BANGSAONLINE.com - Upaya penjegalan demokrasi di Indonesia untuk menyingkirkan oposisi terang-terangan dilakukan. Untuk memuluskan jalan politik dinasti Joko Widodo.
Partai pendukung pemerintahan terang-terangan mengobrak-abrik hukum. Kentara melangkahi konstitusi.
Baca Juga: Bawaslu Kabupaten Pasuruan Rekom Pemecatan 2 Sekretariat PPS Pendukung Paslon 02
Terbukti, delapan dari sembilan parpol di DPR yang berkubu di pemerintah mencoba mengubah Undang-Undang Pilkada: Mengenai ambang batas parlemen untuk mengusung calon kepala daerah dan syarat usia pencalonannya.
DPR ngotot ambang batas pencalonan tetap di 20% dari perolehan suara partai politik/gabungan partai politik di DPRD. Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengubahnya menjadi 7,5%.
Putusan MK menjadi angin segar PDIP. Mereka bisa mengusung kandidat untuk melawan Ridwan Kamil di Pilkada DKI yang sudah didukung 12 Parpol.
Baca Juga: Wujudkan Kondusivitas Jelang Pilkada 2024, KKD Jatim Gelar FGD Pengamanan Ruang Digital
Tapi, mayoritas parpol yang ada di kubu pemerintahan tentu tidak senang. DPR hendak menjegalnya, dengan mengakali verbatim dalam ketentuan pasal terkait.
Ini merupakan langkah yang disebut oleh para pakar hukum tata negara sebagai pembangkangan konstitusi, inkonstitusional dan brutal.
Baca Juga: Survei ARCI: Khofifah-Emil Dominan di Mataraman
DPR juga menginginkan batas usia minimal calon gubernur adalah 30 tahun dan calon wakil gubernur 25 tahun pada saat pelantikan.
Padahal, MK sudah memutus bahwa syarat minimal usia tersebut berlaku pada saat penetapan calon.
Ini memperkuat asumsi yang beredar di masyarakat bahwa DPR mengakali revisi UU demi membuka jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep yang tahun ini masih berusia 29 tahun, untuk bisa maju Pilgub Jawa Tengah.
Baca Juga: Bawaslu Nganjuk Petakan Lokasi Potensi Rawan di TPS
Keriuhan terjadi. Publik pun melayangkan aksi solidaritas dengan mengunggah gambar garuda biru bertuliskan 'Peringatan Darurat'
Ini sebagai bentuk protes kepada DPR dan Pemerintah. Elemen mahasiswa dan akademisi se-Indonesia turun ke jalan menuntut batalnya UU Pilkada.
Baca Juga: Dukungan Paslon Amanah Terus Mengalir Jelang Coblosan Pilwali Probolinggo 2024
Melansir The Conversation, Sekelompok akademisi yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menyerukan langkah pembangkangan sipil (civil disobedience) dengan memboikot Pilkada 2024.
Ini karena upaya hukum oleh masyarakat sipil sudah menemui jalan buntu.
Pembangkangan sipil adalah bentuk perlawanan pasif berupa penolakan untuk patuh terhadap tuntutan pemerintah atau penguasa.
Baca Juga: Debat Terakhir Pilkada Nganjuk 2024, Setiap Paslon Gelar Konferensi Pers
Ini biasanya dilakukan oleh publik terhadap pemerintah tanpa menggunakan kekerasan.Tujuannya untuk memaksa pemerintah mengubah sikap terhadap suatu kebijakan.
Menurut Bivitri Susanti, dosen Hukum Tata Negara Negara dari Sekolah Hukum Jentera, pembangkangan sipil adalah langkah yang konstitusional, karena menjadi cara rakyat untuk melawan pembuat kebijakan yang terang-terangan menjadi pembangkang konstitusi.
“Bedanya kita (dengan DPR) enggak ada wewenang untuk membangkang, tapi kita juga bisa lakukan pembangkangan, namanya pembangkangan warga atau civil disobedience,” ujar Bivitri dalam acara Konsolidasi Netizen X Merespons Kondisi #Demokrasidihabisi oleh Presiden Jokowi di platform X, Rabu, 21 Agustus 2024.
Baca Juga: Siap Jadikan Jawa Timur Sebagai Gerbang Baru Nusantara, Khofifah-Emil Ajak Sukseskan Pilkada 2024
Pembangkangan dapat menjelma berbagai bentuk dan diterapkan di banyak negara. Misalnya, di India, Mahatma Gandhi pada 2017 menyerukan gerakan “satyagraha” (teguh pada kebenaran) sebagai penolakan atas kebijakan pemerintah kolonial Inggris yang menindas. Ada juga aksi “Sunflower Movement” yang diikuti ratusan ribu masyarakat Taiwan pada 2014 untuk memprotes kebijakan pemerintah dengan Cina.
Publik harus melawan
Bahkan sebelumnya, brutalitas para aktor politik dan penguasa sudah sangat terlihat sejak Pemilu 2024. Apabila publik tidak melawan, 'kegilaan' ini akan terus berlangsung hingga lima tahun ke depan.
Baca Juga: Di Sidoarjo, Khofifah Ajak Sukseskan Pilkada Serentak 2024 dengan Damai dan Senang
Protes melalui kata-kata dan berdoa saja sudah tidak cukup lagi.
“Bukan hanya berkata, tetapi juga harus menunjukkan betul bahwa kita (rakyat) itu punya power. Di media sosial banyak masyarakat yang sudah hopeless dan frustasi lalu bilang ‘rasakan nanti pembalasan di akhirat’. No, we have to do it now. Kita harus tunjukkan bahwa kalau tidak ada kita, warga negara, maka tidak akan ada penyelenggaraan negara,” ujar Bivitri.
Ia menyerukan bahwa seluruh lapisan publik dapat melakukan aksi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing melalui jaringan kolektifnya masing-masing.
Boikot Pemilu 2024
Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraeni, mengatakan salah satu aksi yang dapat masyarakat lakukan adalah pemboikotan Pilkada 2024. Caranya adalah melalui tidak memilih satu calon kepala daerah.
Titi menganggap gerakan boikot beralasan. Sebab, proses Pilkada kali ini diwarnai manipulasi sehingga mencederai prinsip lurus, bersih, jujur, dan adil yang sepatutnya tercermin dalam proses pemilihan.
“Buat apa kalau kita terdaftar di daftar pemilih, tapi orang yang disediakan dalam surat suara itu adalah orang yang dihasilkan dari proses yang manipulatif. Jadi bukan seperti itu. Kita memaknai keadilan pemilu dan soal pemenuhan hak pilih jadi dalam konteks itu boikot Pilkada,” ujar Titi.
Boikot Pilkada, menurut Titi, adalah tindakan yang sah. Praktik ini juga sudah diterapkan di negara lain. Di India, misalnya, praktik boikot justru difasilitasi negara melalui penyediaan ruang “None of the above” (tidak di antara semuanya) dalam pemilihan umum.
“Untuk apa kemudian kita berpartisipasi untuk sesuatu yang jelas-jelas inkonstitusional….sama saja kita membenarkan pembangkangan,” kata dia. (*)
Artikel ini sebelumnya telah tayang di The Conversation pada 22 Agustus 2024 dengan judul,: Akademisi: Berdoa tak cukup, Indonesia perlu pembangkangan sipil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News