Dr. Suwarno Abadi, S.H., M.Si
PASURUAN,BANGSAONLINE.com - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 memicu persoalan baru.
Sebab, meski melarang polisi aktif menduduki jabatan di luar Polri, aturan teknis pelaksana belum tersedia sehingga instansi pemerintah kini menghadapi kekosongan pedoman.
Ahli Hukum Tata Usaha Negara Universitas Wijaya Putra (UWP), Dr. Suwarno Abadi, S.H., M.Si., meminta pemerintah segera membuat peraturan teknis.
“Putusan MK itu final dan mengikat. Tidak ada tawar-menawar. Tapi implementasinya tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah harus segera membuat peraturan teknis agar tidak terjadi kekosongan hukum,” ujarnya.
Suwarno memaparkan bahwa yang dibatalkan MK bukan pasal utamanya, tetapi penjelasan Pasal 28 ayat (3) yang selama ini menjadi dasar penempatan polisi aktif di jabatan luar Polri apabila mendapat penugasan dari Kapolri.
Penjelasan itu, telah membuka ruang tafsir ganda dan sering dipakai menempatkan personel Polri di berbagai lembaga negara, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum.
“Dengan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dinyatakan tidak berlaku, maka seluruh pengecualian otomatis hilang,” kata Suwarno.
“Normanya kembali ke bentuk paling ketat: polisi hanya boleh menduduki jabatan di luar Polri setelah mengundurkan diri atau pensiun.”
Namun, persoalan tidak berhenti pada norma. Suwarno menegaskan bahwa kebutuhan lembaga-lembaga strategis masih sangat bergantung pada kompetensi polisi aktif.
BNNP, KPK, PPATK, dan sejumlah unit penegakan hukum lainnya selama ini tidak dapat sepenuhnya melepas dukungan penyidik kepolisian dalam tugas mereka.
“Itu persoalan riil. Banyak lembaga tidak siap menjalankan tugas tanpa keterlibatan polisi aktif. Kalau semua harus mundur dulu, bisa terjadi kekosongan tenaga operasional,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi inilah yang membutuhkan kehadiran peraturan pemerintah (PP) sebagai jembatan transisi agar pelaksanaan putusan MK tidak menimbulkan kekacauan administratif.
Suwarno menekankan bahwa MK merupakan penafsir tunggal konstitusi sehingga putusannya berlaku otomatis bagi seluruh lembaga negara. Tidak boleh ada instansi yang tetap mengacu pada norma yang sudah dibatalkan.
Namun tanpa PP sebagai pedoman, para pelaksana berpotensi terjebak dalam dilema ketika aturan teknis belum tersedia.
“Dalam praktik birokrasi, kalau aturan teknis tidak ada, pelaksana sering kembali membaca norma lama. Padahal dalam konteks ini norma lamanya sudah ‘mati’, tapi norma barunya belum operasional,” ujarnya.
Ia kemudian mencontohkan bahwa kebijakan bersifat progresif tidak akan berjalan jika instrumen pelaksanaannya tertunda.
Suwarno juga menjelaskan bahwa tujuh hakim konstitusi sepakat membatalkan penjelasan pasal, sementara dua hakim lainnya menyampaikan concurring opinion—setuju hasil, berbeda alasan.
“Tidak ada lagi dasar hukum penugasan Kapolri untuk memberikan legitimasi jabatan di luar Polri. Itu poin paling penting dari putusan ini,” katanya.
Ia memperingatkan bahwa tanpa aturan teknis, instansi pelaksana akan sibuk menafsir sendiri putusan tersebut, sehingga rawan menimbulkan konflik antar lembaga.
“Selama PP belum terbit, potensi tafsir liar tetap besar. Kita bisa menghadapi situasi abu-abu yang sebenarnya tidak diperlukan,” katanya.
Suwarno merangkum persoalan ini menjadi dua lapis: pertama, secara normatif, penjelasan Pasal 28 ayat (3) sudah tidak berlaku dan putusan MK mengikat semua pihak; kedua, secara administratif, pemerintah wajib menerbitkan PP untuk mengatur mekanisme transisi agar tidak menimbulkan sengketa baru.
“Pemerintah harus bergerak cepat. Putusan MK tidak bisa dibiarkan menggantung. Negara membutuhkan kepastian hukum, dan itu hanya tercapai bila aturan teknis segera diterbitkan,” pungkas Suwarno.
Lebih lanjut, sebelum mengakhiri pembicaraan, Suwarno menegaskan bahwa kompetensi polisi masih dibutuhkan dalam jabatan tertentu di luar institusi Polri.
“Jadi intinya bahwa saat kepolisian itu adalah institusi sipil. Mereka sangat dibutuhkan dengan kajian nilai kemampuan di bidang masing yang didudukinya,” tutup Suwarno. (maf/van)













