Oleh: Khariri Makmun
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, dengan pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya bangsa. Sebagai sebuah organisasi yang telah berdiri dari satu abad, NU tidak hanya berfungsi sebagai wadah penggerak dakwah Islam yang moderat, tetapi juga sebagai benteng moral yang menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca Juga: Kang Irwan Dukung Mbah Kholil, Kiai Bisri dan Gus Dur Ditetapkan jadi Pahlawan Nasional
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada kekhawatiran yang berkembang terkait dengan kemampuan NU untuk tetap menghadirkan kesejukan, baik di dalam tubuh organisasi maupun dalam interaksinya dengan masyarakat luas.
Di masa lalu, NU dikenal karena kesantunan dan kebijaksanaan para pemimpinnya dalam menyikapi berbagai perbedaan pendapat, baik dalam urusan internal maupun eksternal. Para ulama NU selalu menekankan pentingnya adab dalam berbicara dan berinteraksi, sebuah tradisi yang menjadi ciri khas NU sebagai organisasi yang menjunjung tinggi akhlak dan nilai-nilai keislaman. Kesantunan ini bukan hanya sebatas pada cara mereka menyampaikan pendapat, tetapi juga dalam cara mereka berinteraksi dengan pihak-pihak yang berbeda pandangan, baik di dalam organisasi maupun di luar.
Kesantunan dalam berkomunikasi menjadi kunci utama yang menjaga marwah NU selama ini. Misalnya, KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dikenal sebagai sosok yang sangat bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat. Beliau tidak pernah terburu-buru dalam mengambil keputusan atau memberikan pernyataan yang bisa menimbulkan kegaduhan. Sebaliknya, beliau selalu menekankan pentingnya musyawarah dan mencari titik temu yang bisa diterima oleh semua pihak.
Baca Juga: Khofifah Undang Menkop Jadi Narasumber Kongres VIII Muslimat NU di Surabaya
Contoh lain adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang tokoh NU yang sangat dikenal luas tidak hanya di kalangan warga NU tetapi juga di seluruh Indonesia. Gus Dur sering kali menghadapi situasi yang penuh dengan perbedaan pendapat dan ketegangan, baik di ranah politik maupun sosial. Namun, Gus Dur selalu mampu menjaga kesantunan dalam setiap perkataannya, bahkan ketika beliau berada di bawah tekanan. Hal ini tidak hanya membuat beliau dihormati oleh kawan, tetapi juga oleh lawan politiknya.
Di tengah perkembangan zaman yang semakin kompleks, tantangan yang dihadapi oleh NU juga semakin beragam. Di satu sisi, NU harus tetap teguh dalam memegang prinsip-prinsip keislaman yang moderat, di sisi lain, NU juga harus berhadapan dengan dinamika politik dan sosial yang kadang-kadang bisa menjadi sangat panas. Dalam situasi seperti ini, kemampuan NU untuk menghadirkan kesejukan sangatlah penting.
Namun, belakangan ini kita sering menyaksikan pernyataan-pernyataan yang justru menimbulkan kegaduhan dan konflik, baik di internal NU maupun dengan pihak luar. Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan dapat merusak citra NU di mata publik. Sikap dan cara berkomunikasi yang tidak
Baca Juga: Berperan Besar Bangun Bangsa, Khofifah Dinobatkan Sebagai Tokoh Inspiratif oleh Fatayat NU Jatim
santun tidak hanya berpotensi merusak hubungan di antara anggota NU, tetapi juga bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap NU sebagai penjaga moral bangsa.
Menghadapi perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam organisasi sebesar NU. Namun, cara kita menyikapi perbedaan tersebut akan menentukan apakah kita bisa menjaga persatuan atau justru menciptakan perpecahan. Di sinilah pentingnya kembali mengedepankan kesantunan dan kebijaksanaan dalam berkomunikasi. Para ulama NU di masa lalu selalu mampu menjaga keseimbangan antara prinsip dan keterbukaan terhadap perbedaan pendapat. Sikap ini harus menjadi teladan bagi generasi penerus NU dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan.
Khittah NU: Kembali pada Jalur Dakwah dan Pemberdayaan Umat
Baca Juga: Bakal Gelar Kongres Ke-18, Khofifah Bersama PP Muslimat NU Silaturahmi dengan Menag RI Nasaruddin
Khittah NU adalah panduan dasar yang seharusnya menjadi pegangan bagi seluruh warga NU dalam menjalankan aktivitas organisasi. Khittah ini menegaskan bahwa NU adalah organisasi keagamaan yang fokus pada dakwah dan pemberdayaan umat, bukan pada politik praktis. Meskipun NU memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan politik Indonesia, namun NU seharusnya tetap menjaga jarak dari permainan politik praktis yang bisa merusak marwahnya sebagai penjaga moral bangsa.
Intervensi politik yang berlebihan bisa membuat NU kehilangan arah dan mengabaikan tugas utamanya dalam memelihara ajaran Islam yang moderat dan inklusif. Lebih dari itu, keterlibatan yang terlalu dalam dalam politik praktis juga bisa menciptakan konflik internal yang berkepanjangan, seperti yang sering terjadi di berbagai organisasi besar lainnya. Untuk itu, NU harus kembali pada khittah-nya sebagai organisasi keagamaan yang fokus pada dakwah dan pemberdayaan umat. Ini bukan berarti NU harus menutup mata terhadap dinamika politik yang terjadi, tetapi NU harus mampu menjaga keseimbangan antara prinsip keagamaan dan keterlibatan sosial-politik.
Teladan dari Para Ulama: Sikap Toleransi dalam Menyikapi Perbedaan
Baca Juga: Bedah Buku KH Hasyim Asyari: Pemersatu Umat Islam Indonesia, Khofifah: Dahysat Secara Substansi
Salah satu teladan yang bisa kita ambil dari para ulama NU adalah sikap toleransi mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat. Sikap ini bukan hanya penting untuk menjaga persatuan di dalam NU, tetapi juga untuk membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat luas. Para ulama NU di masa lalu selalu menekankan pentingnya musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Mereka selalu berusaha untuk mencari solusi yang bisa diterima oleh semua pihak, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar keislaman.
KH. Wahab Hasbullah adalah inisiator dan penggerak NU baik dalam urusan keagamaan maupun politik kenegaraan. beliau adalah salah satu teladan yang baik dalam berkomunikasi yang konstruktif, sesulit apa perbedaan yang terjadi, Beliau maupun mengkonstruksi kalimat-kalimat yang menyejukkan dan akhirnya disepakati bersama. Beliau selalu membuka ruang dialog dengan berbagai kalangan, termasuk dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Sikap ini tidak hanya memperkaya wawasan beliau, tetapi juga memperkuat persatuan di kalangan umat Islam.
Selain KH. Wabah Hasbullah, kita memiliki banyak contoh ulama yang selalu mampu menjaga kesantunan dalam berkomunikasi dan bersikap toleran terhadap perbedaan. KH Ali Maksum, misalnya, adalah seorang ulama yang sangat dihormati karena kebijaksanaannya dalam menghadapi perbedaan pendapat. Beliau selalu menekankan pentingnya menjaga persatuan di tengah perbedaan, dan tidak pernah ragu untuk berdialog dengan siapa pun yang berbeda pandangan. Sikap ini membuat beliau dihormati tidak hanya oleh warga NU, tetapi juga oleh masyarakat luas.
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
Di era digital seperti sekarang, tantangan bagi NU dalam menjaga kesejukan dan kesantunan dalam berkomunikasi semakin besar. Media sosial telah menjadi alat yang sangat efektif dalam menyebarkan informasi, namun juga bisa menjadi sumber kegaduhan jika tidak digunakan dengan bijak. Banyak sekali pernyataan atau komentar yang dibuat secara tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang matang, yang akhirnya menimbulkan konflik dan perpecahan.
NU, sebagai organisasi besar yang memiliki pengaruh signifikan, harus mampu menghadirkan kesejukan di era digital ini. Sikap dan cara berkomunikasi yang santun harus menjadi pegangan bagi seluruh warga NU, terutama dalam menggunakan media sosial. Ini bukan hanya soal menjaga citra organisasi, tetapi juga soal menjaga persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi.
Para ulama NU di masa lalu telah memberikan teladan yang sangat berharga dalam menjaga kesantunan dan kebijaksanaan dalam berkomunikasi. Mereka selalu mengutamakan dialog dan musyawarah dalam menyikapi perbedaan pendapat, sebuah tradisi yang harus kita lanjutkan di era digital ini. Sikap yang santun dalam berkomunikasi adalah kunci utama untuk menjaga marwah NU sebagai organisasi yang dihormati dan disegani.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Tantangan dan Harapan
Memasuki abad kedua, NU dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Di satu sisi, NU harus tetap teguh dalam memegang prinsip-prinsip keislaman yang moderat, di sisi lain, NU juga harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang semakin cepat dan kompleks. Di tengah situasi ini, kemampuan NU untuk menghadirkan kesejukan dan menjaga kesantunan dalam berkomunikasi menjadi sangat penting.
Teladan dari para ulama NU di masa lalu memberikan kita pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi perbedaan pendapat dengan bijaksana dan santun. Sikap ini harus menjadi pegangan bagi kita semua dalam menghadapi tantangan di masa depan. Kembali pada khittah NU sebagai organisasi keagamaan yang fokus pada dakwah dan pemberdayaan umat adalah langkah yang tepat untuk menjaga marwah NU dan memastikan bahwa NU tetap relevan dan dihormati di tengah perubahan zaman.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Semoga dengan upaya yang terus kita lakukan, NU akan mampu menghadirkan kesejukan dalam dirinya, baik di dalam tubuh organisasi maupun dalam interaksinya dengan masyarakat luas. Ini adalah tugas kita sebagai generasi penerus NU, untuk menjaga warisan yang telah diberikan oleh para pendiri NU, dan memastikan bahwa NU tetap menjadi organisasi yang memberikan manfaat bagi umat dan bangsa.
Penulis adalah peneliti pada Moderation Corner-Jakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News