
Oleh: Khariri Makmun*
Dalam sejarah peradaban Islam, pemimpin bukan hanya pengelola urusan administratif, melainkan representasi moral, spiritual, dan intelektual umat. Pemimpin ideal bukan sekadar memiliki jabatan, tetapi membawa umat menuju keselamatan dunia dan akhirat. Dalam konteks ini, perbandingan antara Ayatullah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, dan pemimpin-pemimpin yang muncul dari rahim organisasi Islam Sunni seperti Nahdlatul Ulama (NU), sangat relevan untuk ditelaah. Keduanya berada dalam spektrum Islam yang berbeda, namun sama-sama memiliki tanggung jawab besar terhadap umat.
Ayatullah Ali Khamenei bukan sekadar seorang pemimpin politik. Ia adalah marja' taqlid, rujukan keilmuan tertinggi dalam tradisi Syiah. Latar belakang keilmuannya tidak diragukan. Ia adalah murid dari Ayatullah Khomeini dan tokoh besar lainnya. Sejak menjabat sebagai Rahbar (Pemimpin Tertinggi) pasca wafatnya Ayatullah Khomeini, ia menunjukkan sikap hidup bersahaja, independen, dan penuh komitmen terhadap kemandirian umat Islam.
Integritas moral Khamenei tercermin dari keteguhannya menghadapi tekanan internasional. Iran tidak tunduk pada hegemoni Amerika dan sekutunya, meskipun dibayar dengan mahal: sanksi ekonomi, isolasi politik, dan serangan media global. Ia menolak diplomasi yang menjual prinsip. Dalam berbagai pidatonya, ia menegaskan pentingnya izzah (kehormatan) Islam dan kemandirian umat sebagai harga mati.
Gaya hidupnya jauh dari kemewahan. Rumahnya sederhana, tidak memiliki istana, dan ia hidup bersama rakyat. Para ulama dan jurnalis yang pernah mengunjunginya mencatat bahwa ia tidak memperkaya diri dan keluarganya dari kekuasaan. Kepemimpinannya bukan berbasis kultus, tetapi berbasis keteladanan ilmu dan akhlak. Tidak ada laporan kekayaan luar biasa yang dimilikinya, dan ia tetap teguh memimpin negeri yang dihimpit blokade ekonomi bertahun-tahun.
Buah dari Kepemimpinan Ideologis
Iran, di bawah kepemimpinan Ayatullah Khamenei, menunjukkan bahwa kekuasaan bisa diarahkan untuk membangun kemandirian politik dan ekonomi umat. Iran tidak mengemis kepada IMF atau Bank Dunia.
Bahkan dalam kondisi embargo, mereka mampu membangun industri nuklir, pertahanan, dan ketahanan pangan mandiri. Laporan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) menyebutkan bahwa Iran telah berhasil mengembangkan teknologi nuklir tingkat lanjut meskipun terus ditekan.
Di sektor militer, Iran mampu memproduksi drone tempur Shahed-129 dan Shahed-136 yang menjadi perhatian dunia karena digunakan dalam konflik regional.
Sementara itu, sektor energi mereka tetap tangguh dengan eksplorasi minyak dan gas dalam negeri. Iran juga menunjukkan kemandirian pangan dengan memperkuat pertanian domestik melalui program swasembada yang berbasis teknologi lokal.
Semua pencapaian ini mustahil dicapai tanpa kepemimpinan yang memiliki komitmen ideologis kuat dan integritas moral tinggi. Khamenei tidak hanya memberikan arah, tetapi menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme gaya baru. Ia konsisten mengangkat isu Palestina, mengecam dominasi Barat, dan menguatkan blok perlawanan (resistance axis) di Timur Tengah. Iran menjadi pemimpin regional bukan karena kekuatan militer semata, tetapi karena kekuatan narasi dan keteladanan.
NU dan Krisis Kepemimpinan
Jika dibandingkan dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam Sunni terbesar di dunia, terdapat ironi yang menggelitik nurani. NU yang sejak 1926 dikenal sebagai penjaga tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah dan benteng moral bangsa, kini menghadapi tantangan serius dalam hal kepemimpinan. Proses pemilihan Rois 'Am dan Ketua Umum PBNU, yang dahulu dijalankan dengan penuh adab dan keikhlasan, belakangan ini kerap dibayang-bayangi oleh dinamika yang cenderung pragmatis.
Banyak laporan yang mencuat tentang kandidat-kandidat yang harus mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk memperoleh dukungan dari pengurus wilayah maupun cabang. Muktamar, yang semestinya menjadi ruang sakral untuk menyeleksi pemimpin terbaik berdasarkan ilmu dan akhlak, berubah menjadi ajang pertarungan kepentingan dan kekuatan logistik. Figur yang tampil ke permukaan bukan selalu karena kedalaman keilmuannya, melainkan karena kecakapan membangun jaringan dan kekuatan politik.
Perubahan ini berpotensi mengaburkan prinsip dasar NU bahwa jabatan adalah amanah yang mesti dijaga, bukan sarana meraih kekuasaan atau ambisi pribadi. Jika proses pemilihan tidak disucikan dari pengaruh-pengaruh luar dan praktik transaksional, maka bukan hanya marwah kepemimpinan NU yang tergerus, tetapi juga kepercayaan warga nahdliyin terhadap arah perjuangan jam’iyyah.
Situasi ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap keterbukaan intervensi pihak luar, baik dari unsur politik dalam negeri maupun kekuatan global. Maka perlu refleksi mendalam dari seluruh unsur NU untuk mengembalikan ruh kepemimpinan yang berangkat dari keikhlasan, keilmuan, dan keteladanan ulama.
Membangun Kepemimpinan Berbasis Integritas dan Keilmuan
Apa yang bisa dipelajari NU dari Iran? Pertama, bahwa kepemimpinan sejati dibangun dari keteladanan, bukan transaksionalisme. Ayatullah Khamenei tidak dipilih karena kekayaan atau jaringan politik, melainkan karena ketokohan keilmuan dan kesederhanaan hidup. Hal serupa pernah terjadi dalam sejarah NU. KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahid Hasyim menolak jabatan kecuali bila dianggap perlu oleh ulama lain.
NU harus kembali ke sistem Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) yang murni, tidak disusupi oleh kepentingan luar. Pemilihan Rois ‘Am harus dikembalikan ke tangan para masyayikh sepuh yang murni keikhlasannya. Sedangkan Ketua Umum Tanfidziyah harus dipilih berdasarkan rekam jejak, visi organisasi, dan komitmen terhadap khittah NU. Bukan karena logistik atau lobi kekuasaan.
Kedua, NU perlu membangun kemandirian ekonomi agar tidak tergantung proyek kekuasaan. Iran menunjukkan bahwa blokade ekonomi bisa dilawan dengan strategi ekonomi kerakyatan dan inovasi. NU memiliki jaringan pesantren, koperasi, dan umat yang kuat. Potensi ini harus diberdayakan untuk membiayai organisasi tanpa harus menjilat kekuasaan.
Ketiga, pendidikan politik warga NU harus diperkuat. Santri dan nahdliyin harus dibekali kesadaran kritis untuk menolak praktik politik uang. Mereka harus kembali menjadikan akhlak, ilmu, dan keistiqamahan sebagai standar dalam memilih pemimpin. Muktamar bukan pemilu legislatif. Ia adalah forum sakral memilih penanggung jawab umat.
Penutup
Kepemimpinan seperti Ayatullah Ali Khamenei menunjukkan bahwa Islam memiliki jalan alternatif dalam membangun peradaban. Islam tidak harus tunduk pada logika neoliberalisme global. Pemimpin tidak harus korup atau kompromistis. Dengan integritas, ilmu, dan spiritualitas, seorang pemimpin bisa membawa umat pada kemandirian, kehormatan, dan masa depan yang bermartabat.
Sudah saatnya NU bercermin pada figur seperti Ali Khamenei. Bukan untuk meniru ideologi Syiah, tetapi untuk meneladani prinsip integritas, keilmuan, dan pengabdian. Jika NU gagal memperbaiki proses kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan, maka bukan tidak mungkin NU akan kehilangan kepercayaan umat. Bahkan lebih parah lagi, NU hanya akan menjadi alat kekuasaan dan formalitas agama yang kehilangan ruh.
Kepemimpinan bukan soal jabatan, tetapi soal tanggung jawab. Dan NU, sebagai organisasi ulama, harus menjadi contoh utama bagaimana jabatan dipikul sebagai amanah, bukan alat dagang politik. Ali Khamenei adalah cermin keras bagi NU hari ini: bahwa tanpa integritas dan keberanian, organisasi sebesar apapun bisa kehilangan arah.
* Direktur Moderation Corner, Jakarta.