BANGKOK, BANGSAONLINE.com - Ternyata para tokoh Thailand memandang rendah pondok pesantren. Bahkan santri dianggap hanya belajar agama saja sehingga tidak cakap bekerja, apalagi jadi pemimpin. Kenapa sampai under estimate seperti itu? Simak laporan bersambung M Mas’ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE, dari Bangkok, yang mengikuti kunjungan Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA.
Salah satu agenda penting Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA selama di Thailand adalah berkunjung ke Mahidol University Bangkok. Universitas terkemuka dan tertua – berdiri 1888.
Baca Juga: Di Hadapan Mendagri, Anggota DPR RI Ungkap Tumpukan Uang dan Pelanggaran ASN dalam Pilbup Mojokerto
Kiai Asep dan rombongan ditemui Prof Nopraenue Sajjarax Dhirathiti, Vice President Mahidol University. Dalam pertemuan itu Kiai Asep didampingi Dr Mauhibur Rokhman (Gus Muhib), Rektor Universitas KH Abdul Chalim, Dr Fadly Usman, Wakil Rektor Universias KH Abdul Chalim, Prof Dr Asep Bayu D Nandiyanto, dosen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Dr Zamal Nasution, Presiden Alumni Universitas Mahidol, dan M Mas’ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com.
“Semula Prof Nopraenue sempat ragu terhadap Pak Kiai Asep dan memandang rendah terhadap pesantren,” kata Zamal Nasution.
Kenapa? Karena dalam pandangan Prof Nopraenue bahwa Islam itu identik dengan Islam yang berkembang di Thailand selatan. Belum maju dan modern. Terutama dari segi pendidikan. Bahkan dalam perspekttif Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sangat rendah.
Baca Juga: Jualannya Diborong Kiai Asep, Pedagang Pasar Pugeran: Kami Setia Coblos Paslon Mubarok
“Di Thailand selatan kan baru saja ada perguruan tinggi,” tutur Zamal Nasution yang S2 dan S3-nya ditempuh di Mahidol University.
Menurut dia, umumnya umat Islam di Thailand selatan hanya mengenyam pendidikan agama di madrasah. Minus ilmu pengetahuan umum. Kalau ada pesantren umumnya kecil-kecil. Bahkan muncul stigma bahwa lulusan pesantren di Thailand jadi pengangguran.
“Di sini (Thailand) alumni pesantren tak bisa kerja. Banyak jadi pengangguran,” kata Qulyubi, warga Thailand yang menjadi tour guide.
Baca Juga: Jelang Debat Kedua Pilgub Jatim 2024, Khofifah Didoakan Kiai Asep
Dr Zamal Nasuiton membenarkan. “Selama ini mereka beranggapan bahwa Islam itu seperti Islam di Thailand selatan,” kata Presiden Alumni Mahidol Univesity Bankok Thailand itu.
Karena itu para tokoh Thailand – termasuk para guru besar dan akademisi – selalu under estimate atau memandang rendah terhadap Islam.
Baca Juga: Emil Dardak Puji Gus Barra Berilmu Tinggi, Punya Jejaring Luas, Rubaie: Dekengani Pusat
Persepsi negatif itu masih ditambah dengan aksi-aksi radikalisme dan terorisme kelompok Islam aliran keras. Menurut Zamal, mereka – termasuk Prof Nopraenue Sajjarax- juga terpengaruh oleh buku Clash of Civilization karangan Samuel Huntington, seorang ilmuwan politik Universitas Harvard Amerika Serikat. Buku itu menceritakan tentang teori bahwa identitas agama dan budaya seseorang akan menjadi sumber konflik utama dunia pasca perang dingin.
Pandangan sempit itu kemudian dikaitkan dengan munculnya teroris di di beberapa negara. Maka lengkapkah stigma negatif dalam atmosfir pikiran mereka.
Catatan BANGSAONLINE, memang beda antara alumni Pesantren di Thailand dan Indonesia. Maklum, di Thailand pesantren relatif baru. Sedang di Indonesia keberadaan pesantren justru lebih dulu dari pada Indonesia merdeka. Bahkan pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Baca Juga: Gus Barra dan Kiai Asep Borong Dagangan, Pedagang Pasar Kutorejo Bersyukur dan Mantap Pilih Mubarok
Karena itu lulusannya juga berbeda. Jika lulusan pesantren di Thailand mungkin banyak yang menganggur karena sulitan cari kerja. Maka lulusan pesantren di Indonesia justru banyak yang jadi pemimpin negara dan nasional.
“Bahkan alumni pesantren di Indonesia ada yang jadi presiden, yaitu Gus Dur atau Kiai Abdurrahman Wahhid , dan wakil presiden, yaitu Kiai Ma’ruf Amin yang menjabat wakil presiden sekarang. Apalagi yang jadi menteri , gubernur, bupati, wali kota. Sudah tak terhitung jumlahnya,” kata M Mas’ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.
"Belum lagi yang memilih profesi lain, konglomerat, jurnalis, entrepreneur, dosen, ulama, intelektual dan lainnya," tambahnya.
Baca Juga: 3.000 Relawan Barra-Rizal Ikuti Bimtek Saksi, 20 Rombong Bakso, Tahu Thek dan Soto Gratis Ludes
Bahkan pesantren di Indonesia kini menjadi lembaga pendidikan favorit bagi para orang tua. Karena selain mengajarkan berbagai macam ilmu dan sain untuk mengisi otak juga mengajarkan spiritualitas untuk mengisi hati. Sehingga membangun manusia imbang dan berkarakter secara lahir batin.
Karena itu, menurut Dr Zamal Naution, Prof Nopraenue Sajjarax heran ketika bertemu dengan Prof Kiai Asep yang punya pondok pesantren modern dan moderat dengan puluhan ribu santri. Apalagi santri Pondok Pesantren Amanatul Ummah merupakan representasi anak-anak masyarakat kelas menengah. Otomatis secara ekonomi juga sejahtera. Artinya, tidak seperti fenomena Islam di Thailand selatan.
Baca Juga: Antusias Masyarakat Sambut Gus Barra Borong Dagangan di Pasar Trawas
“Prof Nopraenue ingin mendalami dan ingin tahu lebih jauh,” kata Zamal Nasution. Rencananya tanggal 20 September Prof Nopraenue Sajjarax akan berkunjung ke Pondok Pesantren Amanatul Ummah. Yaitu pesantren yang didirikan dan diasuh Kiai Asep Saifuddin Chalim.
Tampaknya kunjungan Kiai Asep ke Mahidol University akan mengubah persepsi dan maindset mereka terhadap Islam. Apalagi Islam yang berkembang di pesantren Indonesia adalah Islam moderat dan rahmatan lil'alamin sesuai ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). (m.mas'ud adnan/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News