
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir munpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Abiya: 34-35. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca ini:
BACA JUGA:
Pada kajian tashawwuf memang terdapat macam-macam syukur. Ada Syukur dengan hati, hatinya senang sekali ketika mendapat nikmat, “al-syukr bi al-qalb”.
Ada yang bersyukur dengan lisan. Kala mendapat nikmat, lisannya berucap syukur, berterima kasih, al-hamd lillah dan sebagainya, “al-syukr bi al-lisan”.
Ternyata kedua jenis syukur ini tidak dihitung sebagai syukur yang sebenarnya. Yang diapresiasi Tuhan adalah bersyukur dengan cara mewujudkan dalam bentuk amal kebajikan.
“I’malu ala Dawud syukra wa qalil min ibadiy al-syakur.”. Wahai keluarga Dawud, bersyukurlah dengan cara beramal kebajikan. Tapi sedikit sekali hamba-KU yang pandai bersyukur. (Saba’:13).
Menyukuri kesehatan yaitu dengan cara menggunakan kesehatannya untuk ibadah, beramal kejajikan. Banyak orang yang berusaha agar badannya sehat dengan berbagai cara, berolah raga, senam, minum vitamin dan lain-lain. Tapi, sedikit sekali yang berpikir, :” jika sudah sehat, lalu untuk apa..? Inilah pertanyaan agama dan penting.
Jika sehat untuk maksiat, justeru Tuhan semakin membenci. Jika badan sudah sehat dan ibadah tetap malas, maka Tuhan tidak menyukai. Yang disukai adalah sehat untuk beribadah kepada-Nya. Sama dengan bersyukur terhadap rejeki atau harta yang kita miliki. Hanya yang disedekahkan, hanya yang dipakai amal kebajikan saja yang diapresiasi Tuhan.
Menyukuri ilmu dengan cara mengamalkan dan mengajarkan ke umat. Mensyukuri jabatan dengan menggunakannya untuk kemaslahatan umat, membuat kebijakan yang bermanfaat buat agama dan masyarakat. Bukan memanfaatkannya untuk kepentingan duniawi. Dan..bukan pula dengan mengadakan pesta kemenangan, walau dikemas dalam acara syukuran. Kelak, semua harus dipertanggungjawabkan di hdapan-Nya.