JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Tampaknya kritik dari berbagai kalangan – termasuk dari para sivitas akademika – yang terus menggelombang sama sekali tak menyentuh kesadaran Presiden Joko Wiodo (Jokowi). Jokowi bahkan terkesan tak mempertingkan faktor etika dan kepantasan dalam berpolitik. Ini terlihat sekali sejak anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dijadikan cawapres lewat proses Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabaikan etika dan kepantasan.
Kini Presiden Jokowi malah ngotot mau kampanye. Tentu untuk kepentingan elektoral anaknya, Gibran yang berpasangan dengan Prabowo Subianto. Ngotot? Setidaknya ini bisa kita lihat dalam proses sidang di MK yang belakangan sedang ramai diperbincang publik.
Baca Juga: Rocky Gerung Ajak Pemuda di Surabaya Kritis Memilih Pemimpin
Dalam sidang MK, Kuasa Presiden Jokowi, Togap Simangunsong, meminta MK tetap memperbolehkan presiden berkampanye dalam Pemilu 2024, , Selasa (6/2/2024).
Togap Simangunsong menyinggung Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam argumennya, dalam sidang lanjutan gugatan UU Pemilu terkait pasal presiden dan wakil presiden boleh berkampanye di gedung MK
Agenda sidangnya mendengarkan keterangan DPR, Presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk Perkara Nomor 166/PUU-XXI/2023.
Baca Juga: Elemen Masyarakat Jatim Dukung Putusan MK soal Netralitas ASN dan Polisi dalam Pilkada 2024
Togap Simangunsong adalah Plh. Dirjen Politik dan PUM Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Togap selaku kuasa presiden menyampaikan keterangan Presiden Jokowi terhadap pelbagai dalil yang dimohonkan pada Perkara Nomor 166 tersebut.
"Keikutsertaan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dalam pemilu hendaknya diletakkan dalam pemahaman sebagai sikap mereka untuk memilih salah satu peserta pemilu, baik ketika menggunakan hak suaranya maupun sikap untuk mendukung salah satu peserta pemilu dengan mengajak orang lain untuk ikut memilih pasangan calon tertentu atau ikut berkampanye dengan salah satu pasangan calon," kata Togap dalam persidangan dikutip CNN.
"Sebagai warga negara menggunakan hak suaranya maka hal tersebut sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum," kata Togap lagi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Yang menarik, Togap menyinggung praktik presiden yang melakukan kampanye untuk mendukung salah satu calon di negara lain. Ia mencontohkan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang mengampanyekan capres Hillary Clinton saat masih berkuasa dan Presiden Perancis Francois Hollande yang berkampanye untuk capres Emmanuel Macron dalam posisi yang sama pula.
"Aktivitas kampanye merupakan wujud dari pelaksanaan hak pilih secara universal sesuai dengan deklarasi universal Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil sebagian dalam pemerintah negaranya secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas," kata Togap.
Tapi Togap lupa. Bahwa Hillary Clinton bukan keluarga Obama. Bukan istri, apalagi anak.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Begitu juga Macron. Bukan anak Hollande atau saudara Hollanda.
Dan yang penting lagi, baik di Prancis maupun di Amerika Serikat, tak ada calon presiden dan calon wakil presiden yang berani melanggar konstitusi atau mengakali dan mengangkangi konstitusi.
Semua capres dan cawapres melalui proses normal dan wajar sesuai konstitusi dan etika yang berlaku.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Sehingga tak ada kekhawatiran nepotisme, politik dinasti dan pelanggaran konstitusi. Karena itu di Amerika Serikat demokrasi tetap sehat.
Belum lagi soal aparat. Di negara-negara maju yang demokrasinya unggul dan sehat, aparat tak dijadikan alat politik. Apalagi alat intimidasi. Bahkan rakyat terjaga dan dapat pengayoman secara prima.
Alhasil, rakyat dan warga sipil di negara-negara maju dan unggul secara demokrasi merasa nyaman dan aman dari berbagai ancaman dan intimidasi. Karena demokrasi yang dibangun adalah demokrasi substansial, bukan demokrasi artifisial atau demokrasi seolah-olah – meminjam istilah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Dan ini semua bermula dari sang presiden yang memang punya etika mulia, paham demokrasi dan konstitusi. Jadi semua bermuara pada etika dan bahkan akhlak sang presiden. Wallahu’alam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News