Ber-Islam ala NU yang Wajar-Wajar saja

Ber-Islam ala NU yang Wajar-Wajar saja Cholil Nafis

Oleh: Cholil Nafis. . .  

Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah nilai unggulan (core values) NU yang membedakan dengan organisasi keagamaan lainnya di Indonesia dan dunia. Sesuai dengan kelahirannya, NU adalah untuk memperjuangkan nilai-nilai Aswaja yang berbasis dan mengikuti pada tradisi transmisi keilmuan (silsilah sanadiyah) dan bermadzhab.

Sebenarnya tak mudah mendefinisikan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) apalagi memberikan ciri-ciri pemikiran dan implementasinya pada sikap. Sebab mendefinisikan yang meliputi keseluruhan isi Aswaja (inclusive/jami’) dan menolak keseluruhan yang tidak termasuk di dalamnya (exclusive/mani’) sungguh amat sulit. Jika definisi Aswaja dari hadits yang diserap oleh fatwa MUI adalah sesuatu yang ada pada zaman Nabi saw dan para sahabatnya, sungguh sangat luas dan sulit mengidentifikasi kelompok yang di dalam dan yang di luar Aswaja. Sulitnya terletak pada klaim bahwa semuanya adalah penganut Aswaja dengan tafsirnya masing-masing yang berbeda.

Kini menjadi penting “merebut” definisi Aswaja karena diantara 73 firqah-firqah Islam itu yang diakui dan selamat kelak di akhirat hanya Aswaja. Kini beberapa paham, kelompok dan organisasi menyebut dirinya Aswaja. Namun, masing-masing kelompok dan organisasi itu memiliki penafsiran yang berbeda, bahkan kontras dan bertentangan dalam memahami akidah, syariah dan akhlak Aswaja.

Di tengah arus arogansi klaim Aswaja dan masing-masing kelompok menyatakan yang paling benar penafsirannya, NU mencoba mendefinisikan yang sekaligus mencirikan Aswaja yang dirasa benar tanpa menyalahkan apalagi mencemooh pemahaman Aswaja yang lainnya.

Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang dituangkan oleh pendiri NU, Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam bukunya Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah yang kemudian diserap menjadi keputusan NU, menafsirkan Aswaja sebagaimana yang dirumuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Di bidang fiqih mengikuti pendapat atau metode (manhaj) salah satu empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dan di bidang tasawwuf mengikuti Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.

Abu al-Hasan al-Asya’ari (260 H/873 M - 324 H/935 M) bukan pembuat atau pencetak Aswaja, tetapi yang mengkodifikasi dan merumuskannya yang sesuai dengan pertimbangan teks (naql) dan konteks rasionalitas (‘aql). Aswaja yang dikodifikasi al-Asy’ari dibangun atas dasar teks-teks agama (nash) yang sekaligus didialogkan dengan nalar rasio (konteks). Menurutnya, tak akan pernah mengkafirkan kepada siapapun selagi masih meyakini dan mengucapkan, tiada tuhan selain Allah (ahl al-qiblah).

Pada saat yang bersamaan, NU tidak akan membenarkan kelompok rasionalis yang memutus hubungan orang yang hidup dengan yang telah wafat, kelompok yang mencaci para sahabat Nabi Saw. dan kelompok liberalisme (abahiyun) yang semua hal boleh sehingga tak ada batasan dan tak ada kriteria dalam beragama.

Ciri utama Aswaja ala NU adalah wasathiyah (Islam wasathi). Kemudian derivasinya tercermin dalam sikap tasamuh (toleran), tawazun (seimbang ) dan i’tidal (tegak lurus). Melalui ciri-ciri tersebut nampak dalam sikap Nahdliyin yang akomodatif dan terbuka yang pada saat yang bersamaan juga tegak lurus dan tegas. NU bisa menerima perbedaan pandangan, keyakinan dan paham, tetapi pada saat yang bersamaan juga tegas lurus. Seperti keputusan Resolusi Jihad dalan rangka membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO