
Oleh : Khariri Makmun*
Suasana malam 23 Juli 2025 di Jakarta Convention Center berubah menjadi lautan warna hijau dan gemerlap cahaya, menandai puncak perayaan Hari Lahir ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ribuan kader PKB dari seluruh penjuru Indonesia tumpah ruah di lokasi acara, membentuk barisan semangat yang tak hanya merepresentasikan loyalitas politik, tetapi juga kebanggaan ideologis terhadap perjuangan partai yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama ini. Panggung megah, tata cahaya spektakuler, dan lantunan sholawat yang menggema bersahutan dengan yel-yel kebangkitan menjadi penanda bahwa PKB merayakan bukan sekadar usia, tetapi juga capaian dan cita-cita besar menuju masa depan bangsa.
Atmosfer malam itu bukan sekadar perayaan internal partai, melainkan panggung nasional yang menunjukkan posisi strategis PKB dalam lanskap politik Indonesia. Hadir langsung Presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, menunjukkan betapa kuatnya daya tarik politik PKB di era koalisi besar Kabinet Merah Putih. Tak hanya itu, tokoh-tokoh negara seperti Ketua MPR Ahmad Muzani, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamudin, hingga jajaran menteri kabinet, duduk berdampingan dengan para kiai, habaib, ulama pesantren, serta para tokoh masyarakat yang menjadi denyut awal kelahiran PKB.
Yang paling mencolok adalah hadirnya hampir seluruh pimpinan partai politik nasional, menjadikan harlah ke-27 ini sebagai semacam pertemuan puncak elite politik Indonesia. Presiden Prabowo hadir tak hanya sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Di barisan yang sama tampak Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Presiden PKS Almuzammil Yusuf, Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep, Plt. Ketua Umum PPP Mardiono, dan petinggi PDI Perjuangan Puan Maharani. Komposisi ini bukan hanya mencerminkan kekuatan jejaring politik PKB, tapi juga mempertegas posisinya sebagai partai yang mampu menjembatani ragam kekuatan nasional dengan akar tradisi Islam yang inklusif.
PKB bukan sekadar partai politik, tetapi gerakan kultural yang merawat nasionalisme dan spiritualitas. Satu demi satu tokoh naik ke atas panggung menyampaikan pidato yang menggugah, memuji konsistensi PKB dalam menjaga demokrasi, memperjuangkan keadilan sosial, dan tetap berakar kuat pada nilai-nilai Aswaja.
Peringatan hari lahir ini menjadi simbol bahwa PKB telah menjelma sebagai kekuatan politik besar yang tidak hanya diperhitungkan, tetapi juga dihormati. Sebuah harlah yang bukan hanya menjadi selebrasi usia, tetapi juga refleksi akan masa depan: bahwa politik bisa dijalankan dengan akhlak, bahwa kekuasaan bisa diraih dengan kesantunan, dan bahwa Indonesia akan terus membutuhkan PKB sebagai jembatan antara rakyat dan negara, antara tradisi dan modernitas.
Meneguhkan Kembali Arah Moral Perjuangan Politik PKB
Dalam sambutan pembuka yang penuh karisma dan makna filosofis mendalam, Ketua Dewan Syuro PKB, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, membuka Harlah ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa dengan gaya khasnya yang sejuk tapi menghentak. Di hadapan ribuan kader, tokoh nasional, dan para pemimpin partai politik, beliau menegaskan bahwa politik yang dijalankan PKB bukanlah politik pragmatis atau transaksional, melainkan "Harokah Islahiyah"—sebuah gerakan perbaikan moral, sosial, dan kebangsaan yang berangkat dari spirit keagamaan dan komitmen terhadap kemaslahatan umat.
Dengan lugas, KH. Ma’ruf menyatakan, “PKB bukanlah partai yang menjadikan kiai sebagai alat politik, tetapi inilah politik kiai, bukan kiai politik. Ada perbedaan mendasar. Politik kiai itu bersumber dari niat mulia untuk memperbaiki, membimbing, dan menjaga arah bangsa. Sedangkan kiai politik, justru berpotensi menggerus martabat ulama demi kepentingan kekuasaan.” Pernyataan ini langsung mendapat tepuk tangan panjang dari para hadirin, seolah menyentuh jantung etika politik Islam yang hari ini sering terabaikan.
Dalam suasana formal itu, KH. Ma’ruf tetap menyisipkan humor cerdas yang membuat ruangan tertawa namun sekaligus merenung. “Lambang PKB itu bumi,” ujarnya sambil tersenyum, “karena kita hidup di bumi, makan dari bumi, dan kelak akan ditanam kembali ke bumi. Jangan sok melayang ke langit, nanti lupa pulang.” Gelak tawa pun pecah, tapi semua paham—ini bukan sekadar gurauan. Ini sindiran halus bagi para elit politik yang kehilangan pijakan terhadap realitas rakyat dan nilai-nilai kebumian.
Tak berhenti di situ, Kyai Ma’ruf juga menyambungkan identitas PKB dalam percaturan politik nasional dengan gaya retoris yang jenaka namun tajam. “Kalau Gerindra itu Gerakan Indonesia Raya, PKB juga punya: Gerkinda—Gerakan Kyai Indonesia Raya,” katanya sambil melirik ke arah Presiden Prabowo, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra. Suasana pun mencair, penuh tawa dan tepuk tangan, sekaligus menunjukkan bahwa PKB hadir bukan sebagai lawan, tapi mitra kritis dalam merawat republik.
Namun bagian paling menggugah dari sambutan Kyai Ma’ruf adalah ketika beliau mengingatkan semua pihak—terutama para elit dan pemegang kekuasaan—agar kembali pada roh konstitusi, terutama "Pasal 33 UUD 1945". Dengan nada yang lebih dalam, beliau mengatakan, “Negara ini didirikan bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tapi untuk memastikan bahwa kekayaan alam, bumi, air, dan segala isinya dikelola untuk kemakmuran seluruh rakyat, bukan untuk segelintir orang atau oligarki.” Ia menegaskan, jika bangsa ini ingin tetap berdiri kokoh, maka prinsip ekonomi konstitusional yang adil, kolektif, dan berkeadilan sosial harus kembali ditegakkan.
Sambutan ini bukan sekadar pengantar seremonial, melainkan semacam khutbah kebangsaan yang meneguhkan kembali arah moral perjuangan politik PKB. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan hanyalah wasilah, bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah perbaikan, kemaslahatan, dan keadilan sosial. Kyai Ma’ruf menutup sambutannya dengan doa agar PKB tetap istiqamah sebagai partai yang merawat bangsa dengan hati, menjaga negeri dengan ilmu, dan memperjuangkan keadilan dengan nurani.
Tepuk tangan kembali menggema, bukan sekadar sebagai penghormatan, tapi sebagai tanda bahwa suara seorang kiai, bila jujur dan tajam, masih punya kekuatan untuk menggugah nurani politik bangsa.
Setelah sambutan Ketua Dewan Syuro, Gus Muhaimin tampil sebagai Ketua PKB sekaligus tuan rumah yang penuh antusia, semangat dan kebahagiaan. Aura kebanggaan dan optimisme jelas terpancar dari wajahnya. Ia menyambut para tamu dengan hangat, menyampaikan pidato yang mencerminkan betapa strategisnya momen ini bagi masa depan bangsa. Hajatan politik besar yang dirancang untuk memperkuat simpul-simpul kebangsaan — antar partai, antar elemen masyarakat, dan antar kekuatan sosial-politik nasional — berjalan dengan sangat sukses. Acara ini menjadi bukti bahwa PKB mampu menjadi poros penting dalam merawat keindonesiaan yang inklusif, kuat, dan progresif.
Dalam pidatonya, Gus Muhaimin secara tegas menyampaikan apresiasinya terhadap arah kebijakan Presiden Prabowo di awal masa pemerintahannya. Ia menyebut bahwa langkah-langkah terobosan yang diambil pemerintah, seperti Program Makan Bergizi Gratis, merupakan wujud nyata dari politik kehadiran negara di tengah rakyat. Program ini, menurut Gus Muhaimin, bukan hanya menjawab kebutuhan gizi anak-anak bangsa, tapi juga merupakan investasi jangka panjang untuk mencetak generasi yang sehat, cerdas, dan tangguh menghadapi tantangan global.
Gus Muhaimin juga menyoroti program Sekolah Rakyat sebagai bentuk pembebasan struktural dari ketimpangan akses pendidikan. Ia menegaskan bahwa inilah saatnya bangsa Indonesia masuk ke babak baru pembangunan: tidak sekadar mengejar angka pertumbuhan, tapi memperjuangkan keadilan sosial yang merata. “Kami di PKB yakin, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, kita akan melihat transformasi besar dalam pola pembangunan nasional. PKB siap membersamai pemerintah dalam mengawal dan merealisasikan agenda-agenda strategis tersebut demi terwujudnya cita-cita besar Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat,” tegasnya dengan penuh keyakinan.
Mewujudkan Kedaulatan Ekonomi Nasional Melalui Amanat Pasal 33
Harlah PKB selanjutnya memberi waktu khusus kepada Presiden RI ke-8 untuk menyampaikan sambutan dan arahan. Saat menghadiri peringatan Hari Lahir ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Presiden Prabowo Subianto menunjukkan gestur yang tidak biasa: santai, hangat, dan penuh kedekatan emosional. Pidatonya tidak sekadar formalitas kenegaraan, tetapi mengalir seperti obrolan seorang anggota keluarga besar yang telah lama saling mengenal dan memahami. Di hadapan para kader PKB dan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Presiden Prabowo menyampaikan perasaannya dengan lugas bahwa ia merasa sangat nyaman berada di tengah-tengah mereka. Bagi Prabowo, momen tersebut bukan sekadar agenda politik, tetapi lebih menyerupai reuni keluarga besar yang sarat makna historis dan emosional.
Prabowo tidak hanya menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan PKB terhadap pemerintah dan komitmennya pada konstitusi, tetapi juga menegaskan kedekatannya secara pribadi dengan NU dan PKB. Kedekatan itu bukan baru tumbuh sekarang, tetapi telah terjalin sejak lama, termasuk dalam hubungannya dengan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh NU dan pendiri PKB. Rasa nyaman itu tercermin dari nada bicara Prabowo yang penuh apresiasi dan kekaguman terhadap kontribusi NU dan PKB dalam sejarah kebangsaan Indonesia, terutama dalam menjaga stabilitas di masa-masa kritis bangsa. Bagi Prabowo, NU dan PKB bukan hanya sekutu politik, tapi bagian dari elemen penyangga moral dan spiritual bangsa.
Pidato Prabowo malam itu juga menggambarkan kesamaan pandangan yang ia miliki dengan para tokoh PKB dan NU, terutama dalam hal prinsip ekonomi kerakyatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Ia menyebut bahwa pemikiran KH Ma'ruf Amin sangat mengena dan menyentuh inti persoalan bangsa. Dalam suasana harlah tersebut, Prabowo seperti sedang mematri ulang komitmen ideologisnya bersama PKB dan NU dalam membangun Indonesia yang adil, sejahtera, dan berdaulat. Lebih dari sekadar panggung politik, acara tersebut menjadi ruang konsolidasi batin dan nilai antara pemimpin nasional dan kekuatan Islam moderat yang telah lama menjadi bagian penting dari perjalanan republik ini.
Suasana harlah PKB malam itu pun terasa berbeda dari perayaan politik pada umumnya. Riuh tepuk tangan dan sorak sorai para kader bukan sekadar sambutan atas pidato presiden, melainkan ekspresi emosional dari sebuah perjumpaan batin yang langka. Ketika Prabowo menyebut dirinya merasa “seperti di rumah sendiri”, bukan basa-basi politik yang berbicara, tapi bahasa jiwa yang menemukan kembali tempatnya. Seolah sejarah yang dulu sempat retak kini sedang dijahit kembali oleh kesadaran bersama bahwa bangsa ini butuh kolaborasi, bukan kompetisi yang saling meniadakan. Kehadiran Prabowo tidak hanya sebagai kepala negara, tapi juga sebagai seorang saudara yang kembali pulang ke pangkuan keluarga besar yang memahaminya sejak awal.
Tak dapat disangkal, malam itu terasa seperti titik balik penting bagi arah politik kebangsaan Indonesia. Panggung harlah PKB menjelma menjadi altar persatuan baru, tempat dimana pesan-pesan kenegaraan dibalut nuansa kekeluargaan dan spiritualitas. Di hadapan para kiai, santri, dan aktivis partai, Prabowo bukan sekadar berbicara tentang rencana pemerintahan, tapi tentang semangat gotong royong yang sudah lama menjadi roh bangsa ini. Aura haru dan optimisme menyelimuti ruangan, seolah seluruh yang hadir sedang menyaksikan babak baru dari rekonsiliasi sejarah dan tekad bersama untuk menjaga Indonesia tetap utuh, kuat, dan bermartabat di tengah arus global yang kian deras dan tak menentu.[]
*Penulis adalah Direktur Moderation Corner, Jakarta