN” bermakna “na’am”, artinya “Ya, benar demikian”sebagai tesis pembenaran. Lughah demikian sering dipakai dalam tradisi bahasa arab kuno, meski jarang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Sayyiduna Alie ibn Abi Thalib K.Wjh. meriwayatkan: “Saking seringnya, saya tidak bisa menghitung berapa kali saya mendengar Rasulullah SAW berpidato di atas minbar dengan mengatakan: “INN al-HamDU Lillah, nahmaduh wa nasta’inuh…”. Kata al-Hamd dibaca dlammah, marfu’.
Hal itu karena beliau masih berpegang pada tradisi bahasa arab lama yang masih eksis meski kurang populer, bahwa : INN bermakna “NA’AM” (“YA”, mengiYAkan tesis sebelumnya, baik tersurat maupun yang tersirat, bukan sebagai ‘amil atau huruf taukid, tanshib al-ism wa tarfa’ al-khabar). Kemudian beliau menandaskan, :” .. ana afshah quraisy kulliha..”. Aku orang Quraisy yang paling fashih. (al-Jami’ Li ahkam al-qur’an, Li al-imam al-Qurthubi :11/p.218).
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengajar di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News