YOGYAKARTA, BANGSAONLINE.com – UGM telah menjadi kampus pelopor gerakan moral untuk mengingatkan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menterinya yang dianggap telah menyimpang dan merusak demokrasi dan konsitusi.
Sivitas Akademika UGM mengeluarkan Petisi Bulaksumur yang dibacakan Prof Dr Koentjoro di Balairung UGM Yogyakarta, Rabu (31/1/2024).
Baca Juga: Alasan PDIP Pecat Jokowi dan Kelucuan Pidato Gibran Para-Para Kiai
Petisi Bulaksumur itu kemudian menginspirasi kampus-kampus negeri dan swasta, baik besar maupun kecil di seluruh Indonesia.
Mereka secara serempak mengeluarkan seruan moral untuk mengingatkan Presiden Jokowi yang dianggap telah melanggar etika, menyalahgunakan bansos untuk kepentingan capres yang didukung, terutama saat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, jadi calon wakil presiden lewat Mahkamah Konsitusi yang kontroversial karena ternyata terjadi pelanggaran etik berat.
Yang paling serius, Presiden Jokowi dianggap merusak demokrasi dan konstitusi sehingga muncul seruan agar dilengserkan.
Baca Juga: Sidang Restitusi, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Tuntut Rp17,5 M dan Tagih Janji Presiden
Sempat muncul wacana tandingan dari pihak Istana lewat Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana serta orang dekat Presiden Jokowi lainnya yang menganggap gerakan moral para guru besar kampus itu sebagai partisan.
Pernyataan ini bukan meredam gerakan para sivitas akademika, tapi malah membuat para guru besar dan civitas akademika merasa terhina. Lebih-lebih ketika muncul juga intervensi yang datang ke kampus untuk mengeluarkan pernyataan memuji Jokowi sebagai negarawan, presiden yang kinerjanya baik dan sebagainya.
Sehingga gelombang gerakan moral para civitas akademika itu semakin besar dan menjadi bola liar.
Baca Juga: Rocky Gerung Ajak Pemuda di Surabaya Kritis Memilih Pemimpin
Yang menarik, para sivitas akademika UGM itu tidak hanya membacakan petisi, tapi juga membacakan puisi karya penyair Wiji Thukul.
Dikutip Wikipedia, Wiji Thukul adalah penyair Indonesia yang pada tanggal 10 Februari 1998 tiba-tiba hilang. Ia hilang saat pemerintahan otoriter Orde Baru. Yaitu Presiden Soeharto.
Hingga sekarang keberadan Wiji Thukul tidak diketahui. Muncul dugaan bahwa Wiji Thukul diculik bersama beberapa aktivis lainnya. Tercatat 13 aktivis sampai sekarang belum diketahui keberadaannya.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Hingga sekarang para orang tua dan keluarga 13 korban penculikan itu mempertanyakan di mana mereka berada, termasuk kuburannya, jika mereka sudah meninggal. Setiap hari Kamis mereka berkumpul untuk mempertanyakan para korban. Tapi pemerintah tak pernah bisa menyelesaikan.
Nah, salah satu puisi karya Wiji Thukul dibacakan saat Sivitas Akademika UGM mendeklarasikan Petisi Bulaksumur. Puisi karya Wiji Thukul itu dibacakan oleh Dosen Sastra Indonesia UGM Heru Marwata.
(Heru Marwata. Foto: kumparannews)
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
"Balairung adalah ikon UGM, dan UGM adalah ikon Jogja, ikon Indonesia, ikon dunia. Karena itu kita bersama-sama menggelorakan semangat. Ini adalah puisi Peringatan karya Wiji Thukul," ujar Heru.
Di bawah ini BANGSAONLINE.com menurunkan lengkap puisi karya Wijil Thukul yang juga seorang aktivis itu.
Jika rakyat pergi
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Baca Juga: Di Penghujung Jabatan Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Gebuki Mafia Tanah
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: Lawan!
Heru Marwata sangat bersemangat dan memberi penegasan secara khusus saat membacakan puisi itu.
"Saya ulangi dan mohon disahut. Maka hanya ada satu kata: Lawan!" kata Heru.
Para guru besar dan sivitas akademikan yang hadir kompak merespons: Lawan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News