Ber-Islam ala NU yang Wajar-Wajar saja

Ber-Islam ala NU yang Wajar-Wajar saja Cholil Nafis

Ciri NU adalah bermadzhab dalam pemahaman keagamaan. Berijtihad hanya menjadi hak orang yang telah memenuhi syarat sebagaimana yang tertuang dalam kitab Ushul Fiqh. Bermazhab menjadi penting karena bisa mengurai pemahaman dan penafsiran ajaran agama secara berantai melalui guru-guru sampai bersambung kepada Rasulullah saw. Tak cukup bagi warga NU hanya berguru pada buku-buku apalagi hanya melalui pencarian artikel di internet tentang suatu ilmu, karena hal itu tak dapat menyimpulkan ilmu dan tidak mendapat barakah.

Bahaya belajar tak berguru berakibat pada penyimpulan makna teks agama sesuai dengan keterbatasan daya pikir dan kemungkinan terjerumus pada imajinasi bayangan syaitan. Guru, selain menuntun cara belajar agar lebih efektif, cepat mengerti dan terarah juga akan memberi barakah (tambah kebaikan) melalui do’a-do’anya.

Tak kalah pentingnya bagi warga NU adalah bermazhab dengan salah satu mazhab fiqih yang telah diakui dan terbukukan. Bermazhab sangat penting bagi umat beragama sebagai mata rantai keilmuan dan menghargai jerih payah upaya keilmuan ulama terdahulu. Bermazhab tak berarti hanya terpaku pada ucapan dan tulisan (ibarah) saja tetapi juga bisa bermadzhab secara metodologi. Sebab bermadzhab itu menjadikan keberagamaan yang seimbang dan lebih mengarahkan pada pemahaman agama secara tekstual yang sekaligus kontekstual. Cara beragama yang tidak bermazhab cenderung ahistoris, mengingkari teks sejarah dan memutus mata rantai keilmuan.

Ciri berguru dalam belajar ilmu dan bermazhab untuk mengamalkan agama populer dengan ungkapan, “memelihara tradisi lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik” (almuhafazhah ‘ala islafisshalih wa alakhdzu bil jadidil ashlah). Yaitu mempertahan tafsir dan cara beragama seperti gerenrasi terdahulu yang masih sesuai kondisi dan mengupayakan penafsiran agama yang lebih sesuai dengan konteks dan tuntutan zaman.

Corak keberagamaan warga NU kreatif. Sesuatu yang baru dalam beragama tidak semua dilarang atau sesat. Sebab, NU membedakan antara kreatifitas baik yang berkenaan dengan syi’ar agama (bid’ah hasanah) dengan kreatifitas yang merusak agama yang berkenaan dengan esensi agama (bid’ah sayyi’ah).

Dalam tradisi keagamaan warga NU banyak cara untuk menyampaikan dan melakukan ajaran Islam, seperti perayaan Maulid Nabi Saw, istighotsah dan perayaan-perayaan keagaman. Cara bernegara pun NU mengedepankan maslahah dan persatuan demi terjaminnya kebebasan umat beragama. Islam tidak harus menjadi label negara, yang terpenting nilai dan dakwah Islam bisa dijalankan dengan baik. Pun agama lain bisa hidup berdampingan dalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ber-Islam menurut NU yang wajar-wajar saja. Mendekatkan diri kepada Allah SWT secara wajar yang sesuai dengan tuntunan-Nya. Demikian juga berinteraksi dengan masyarakat dengan wajar mengikuti pola dan budaya masyarat setempat. Teks dipahami sebagai petunjuk untuk mengukur kebenaran, sedangkan konteks masyarakat adalah area untuk membumikan teks ajaran Islam dalam kehidupan nyata. selamat berulang tahun ke-90 Jam'iyah NU.

(Dosen Ekonomi Syariah UI dan mantan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU dan Lembaga Fatwa MUI Pusat.)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO