Komitmen Nyata PKB Terhadap Transformasi Pesantren

Komitmen Nyata PKB Terhadap Transformasi Pesantren Khariri Makmun.

Oleh: Khariri Makmun*

Sebagai partai politik yang dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama dan tumbuh bersama denyut nadi kehidupan pesantren, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terus menegaskan posisinya sebagai sahabat setia pesantren. 

Kepedulian PKB terhadap masa depan pesantren bukanlah basa-basi politik, melainkan berangkat dari kesadaran historis dan tanggung jawab moral. 

Melalui pendekatan strategis dan keberpihakan nyata, PKB hadir bukan hanya sebagai penyambung aspirasi kalangan pesantren, tapi juga sebagai motor penggerak perubahan menuju masa depan yang lebih adaptif, produktif, dan berdaya saing.

Penyelenggaraan "International Conference on the Transformation of Pesantren" pada 24–26 Juni 2025 di Jakarta menjadi bukti konkret komitmen PKB dalam mendampingi transformasi dunia pesantren. Konferensi ini bukan sekadar forum wacana, tapi panggung kolaboratif untuk menyusun peta jalan baru—sebuah visi besar agar pesantren mampu berdiri tegak dalam arus perubahan zaman, khususnya di era digital dan kecerdasan buatan. PKB tidak hanya memberi ruang, tetapi mendorong dengan penuh semangat agar pesantren menjadi pelaku utama, bukan korban dari gelombang disrupsi teknologi global.

Dengan semangat optimisme dan kolaborasi, PKB melihat transformasi pesantren bukan sebagai tantangan yang menakutkan, melainkan sebagai peluang emas untuk menjadikan pesantren sebagai kekuatan sentral dalam membangun peradaban Islam yang maju dan inklusif. Ini adalah momentum bersejarah di mana pesantren tidak hanya mempertahankan jati dirinya, tapi melompat jauh ke depan dengan membawa misi keilmuan, keadaban, dan kemandirian. Bersama PKB, pesantren bukan hanya relevan dengan zaman, tapi siap memimpin arah perubahan menuju masa depan yang lebih cerah.

Selama berabad-abad, pesantren memainkan peran sentral sebagai benteng keilmuan Islam, penjaga tradisi lokal, sekaligus kekuatan sosial-politik dalam melawan kolonialisme. Peran historis ini sering kali dipahami secara romantik, namun banyak yang luput menyadari bahwa kekuatan utama pesantren justru terletak pada kemampuannya beradaptasi. Pesantren tidak pernah benar-benar statis—ia lentur, membaca zaman, dan menyerap dinamika sosial tanpa kehilangan jati diri. Inilah yang membuat pesantren bertahan, bahkan meluas, di tengah perubahan besar, baik politik, ekonomi, maupun budaya.

Hari ini, tantangan datang dalam bentuk yang jauh lebih kompleks dan subtil: era digital dan revolusi kecerdasan buatan. Dunia sedang bergerak cepat, tidak hanya dalam cara berpikir dan belajar, tetapi juga dalam membentuk relasi sosial dan struktur ekonomi-politik. Jika pesantren tidak segera melakukan lompatan strategis, maka ia berisiko terpinggirkan dalam lanskap baru peradaban yang semakin berbasis data dan teknologi. Transformasi ini tidak cukup dilakukan dengan menambahkan fasilitas digital atau pelatihan teknis; ia harus menyentuh cara berpikir, metodologi pendidikan, hingga redefinisi peran sosial-keagamaan pesantren dalam ekosistem digital global.

Pesantren harus menyadari bahwa mempertahankan identitas tidak berarti menolak inovasi. Justru, untuk menjaga nilai-nilai Islam dan tradisi lokal tetap hidup, pesantren harus menjadi pelaku aktif dalam membentuk arah teknologi dan peradaban digital, bukan sekadar konsumen pasif. Diperlukan roadmap transformasi yang tidak hanya mengandalkan jargon digitalisasi, tapi benar-benar berpijak pada analisis konteks, kebutuhan umat, dan visi jangka panjang. Dalam konteks ini, dukungan politik, terutama dari partai yang memiliki akar kuat di lingkungan pesantren seperti PKB, menjadi sangat penting untuk mendorong kebijakan afirmatif yang mempercepat transformasi pesantren sebagai pilar utama masa depan bangsa.

Klasterisasi Pesantren, Jalan Mencari Solusi

Kita tidak bisa melihat pesantren sebagai entitas tunggal yang homogen. Kenyataannya, ada pesantren kecil di pelosok dengan hanya 50 santri, dikelola secara sederhana oleh satu keluarga kiai, sementara di sisi lain ada pesantren besar yang memiliki ribuan santri, universitas, bahkan jaringan bisnis modern. Menyamakan perlakuan terhadap keduanya adalah kekeliruan strategis yang berisiko melahirkan ketimpangan baru dalam proses digitalisasi dan modernisasi. Sebab setiap pesantren memiliki kapasitas, kultur, dan tantangan yang berbeda, maka pendekatan one size fits all justru akan memperlemah efektivitas kebijakan transformasi yang sedang didorong.

Untuk itu, klasterisasi pesantren menjadi keniscayaan. Dengan membagi pesantren ke dalam klaster berbasis kapasitas kelembagaan, sumber daya manusia, lokasi geografis, dan kesiapan infrastruktur, kita bisa merancang program digitalisasi dan pelatihan secara lebih presisi. Misalnya, pesantren kecil mungkin lebih membutuhkan pelatihan dasar literasi digital dan bantuan perangkat, sementara pesantren besar bisa diarahkan pada pengembangan big data keilmuan Islam, platform edukasi, atau integrasi AI dalam kurikulum. Klasterisasi ini juga memungkinkan distribusi bantuan dan pendampingan dilakukan secara adil, tidak hanya tersedot ke pesantren yang sudah mapan.

Lebih jauh, klasterisasi menjadi fondasi penyusunan "Peta Jalan Digitalisasi Pesantren" yang konkret dan aplikatif. Roadmap ini tidak bisa dibuat asal-asalan atau sekadar copy-paste dari model pendidikan formal lain. Ia harus berpijak pada realitas lapangan, menyerap aspirasi pengasuh pesantren, dan menyesuaikan diri dengan keragaman model kelembagaan yang sudah terbentuk. Dengan begitu, transformasi digital pesantren menjadi gerakan strategis untuk membangun kemandirian pesantren dalam menghadapi tantangan zaman—tanpa kehilangan ruh dan otentisitas keilmuannya.

AI Bukan Ancaman, Tapi Peluang

Digitalisasi dan kecerdasan buatan (AI) sering kali dipandang dengan kecurigaan oleh kalangan tradisional, termasuk sebagian pesantren. Ketakutan terhadap hilangnya otoritas kiai, tergesernya kitab kuning oleh mesin, atau lunturnya tradisi menjadi alasan kuat bagi resistensi tersebut. Namun pandangan ini sempit dan reaktif. Jika digitalisasi dan AI dipahami secara cerdas, justru bisa menjadi katalisator untuk memperkuat eksistensi pesantren di era digital. Bukan sebagai musuh, melainkan alat strategis untuk memperluas jangkauan dakwah, mempercepat proses belajar, dan meningkatkan daya saing pesantren dalam berbagai sektor kehidupan.

AI, dalam konteks pesantren, bukan hanya alat bantu teknis, tetapi bisa berperan sebagai mitra dakwah dan pembelajaran yang adaptif. Bayangkan sebuah platform AI berbasis nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang dapat menjawab pertanyaan keislaman secara moderat, mengutip rujukan kitab turats, dan menyajikannya dalam bahasa yang ramah bagi generasi digital. Dengan kemampuan analisis teks, AI bisa membantu mengklasifikasi kitab kuning, menyederhanakan pembacaan, dan mempercepat penguasaan ilmu oleh para santri. Bahkan lebih jauh, AI dapat digunakan untuk memproduksi konten dakwah digital yang otoritatif dan menarik, menjangkau audiens yang sebelumnya jauh dari akses pesantren.

Transformasi ini juga membuka peluang besar bagi santri untuk menjadi pelaku utama dalam ekosistem digital. Santri bukan hanya konsumen teknologi, tapi pencipta konten, pengembang aplikasi, dan wirausahawan berbasis nilai Islam. Dengan keterampilan digital yang tepat, santri dapat merambah dunia media sosial secara produktif, membangun kanal edukatif, berdakwah secara kreatif, hingga mendirikan startup berbasis keislaman yang menjawab kebutuhan umat. Ini adalah pergeseran besar dari citra santri sebagai kaum pinggiran menuju generasi yang aktif membentuk peradaban digital global dengan identitas keislaman yang kuat.

Untuk itu, pesantren tidak boleh tertinggal. Dibutuhkan keberanian struktural dari para kiai dan pengelola pesantren untuk membuka ruang integrasi teknologi dalam kurikulum, pelatihan santri, dan manajemen lembaga. Negara juga harus hadir bukan hanya sebagai penyedia infrastruktur, tapi fasilitator kolaborasi antara pesantren, akademisi, dan pelaku industri digital. Dengan pendekatan strategis ini, digitalisasi dan AI tidak akan menggerus warisan pesantren, tapi justru memperluas perannya sebagai benteng moral, pusat keilmuan, dan penggerak transformasi umat di tengah arus perubahan zaman.

Transformasi pesantren hari ini tidak cukup jika hanya dipahami sebagai upaya bertahan di tengah perubahan zaman. Lebih dari itu, ia harus dilihat sebagai proyek peradaban. Visi besar dari "International Conference on the Transformation of Pesantren" adalah mendorong pesantren menjadi pelopor peradaban Islam kontemporer—yang tidak tercerabut dari akar tradisinya, namun mampu menjawab tantangan zaman dengan elegan dan strategis. Ini bukan tugas biasa. Dibutuhkan keberanian kolektif, kemauan untuk berubah, dan jaringan kolaborasi lintas sektor.

Kunci dari visi ini adalah keberpihakan terhadap inovasi yang terukur. Pesantren harus melampaui pola lama yang reaktif terhadap perubahan dan mulai mengambil posisi proaktif sebagai aktor utama dalam lanskap sosial, teknologi, dan budaya. Inovasi struktural seperti restrukturisasi manajemen pesantren, peningkatan kapasitas SDM, dan penguatan kurikulum yang adaptif harus jadi prioritas. Ini bukan soal menggadaikan nilai-nilai lama, tapi memperkuatnya dalam format baru.

Salah satu langkah konkret yang strategis adalah penyusunan "Peta Jalan Digitalisasi Pesantren". Ini penting agar transformasi tidak berjalan serampangan dan hanya sekadar ikut-ikutan tren. Peta ini akan menjadi panduan implementasi teknologi secara bertahap dan berbasis klaster, karena kebutuhan dan kesiapan pesantren sangat beragam. Mulai dari infrastruktur dasar, pelatihan literasi digital untuk para pengasuh dan santri, hingga integrasi teknologi dalam pembelajaran dan manajemen pesantren.

Selanjutnya adalah pengembangan Platform AI Islami berbasis pesantren. Platform ini bukan sekadar teknologi pintar, tapi harus jadi jantung baru dakwah dan pendidikan Islam. Bayangkan AI yang mampu menjawab pertanyaan keislaman secara akurat berdasarkan rujukan kitab kuning, memproduksi konten dakwah sesuai manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, dan menjadi alat bantu belajar bagi santri dengan pendekatan personal dan kontekstual. Ini bukan mimpi futuristik, tapi keniscayaan jika ada kemauan politik dan dukungan ekosistem.

Untuk mempercepat tumbuhnya budaya inovasi, perlu didirikan Pesantren Innovation Hub. Ini menjadi ruang kolaborasi, eksperimen, dan inkubasi gagasan kreatif dari santri dan pengasuh pesantren. Fokusnya bukan cuma pada teknologi, tapi juga ekonomi kreatif, sosial enterpreneurship, serta riset berbasis nilai-nilai Islam. Dari sini bisa lahir startup berbasis syariah, media dakwah digital, hingga model bisnis pesantren yang mandiri dan berkelanjutan.

Yang tak kalah penting adalah membangun Dakwah Digital yang Kuat dan Berkarakter. Dakwah bukan sekadar aktivitas penyiaran ajaran, tapi juga proyek membangun opini publik, menyusun narasi Islam yang damai, toleran, dan progresif. Di tengah banjir konten keagamaan yang dangkal, provokatif, dan sering menyesatkan, pesantren harus hadir sebagai jangkar moral dan intelektual. Dakwah digital yang kuat bukan hanya soal eksistensi, tapi juga kualitas pesan dan kekuatan narasi. Pesantren, jika mau, bisa menjadi penentu arah peradaban ke depan.

Tantangan dan Kendala

Tidak semua pesantren siap menghadapi gelombang digitalisasi. Banyak pesantren masih terseok dengan persoalan mendasar: akses internet terbatas, perangkat usang, literasi digital pengasuh dan santri yang rendah, serta kekhawatiran akan tergesernya nilai-nilai tradisi. Ini bukan sekadar keluhan, melainkan realitas objektif yang harus dihadapi dengan kepala dingin. Pengakuan terhadap problem ini adalah langkah awal untuk merumuskan peta solusi yang tepat sasaran.

Transformasi digital tidak bisa dipaksakan dengan satu resep untuk semua. Butuh pendekatan berbasis klasterisasi: pesantren besar, menengah, dan kecil memiliki tantangan dan potensi yang berbeda. Maka, strategi transformasi juga harus diferensiatif dan berbasis kebutuhan riil. Misalnya, pesantren kecil mungkin butuh pendampingan dasar soal perangkat dan platform, sementara pesantren besar bisa difasilitasi mengembangkan ekosistem digital sendiri, termasuk dakwah berbasis AI dan e-learning syariah.

Dalam hal ini, negara tak boleh sekadar jadi penonton. Pemerintah harus hadir dalam bentuk yang konkret: anggaran afirmatif, program pelatihan yang berkelanjutan, regulasi yang adaptif, dan kolaborasi aktif dengan ormas Islam serta sektor swasta. Dunia usaha juga perlu membuka ruang kemitraan strategis dengan pesantren, termasuk dalam bentuk CSR berbasis transformasi digital pesantren. Hanya dengan pendekatan lintas sektor dan sinergi nyata, pesantren bisa memasuki era digital tanpa tercerabut dari tradisi, justru dengan daya tawar yang lebih kuat.

Memadukan Kemajuan Teknologi Dengan Tradisi

Transformasi digital di pesantren memang tak terhindarkan, tapi itu bukan alasan untuk menanggalkan ruh keilmuan yang selama ini menjadi jantung tradisi pesantren. Sanad keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah, adab dalam menuntut ilmu, dan kedalaman kajian kitab kuning tidak boleh dikorbankan demi euforia teknologi. Di titik ini, pengasuh pesantren memegang peran krusial sebagai penjaga nilai. Mereka adalah filter hidup yang memastikan bahwa inovasi tak merusak akar, tapi justru menyuburkannya.

Digitalisasi seharusnya menjadi alat bantu untuk memperkuat otoritas keilmuan kiai, bukan menggantikannya. AI boleh jadi pintar, tapi tak punya akhlak, tak mengerti maqashid syariah, dan tak punya sanad. Jika tak dikawal dengan bijak, AI bisa berubah jadi "mufti palsu" yang memberikan fatwa tanpa tanggung jawab keilmuan dan spiritual. Maka, penting untuk memastikan bahwa teknologi hanya berfungsi sebagai pelayan ilmu, bukan pengambil alih otoritasnya.

Ekosistem digital yang dibangun di lingkungan pesantren harus berbasis pada prinsip keilmuan Islam tradisional: adab sebelum ilmu, sanad sebelum informasi, dan hikmah sebelum algoritma. Ini artinya, digitalisasi tidak boleh dilakukan secara serampangan atau sekadar meniru model luar. Harus ada upaya serius untuk membangun platform digital yang tetap menjunjung tinggi otoritas ulama, menjaga kehormatan majelis ilmu, dan menghormati kekhasan lokal pesantren.

Akhirnya, yang dibutuhkan adalah sintesis antara teknologi dan tradisi. Pesantren bisa dan harus masuk ke ruang digital, tapi dengan cara yang khas, beradab, dan tetap berakar. Bukan menjadi korban gelombang teknologi global, tapi tampil sebagai aktor utama yang mampu mengarahkan arah digitalisasi ke jalan yang sesuai dengan maqashid dan adab Islam. Dengan begitu, transformasi bukan hanya mungkin, tapi juga bermartabat.

Penutup

"International Conference on the Transformation of Pesantren" yang digelar oleh PKB harus dimaknai sebagai lebih dari sekadar pertemuan intelektual dan ajang seremonial. Ini adalah panggilan zaman bagi pesantren untuk mengambil peran strategis dalam menjawab tantangan besar umat dan bangsa. Di tengah krisis identitas yang melanda generasi muda, kekosongan spiritual akibat materialisme digital, dan degradasi nilai akibat algoritma yang membentuk persepsi massal, pesantren harus hadir sebagai jawaban. Forum ini harus melahirkan deklarasi gerakan kolektif yang membawa semangat transformatif—pesantren tidak hanya bertahan, tapi memimpin perubahan.

Pesantren telah membuktikan dirinya sebagai institusi yang resilien dalam sejarah panjang bangsa ini, mulai dari masa penjajahan hingga era reformasi. Kini, ketangguhan itu dituntut untuk bertransformasi ke dalam format baru: inovasi berbasis teknologi, pemanfaatan kecerdasan buatan yang tetap dalam kendali akhlak, serta ekspansi dakwah yang melintasi batas geografis dan budaya. Pesantren bukan musuh teknologi, tapi penjaga nilai dalam derasnya arus digitalisasi. Dengan fondasi sanad keilmuan yang kuat, pesantren justru bisa menghadirkan wajah baru Islam yang mencerahkan dan membebaskan.

Transformasi adalah keniscayaan, bukan pilihan. Tapi arah transformasi itulah yang harus ditentukan oleh pesantren sendiri, bukan oleh pasar atau kekuatan global. Di tangan pesantren, Islam tidak kehilangan ruhnya saat memasuki dunia digital, melainkan justru memancarkan cahayanya lebih luas. Jika forum ini berhasil menghidupkan semangat itu, maka International Conference on the Transformation of Pesantren bukan sekadar sejarah, tapi titik tolak kebangkitan peradaban. Di era digital global, pesantren harus berdiri paling depan—sebagai pionir Islam yang rahmatan lil alamin, membawa hikmah dalam pusaran data, dan menjadi penjaga jiwa di tengah bisingnya kecerdasan buatan.

*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Algebra, Bogor