Surplus Beras, tapi Tetap Impor

Surplus Beras, tapi Tetap Impor ilustrasi panen raya

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Produksi padi di Indonesia pada tahun 2015 ini, sebanyak 75 juta ton atau setara dengan 44 juta ton beras. Sedangkan kebutuhan konsumsi beras sebanyak 33 juta ton per tahun. Dengan demikian, Indonesia tercatat surplus beras.

"Sebenarnya ada surplus sedikitnya 10 juta ton. Tapi pertanyaannya (pemerintah) kenapa tiba-tiba kita defisit 1,5 juta ton," ujar Wakil Ketua DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (KHTI) Muhammad Arum Sabil dengan nada tanya kepada wartawan, kemarin.

Baca Juga: Komitmen Wujudkan Hilirisasi Dalam Negeri, Antam Borong 30 Ton Emas Batangan Freeport

Kalau pemerintah memanfaatkan Bulog, kata Arum Sabil, hasilnya tidak akan defisit. "Saya melihat ada persaingan tidak sehat antara Bulog dengan tengkulak," ujarnya.

Ditambahkan, tengkulak bisa membeli beras. Misalnya saat ditentukan harga, tengkulak bisa membeli dengan harga di atas yang ditentukan dan Bulog tidak bisa membeli. Untuk itu, HKTI mendorong pemerintah agar Bulog diberi peran membeli gabah dari petani dengan harga setinggi-tingginya dan menjual kepada rakyat semurah-murahnya. Sehingga, tengkulak tidak akan bisa bermain dan pemerintah punya wibawa dengan kekuatan masalah pangan.

"Sebenarnya tidak perlu subsidi. Kalau benar-benar kekurangan produksi, beri kewenangan pada Bulog. Ketika harga di tingkat petani rendah, beli dengan harga tinggi. Tapi kalau harga di tingkat masyarakat tinggi masih bisa ditekan," katanya.

Baca Juga: Fungsi Kalkulator Forex Lanjutan: Melampaui Perhitungan Dasar

Terkait krisis beras ini, tambah Arum Sabil, bangsa Indonesia dibuat ketergantungan dengan impor.

Pemerintah memperkuat cadangan beras nasional, dengan mengambil langkah impor beras dari Vietnam. Saat ini, beras impor asal Vietnam sudah mengalir ke Indonesia yang disimpan di gudang-gudang Perum Bulog dan tidak langsung digelontorkan ke pasar.

"Belum ada dampaknya (Masuknya beras impor) ke petani karena adanya di gudang Bulog," ujar Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

Baca Juga: Freeport Dukung Transformasi Era Society 5.0 di 36 Sekolah

Menurutnya, impor beras yang dilakukan pemerintah saat ini merupakan langkah antisipasi yang tepat. Alasannya,curah hujan di bulan November masih belum normal, panen sejak Oktober pun sudah minim.

"Kalau curah hujan normal untuk musim tanam itu hujan 3 hari terus menerus, itu baru tandanya musim rendeng (musim tanam di musim hujan). Kalau sekarang itu kan hujan, berhenti, hujan, berhenti lagi," paparnya.

Curah hujan yang minim akibat el nino ini, terutama di Oktober lalu, membuat luas tanam padi hanya 1 juta hektar (ha). Hanya lahan yang memiliki jaringan irigasi bagus yang bisa memulai musim tanam sejak Oktober. "Kalau normal, Oktober itu mulai musim rendeng (luas tanam padi) bisa 2,5 juta hektar," ucapnya.

Baca Juga: Sukses PT. Nathin dan PT. Khinco Gelar Tour Eskludif Manufaktur Maklon Herbal dan Kosmetik

Karena itu, pasokan beras untuk akhir November dan Desember perlu diantisipasi dengan pengadaan beras melalui impor.

"Oktober-November sudah sedikit banget panen, jadi November-Desember harus diantisipasi," katanya.

Winarno menambahkan, harga gabah dan beras di tingkat petani masih tinggi. Harga gabah kering giling (GKG) saat ini Rp 6.200/kg, Sedangkan harga beras kualitas medium Rp 8.500/kg. (ssn/def/rev)

Baca Juga: Peran Pinjaman Kelompok Amartha untuk Perkembangan UMKM di Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'SNG Cargo: Warna Baru Industri Logistik di Indonesia':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO