Agy Yudhistira Ungkap Makna di Balik Ilmu Pelet Jaran Goyang

Agy Yudhistira Ungkap Makna di Balik Ilmu Pelet Jaran Goyang Agy Yudhistira, praktisi okultisme Nusantara sekaligus konsultan energi spiritual.

DENPASAR, BANGSAONLINE.com - Ilmu pelet Jaran Goyang kembali ramai diperbincangkan publik seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap fenomena metafisika Nusantara.

Dalam berbagai percakapan daring, media sosial, hingga forum spiritual, istilah ini sering dikaitkan dengan praktik pemaksaan cinta. Namun dalam wawancara eksklusif bersama redaksi di Indo Spiritual Center, Denpasar, praktisi okultisme Nusantara sekaligus konsultan energi spiritual, Agy Yudhistira, meluruskan sejumlah pemahaman yang ia nilai keliru.

Di tengah meningkatnya permintaan konsultasi spiritual online, Agy mengingatkan bahwa ilmu leluhur—termasuk Jaran Goyang—tidak dapat dilepaskan dari konteks nilai dan etika

“Jadi viral karena dianggap salah satu ilmu pelet legendaris kan, ya tidak keliru juga anggapan itu,” ujar Agy membuka percakapan.

“Menjadi keliru apabila serta-merta dianggap sebagai suatu jalan instan untuk memaksakan kehendak, padahal ada nilai luhur dalam kaweruh keilmuan Jaran Goyang itu yang justru menekankan pentingnya keselarasan antara laku batiniah dengan lahiriah.”

Dalam pandangan Agy, salah satu kesalahan terbesar dalam memahami pelet adalah persepsi publik yang melihatnya sebagai teknik manipulasi perasaan. Padahal, budaya spiritual Nusantara tidak pernah memisahkan kekuatan metafisika dari tanggung jawab moral terhadap sesama manusia.

Menurutnya, proses memperhalus energi pribadi, menguatkan daya rasa, dan meningkatkan daya spiritual adalah inti dari pelet, bukan sekadar “mengikat” seseorang.

Ia kemudian membongkar makna Jaran Goyang dari akar bahasanya. “Kalau dari akar katanya sendiri, jaran itu artinya kuda. Sementara goyang aslinya dari kata guyang yang berarti dimandikan,” jelasnya.

“Jadi makna utuhnya adalah bagaimana kemudian kuda yang merupakan hewan liar namun bila dimandikan atau dirawat dengan baik, bisa jadi jinak juga.”

Kuda sebagai simbol dalam tradisi Jawa sarat makna filosofis. Ia melambangkan tenaga, nafsu, dan daya gerak kehidupan. Membuatnya “jinak” bukan berarti menaklukkannya secara paksa, melainkan menyelaraskan kekuatan melalui proses pengendalian diri yang lembut namun disiplin.

Menurut Agy, inilah esensi yang hilang dalam cara banyak orang memandang Jaran Goyang hari ini.

Latar Belakang Keilmuan

Dalam wawancara tersebut, Agy juga menceritakan fondasi spiritual yang ia pelajari hingga menjadi salah satu rujukan dalam dunia metafisika Nusantara.

“Saya sendiri berprofesi sebagai praktisi spiritual dengan dua dasar keilmuan,” tuturnya.

“Pertama, ilmu okultisme Nusantara, dan kedua ilmu membaca gerak energi melalui astrologi. Di luar dua dasar itu, saya juga mempelajari metafisika, yang kemudian membuat saya bisa menjelaskan peta teknis bagaimana hal magis itu bekerja bila ditelaah dari sudut pandang pengetahuan.”

Ia menegaskan bahwa spiritualitas bukan sekadar praktik ritual, tetapi perpaduan antara ngelmu dan laku. Kepekaan energi, menurutnya, dapat dijelaskan dengan struktur yang logis apabila pendekatannya tepat. Ia menyebut setiap fenomena metafisika sesungguhnya dapat diterangkan secara sistematis dengan pemahaman energi, frekuensi, dan vibrasi.

“Pastinya ada faktor keturunan,” lanjutnya. “Kemampuan spiritual yang saya miliki saat ini juga tidak lepas dari proses ngelmu di guru-guru spiritual sepuh dari berbagai daerah.”

Jaran Goyang dalam Dunia Pusaka

Di luar ilmu pelet, Agy memaparkan fakta menarik bahwa Jaran Goyang juga dikenal dalam dunia perkerisan.

“Dari yang saya ketahui, Jaran Goyang sendiri juga merupakan nama salah satu dapur pusaka keris yang cukup langka untuk ditemui versi sepuhnya,” jelasnya.

Keris dengan dapur Jaran Goyang memiliki luk tujuh. Dalam budaya Jawa, angka tujuh dimaknai sebagai angka pitulungan atau pertolongan. Filosofinya, menurut Agy, sangat dalam: usaha manusia harus sejalan dengan permohonan restu kepada Yang Maha Kuasa.

“Keris Jaran Goyang sendiri memiliki ricikan luk tujuh yang dalam budaya Jawa kita maknai sebagai angka pitulungan atau pertolongan,” ungkapnya.

“Di sini menjelaskan bahwa proses mengubah keliaran menjadi sesuatu yang terkendali tidak serta merta hanya mengandalkan upaya duniawi seperti memandikan atau merawat si kuda saja, namun juga butuh keajaiban ilahiah dalam bentuk restu Sang Kuasa.”

Ketika ditanya apakah ia memiliki keris ini, Agy membenarkan. “Ya, saya punya keris Jaran Goyang. Simpanan pribadi yang sering saya gunakan saat meditasi maupun ritual,” ujarnya.

Baginya, pusaka bukan sekadar benda bertuah, tetapi sarana konsentrasi batin dan penghubung energi antargenerasi. Ia menegaskan pusaka tidak mematikan ikhtiar manusia, justru menjadi pengingat bahwa manusia hidup bukan hanya di dunia fisik.

Makna Proses dalam Ilmu Pelet

Lebih jauh, Agy menolak pemahaman praktis dan instan terhadap ilmu pelet. Dalam ajaran leluhur, ia menegaskan tidak ada hasil tanpa laku.

“Dengan memahami filosofi nama Jaran Goyang, kita bisa paham bahwa ilmu pelet tidak serta merta bisa disamaratakan definisinya menjadi sebuah proses pemaksaan,” tegasnya.

“Karena dalam kaweruh yang barusan saya jelaskan justru menyoroti pentingnya sebuah proses, yakni memandikan atau merawat sebagai bagian dari upaya lahiriah, dan tentu saja tidak lupa tirakat batiniah dalam usaha mendapatkan restu dari Sang Kuasa.”

Ia menambahkan, pelet sejatinya merupakan ilmu penyelarasan energi antara pelaku dan orang yang dituju. Dalam praktik kanuragan dan kebatinan, pelet bukan memaksa hati seseorang, tetapi memurnikan niat, menghaluskan rasa, dan mengundang kecocokan batin.

Menjaga Warisan Spiritual Nusantara

Di akhir wawancara, Agy menilai generasi sekarang perlu belajar kembali esensi ilmu leluhur, bukan sekadar efeknya.

“Kita ini mewarisi kekayaan budaya spiritual yang luar biasa, tapi jika dipahami secara dangkal, kita hanya akan mengambil kulitnya saja dan kehilangan makna utamanya,” tutur Agy.

“Jaran Goyang bukan ilmu untuk memaksa cinta, tapi tentang bagaimana manusia belajar selaras: dengan dirinya sendiri, orang lain, dan kehendak Tuhan” tutupnya.