Putusan MK soal Ijazah Capres: Saatnya DPR dan Pemerintah Berperan

Putusan MK soal Ijazah Capres: Saatnya DPR dan Pemerintah Berperan Pengamat Kebijakan Publik dan Demokrasi, Manifesto Ideas Institute, Andhika Wijaya.

Oleh: Andhika Wijaya

Putusan MK Nomor 87/PUU-XXIII/2025 yang menolak permohonan agar calon presiden dan wakil presiden wajib memiliki ijazah minimal S1 memicu beragam reaksi publik.

Sebagian menilai MK enggan memperkuat standar kualitas kepemimpinan nasional. Namun, pandangan ini perlu disikapi secara kritis. Putusan tersebut justru menjadi sinyal politik penting, bukan akhir dari proses.

Secara konstitusional, MK menegaskan bahwa penetapan syarat pendidikan bagi pejabat publik bukanlah kewenangan lembaga yudisial, melainkan tugas pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Pemerintah. 

Sikap ini konsisten dengan putusan sebelumnya, seperti Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang juga menolak intervensi konstitusional terkait batas pendidikan calon pemimpin. MK menjaga batas antara tafsir hukum dan kebijakan publik.

Kendati demikian, pertanyaan mendasar tetap sama: bagaimana memastikan kualitas kepemimpinan di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan ini tidak cukup hanya melalui tafsir konstitusi. Ini adalah momentum penting bagi DPR dan Pemerintah untuk menetapkan standar kepemimpinan melalui proses politik dan legislasi yang matang.

Pendidikan minimal bukan sekadar formalitas ijazah, melainkan cerminan kesiapan intelektual dan kemampuan berpikir strategis. 

Karena itu, pembahasan peningkatan syarat pendidikan seharusnya tidak hanya berlaku bagi capres dan cawapres, tetapi juga mencakup calon anggota DPR dan DPD. Saat ini, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih menetapkan pendidikan minimal SMA atau sederajat untuk calon legislatif.

Tentu tidak ada niat meremehkan individu berpendidikan menengah. Namun, kompleksitas kebijakan publik, dinamika global, dan tanggung jawab legislasi nasional menuntut kapasitas intelektual yang lebih tinggi. 

Legislator dengan latar belakang pendidikan dan literasi kebijakan yang kuat akan lebih siap menghadapi tantangan governance yang semakin multidimensi, mulai dari ekonomi digital, krisis iklim, hingga geopolitik global.

Kontras Standar ASN dan Pemimpin Politik

Kontradiksi semakin terlihat jika dibandingkan dengan standar bagi ASN, yang merupakan pelaksana teknis kebijakan.

Untuk menjadi PNS, mayoritas formasi jabatan kini mensyaratkan pendidikan minimal S1 dan linearitas jurusan dengan tugas yang diemban. Tujuannya jelas, yakni memastikan profesionalisme dan kompetensi teknis.

Lalu, bagaimana mungkin ASN yang menjalankan kebijakan negara dituntut memiliki kualifikasi akademik tinggi, sementara pembuat kebijakan hanya dipatok pada standar pendidikan SMA?

Kontras ini menciptakan anomali serius dalam tata kelola negara. Ketika pelaksana memiliki standar akademik lebih tinggi daripada pengambil keputusan, efektivitas kebijakan bisa terganggu oleh jurang literasi dan kapasitas intelektual.

Standar pendidikan minimal SMA untuk DPR/DPD, dan tidak adanya kewajiban S1 bagi Presiden/Wakil Presiden, sudah tidak relevan. Ini meremehkan kompleksitas tantangan bangsa dan menciptakan paradoks kepemimpinan yang tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi dan visi Indonesia Emas.

Apabila birokrasi menuntut profesional bergelar S1, maka pembuat kebijakan seharusnya memiliki standar yang setara atau bahkan lebih tinggi.

Saatnya Keberanian Politik Ditunjukkan

Putusan MK harus dimaknai sebagai dorongan bagi parlemen untuk memperkuat kualitas kepemimpinan nasional. MK telah menetapkan batas konstitusionalnya; kini giliran DPR dan Pemerintah menunjukkan keberanian politik untuk memperbaiki standar kepemimpinan dan tata kelola negara.

Bangsa yang besar tidak lahir dari kompromi terhadap kualitas, melainkan dari keberanian moral dan politik untuk menetapkan standar tinggi bagi para pemimpinnya. Peningkatan standar ini bukan sekadar kebutuhan saat ini, tetapi investasi strategis untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik dan Demokrasi, Manifesto Ideas Institute