NGAWI, BANGSAONLINE.com – Kehidupan bermsyarakat di desa Desa Babadan Paron Ngawi tergolong unik. Di desa ini tempat bertemunya dua budaya Islam dan Jawa yang amat kental, namun keduanya bisa berdampingan dengan mesra.
Di desa Babadan Paron ini terkenal dengan wisata pertapaan yang tidak asing lagi bagi orang-orang Jawa yaitu situs Srigati. Konon, Srigati merupakan petilasan Raja Majapahit terakhir bernama, Bhre Kertabumi. Namun, di desa itu pula ada pondok pesantren,tepat berada di sebelah situs Srigati. Di daerah itu pula bersebaran cerita seputar perjalanan spriritual Sunan Lawu.
Baca Juga: Top! Kasat Samapta Polres Ngawi Inisiasi Berbagi Makanan Sehat di Pedesaan
Banyak peziarah yang datang ke lokasi tersebut dengan berbagai tujuan. Ada yang sekadar mencari ketenangan pikiran, sekedar santai, ada juga para pertapa (petirakat). Salah satunya, Darmo Warsito yang berpuluh tahun tinggal di situs Srigati. Lelaki tua ini menuturkan, dirinya berada di lokasi ini sudah 17 tahun yang lalu. "Tepatnya tahun 1999 bulan ketujuh,” kata dia.
Pria asal Jember ini juga mengaku, keberadaanya di sana atas petunjuk guru yang memerintahkanya untuk tirakat di Palereman Srigati. Karena itu pula dia betah berlama-lama di situs tersebut.
Di sebelah situs Srigati ada petilasan Mahkota Bhre Kertabhumi, danpondok pesantren (PP) Condro Mowo III. Pondok para huffaz putri tersebut merupakan cabang dari Pondok Pesantren Condro Mowo I di Girimulyo Jogorogo, lereng Gunung Lawu.
Baca Juga: Sebabkan Sesak Napas, Warga Desa Guyung Ngawi Keluhkan Asap Pembakaran Batok Kelapa
Syamsul Arifin,petugas tetap PP tersebut menuturkan, keberadaan Pesantren Condro Mowo berdekatan dengan tempat yang konon sebagai tempat mukso guna memfasilitasi para peziarah dan musafir. PP Condro Mowo, didirikan dan diasuh Oleh KH Agus Abdul Hamid AsSyeikh Barnawi. Selain memfasilitasi layaknya pondok pesantren, juga memfasilitasi terapi ataupun pengobatan bagi para pecandu dan orang dengan stres tingggi.
“Alhamdulillah pondok kami menerima pasien dengan gangguan mental, pecandu, dan alhamdulillah banyak yang sembuh,” kata Syamsul Arifin.
Pondok pesantren yang berdiri sejak 1984 tersebut sudah banyak membantu masyarakat,baik dalam hal terapi maupun pencak silat “Pagar Bumi”. Khusus yang terapi, pondok tersebut memberikan perkiraan dilanjut atau tidaknya pasien selama tiga bulan.
Baca Juga: 30 Desa Alami Kekeringan, BPBD Ngawi: Kades Enggan Laporkan Wilayahnya Kesulitan Air Bersih
“Kami dalam melakuakan penyembuhan tersebut dimulai tiap harinya dengan setelah sembuh dengan aurad (wirid) dari kiai, kemudian pasien diruqyah, olahraga dan dibebaskan untuk bergaul dengan masyarakat," urai Arifin.
Dengan waktu uji coba terapi dilakukan selama tiga bulan. Jika belum terlihat perkembangan,keluarga diberi pilihan untuk meneruskan atau diambil kembali. "Kami menyebutnya belum jodo,” imbuh petugas PP di Srigati pada Makhrus Ali dan Zainal Abidin dari BANGSAONLINE saat mengunjungi Palereman Srigati. (ngw1/nal/ns)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News